webnovel

Kebenaran dan Kalkulus 3

Jerry duduk bersilang kaki di ruang makan. Sesekali kaki itu digerakkan mengikuti alunan musik pop dari wireless earphone yang dikenakanannya. Tak banyak yang Ia lakukan, sekedar membuat catatan, atau tepatnya ekstraksi konsep dari jurnal penelitian dan buku digital di laptopnya. Serius sekali, sampai tak sadar kalau Nalesha ada di sekitarnya beberapa menit lalu.

"Jer? Ngapain?" Nalesha menaruh segelas air mineral di meja, diikuti dirinya duduk dan minum.

Jerry menurunkan volume musiknya, "Belajar. Eh gak sih, baca-baca aja," jawabnya seadanya.

Nalesha mengangguk-ngangguk, "Rajin amat sih? Kennedy masuk sekolah masih lama padahal," ujarnya. Jerry hanya tersenyum miring, paham kalau Nalesha itu tipikal yang santai tapi serius, berbeda dengan dirinya. "Lo kapan masuk emang?"

"Tanggal 2. Sama kaya yang lain."

"Hm. Gitu. Terus rencana mau ngapain tahun ketiga? Setahun menjelang lulus?" Jerry mulai serius topiknya, seserius tangannya yang tetap bergerak di atas touchpad, memberikan highlight kasar pada apapun yang dianggapnya penting.

"What else Jer? Entering college?"

"No, I mean … your hobby? Passion? Udah nemu potongannya? Kata Bunda sih Ikigai."

Nalesha akhirnya dibuat berpikir, bahkan bertopang dagu di meja, "Kalo dipikir-pikir, udah Jer. Cuma Saya kadang bingung …" ujarnya menggantung, menarik perhatian Jerry yang banyak concern dengan kebingungan teman-temannya. Pada akhirnya lelaki jenius itu akan mencari solusinya.

Good problem solver.

"Bingung aja sih kadang … gak terlalu terlihat in-line dengan zaman sekarang. Maksudnya tuh … Saya bingung apakah itu akan prospektif, membuat Saya sejahtera kah? Kalau membuat bahagia Saya yakin iya," jawab Nalesha kemudian, memang gesturnya cukup menampakkan kebingungan.

"Menurut Gue ya Lesh, gak tau ini Lo bakal setuju atau enggak." Jerry memberikan disclaimer di awal. Dirinya seperti ini khusus pada Nalesha saja, karena Ia merasa Nalesha itu memiliki frekuensi pikir sama dengannya.

Nalesha menaikkan alisnya, sekali lagi Ia meneguk air mineral, memfokuskan diri mungkin.

"Ikuti jalur yang Lo inginkan, lakukan yang terbaik, dan perbaiki dengan baik. Lo boleh mempertimbangkan opsi dari orang lain, but still … you need independent thinking, Lesh."

"Hmm. I see. Terus?" Nalesha penasaran. "Tapi menurut Kamu, gimana kemungkinannya opini orang lain, atau standar sosial itu berlaku benar? Dan karenanya, Kamu punya chance untuk salah jalur?" lanjutnya. Baru kali ini lagi memanfaatkan pikiran teoritis-kritis Jerry.

"Apa ada yang bisa mengklaim dirinya benar? Bukannya truth, kebenaran, itu sifatnya relatif ya Lesh?"

"Hmm. I guess, but not really."

"Sekeyakinan Gue, sepemahaman Gue, kebenaran itu relatif Lesh, banyak konteks yang bisa menyamai kekuatan sudut pandang. Hingga pada akhirnya, Lo akan memutuskan sesuatu itu benar apa salah, berdsarkan pengetahuan Lo sendiri."

"Jadi kesimpulanya, go for it, find the answer. Gitu?" tebak Nalesha.

Jerry mengangguk, menjentikkan jarinya, "Absolutely, just go for it, do the best, make some mistakes, admit it, fix it. That's what we need to do. Jangan ragu Lesh."

"Nice insight, Prof Jerry."

"Yeah. Glad to help you, Pak Presiden. But anyway, masih sama? Lo mau lanjut kehutanan dan kurang support keluarga dan lingkungan?"

"Iya. Masih."

"Siapa sejauh ini yang sangat terang-terangan menolak dan mendukung Lo?"

Nalesha berpikir sedikit, kalau begini sekalian curhat dengan Jerry jatuhnya. Tapi tak masalah juga, Jerry itu tipikal manusia masa bodoh yang tak suka diumbar atau mengumbar hal-hal berbau personal. "Kalau yang terang-terangan menolak, Kakak Saya yang perempuan. Kalau yang mendukung … Ayah dan Bunda."

