webnovel

Sebuah Penghakiman

Sebuah sayatan panjang terukir di sepanjang pipi⸻membuat Hawkins menjerit kesakitan karena ukiran yang baru saja dibuat gadis di hadapannya itu. Ia merasa baru saja masuk ke dalam neraka dengan dua iblis yang siap menyiksanya.

"Nah, sampai mana tadi. Ah ya, kau akan segera menebus dosa-dosa mu pada para kaum wanita."

Hawkins meraung menjerit pilu kala Dracella menghunuskan pisau pada jari manis miliknya membuat tangannya itu kini berlumuran darah. Raungannya kian keras setelah menyadari rasa sakit yang dideranya karena ia baru saja kehilangan salah satu jarinya.

Sang nona tersenyum sembari duduk dengan menumpu kaki nya di atas paha dan mulai mengelap sisa cairan kental yang ada pada pisau.

"Aku akan mengampuni semua dosamu, asalkan kau membiarkanku memotong setiap jarimu. lla Lalu mengeluarkan beberapa organ dalam mu … hmmm lalu apalagi?" tanya Dracella, ia mencoba meminta pendapat pria bersurai platina di sana. Alastair menyusul gadisny,lalu menaruh dagunya di puncak kepala Dracella.

"Bagaimana dengan jari kaki? Ah … aku pintar dalam hal potong memotong."

"Tidak. Seharusnya aku memotong miliknya juga, karena hanya tangan dan kaki tidak akan cukup. Para wanita tidak bersalah diperlakukan seperti seorang pelacur ... bukankah lebih baik ia dikebiri saja?"

Hawkins berdiri ketakutan, air mata telah membasahi raut keriputnya. Ketakutan tentu saja, ia baru saja melihat dua orang iblis yang menjadikan bahan candaan terkait potong-memotong, yang tak lain membunuh manusia seolah bahan masakan.

Lalu apa yang baru saja dikatakan gadis bersurai pirang keemasan itu. Dikebiri? Yang benar saja, apa yang telah ia lakukan hingga harus kehilangan kejantanannya?!

"Gilaa!! Kalian manusia gilaa, tidak iblis kalian ibliss!!"

Dracella bertatap muka dengan Alastair kemudian keduanya tertawa bersama, sementara Hawkins melihat dengan kebingungan apakah benar mereka iblis sesungguhnya. Mengapa ekspresi itu yang mereka berikan?

Tak lama Darcel dan Kieran telah menempatkan diri mereka tepat di sisi tuan dan nona muda mereka. Keduanya tampak tersenyum menawan.

" Ah, begitu padahal Anda belum sama sekali belum melihat kami bangsa iblis, Tuan," kata Darcel masih memasang senyum sopannya.

"Kami tidak berparas mengerikan kami justru berparas tampan melebihi Anda … ah maafkan ketidaksopanan saya sebelumnya." Kali ini Kieran yang terkekeh turut menyambung perkataan Darcel.

Sorot mata pasangan tangan kanan ratu di depan Hawkins terlihat dingin dan membuat sekujur bulunya bergidik, seolah instingnya berkata bahwa mereka adalah manusia yang berbahaya.

"Yah … kau tahu, mengapa tidak pernah ada yang selamat, bahkan ditemukan setelah berurusan dengan kami paraantagonis Velduria?". Tanya Alastair. Pria itu telah berjalan mendekat, menempatkan dirinya kembali tepat di samping Dracella

"Karena mayat tidak bisa berbicara kau tau ..."

Kemudian tak lama suara jeritan melengking dari Hawkins terdengar. Tepat setelah Dracella menyeringai, dan hanya dalam hitungan detik seluruh ruangan penuh dengan kegelapan.

"Sampai jumpa … di neraka, Hawkins," ucap Dracella dan Alastair bersamaan.

Suara pasangan antagonis Velduria menjadi hal terakhir yang didengar Hawkins sebelum menyapa sang kematian. Bukan sebuah nyanyi-nyanyian, isak tangis,maupun sebuah simfonis pilu.

Dracella kini telah mengenakan pakaian miliknya sendiri begitu pula dengan Alastair yang telah mengganti pakaian berwarna senada milik gadisnya, lengkap dengan mantel hitam. Tak lupa dua buah pistol terpasang di sabuknya untuk berjaga-jaga.

"Baiklah, urusan kita su-" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Alastair dapat merasakan guncangan terjadi pada seluruh kamar. Guci-guci porselen jatuh, pecah berkeping-keping. Sebuah suara dentuman dan ledakan dari ruangan terdengar berulang kali. Tanpa menunggu ruangan tempat mereka berada hancur, Alastair bergegar menggenggam tangan Dracella dan keluar dari ruangan.

"Kieran, evakuasi para pasien dan perawat. Aku yakin Hawkins sudah merencanakan ini untuk menghilangkan bukti-bukti," ucap Dracella yang saat ini masih terus berlari mengikuti langkah sang duke yang masih mencengkram erat tangannya.

Sang butler yang hendak membuka mulut⸻protes⸻keselamatan sang nona lah prioritasnya bukan seonggok daging yang sekarat di sana-sini.

"Lakukan,ini perintah. Aku akan baik-baik saja lagi pula calon Suamiku di sini."

Kieran menghela nafasnya pelan, sebelum melirik sosok tuan muda Savador di depannya, haruskah dia percaya pada seorang bocah untuk menjaga nona nya.

"Berani sekali kau meremehkan ku, Cepat lakukan perintahnya. Darcel akan menyusulmu, kalian berdua pasti akan selesai jauh lebih cepat jika bekerja sama," timpal Alastair yang masih sibuk mencari jalan keluar untuknya dan Darcella. Darcel dan Kieran sempat bertukar pandangan, sebelum akhirnya mengangguk dan dalam sekejap tinggal meninggalkan kedua tuan mereka.

Alastair masih berlari menuruni tangga dan sesekali menghindari beberapa bangunan yang mulai runtuh, karena posisi mereka sebelumnya berada di lantai 3 sehingga cukup membuat mereka kerepotan.

"Tunggu, menghindar!" seru sang duke yang langsung melompat ke samping lorong sembari memeluk tubuh Dracella. Keduanya jatuh terjerembab, bukan tanpa sebab. Tetapi karena sebuah serangan yang tiba-tiba datang. Pistol hitam yang telah disiapkan dengan sigap Alastair meraihnya. Iris keperakan pria bersurai platina itu memandang tajam sekumpulan pria yang sedang menghadang mereka di sana.

Sebuah tepukan tangan terdengar. Seorang pria berambut coklat-hazel berjalan keluar dari balik kerumunan pria bersetelan hitam. Geraldi Stuart, siapa yang tak mengenal