"As it should, Ayah Bunda, the best support system," puji Jerry seraya tersenyum simpul.

"Yeah. Makanya Saya itu sangat hati-hati soal memutuskan jalur karir dan perkuliahan. Banyak orang yang gak mau Saya kecewakan, termasuk yang menjadi pendukung sekalipun."

"Memang beban Kita seperti itu Lesh. Tapi semuanya harus dijalani, balik lagi tadi. Go for it. Gue selalu berpikir sebuntu-buntunya manusia, Tuhan selalu ngasih cara untuk Kita menyelesaikan masalah."

Nalesha tersenyum miring, "Bisa juga Kamu bawa-bawa Tuhan Jer. Kirain udah resmi jadi Atheis," ujarnya asal. Oh, tidak sepenuhnya asal juga sih, karena memang benar begitu, Jerry seperti manusia tak bertuhan. Agnostik pun tidak.

"Gini gini Gue ke Gereja sebulan sekali Lesh, jangan sembarangan Lo," bantah Jerry kemudian.

"Wess. Kapan Prof? Gak pernah liat keluar kalo Minggu, di kamar terus belajar."

Jerry memutar matanya malas, hingga menangkap Saheera yang mendekat ke arah mereka dengan membawa iPad dan catatannya. Oh, Jerry tau Saheera akan melakukan apa.

"Prof Jerry … ajarin Kalkulus."

Hm, benar saja dugaan Jerry. Nalesha yang memperhatikan hanya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan anak-anak pintar nan rajin ini. Siang hari, jam dua, Bogor tengah panas-panasnya, masih mau belajar Kalkulus yang semakin memanaskan otak.

"Masih Kalkulus? Yang mana yang gak paham? Kan udah diajarin waktu itu," tanya Jerry bak tutor privat Saheera.

"Kalkulus tiga Prof. Susah banget, gak ngerti ngerti. Kasih Aku soal latihan deh, konsepnya mah udah paham." Saheera menunjukkan catatannya. Segera Jerry periksa.

"Jer, dibayar berapa sama Saherra per bulan buat ngajarin?" Nalesha iseng, langsung mendapat lirikan tajam dari Saheera, sementara Jerry hanya tertawa pelan.

"Biasanya dimasakin Saheera kalo lagi kelaparan. Ya gak Ra?" tanya Jerry yang diangguki Saheera, "Bener tuh. Suudzon aja Kamu Lesh."

Nalesha terkekeh, "Iya deh. Good luck terus belajarnya. Semoga Jerry sabar aja kalau Kamu lola," ledeknya lagi.

"Sembarangan!"

Nalesha hanya tertawa, kemudian beranjak hendak kembali ke kamarnya.

"Gimana? Udah dapet izin orang tua?" tanya Jerry, membuat Nalesha memelankan langkahnya. Penasaran, lanjut menyadap pembicaraan.

"Belum Prof. Susah, kayaknya gak akan diizinin deh," jawab Saheera terdengar tak bersemangat di telinga Nalesha. Mencegah penasaran lebih lanjut, akhirnya Nalesha berbalik kembali, pura-pura menghabiskan air minum di gelas.

"Sayang banget loh Ra. Kesempatan emas itu."

"Kenapa sih?" potong Nalesha.

"Ini si Saheera. Dapet beasiswa exchange dua, tapi terbentur izin orang tua," jelas Jerry cepat sebelum Saheera.

Nalesha membulatkan matanya, "Dua? Dua beasiswa sekaligus? Pinter amat? Kemana?"

"USA, Belanda."

Nalesha geleng-geleng kepala dibuatnya, "Edan. Kok bisa sih? Terus kenapa juga gak diizinin?" heboh Nalesha.

"Biasa lah Lesh. Konservatif, katanya Aku perempuan," jawab Saheera malas, sekaligus curhat saja jadinya pada dua orang itu.

"Ya kan emang perempuan. Lantas?"

"Gak ada yang nemenin, gak diizinin kalau sendiri."

Hening kemudian, baik Nalesha atau Jerry sama-sama bingung kalau sudah menyangkut pandangan agamis keluarga Saheera yang beberapa kali menghambat kemajuan anaknya di bidang akademik. Seperti ini contohnya.

"Yaudah, mau ditemenin? Saya bisa kok."

Jerry dan Saheera kompak melirik tajam. Yang dilirik hanya cengengesan, "Bercanda bercanda. Nanti coba Saya bantu bicara sama Bunda atau Ayah. Siapa tau mereka bisa bantu mediasi. Gimana?"

次の章へ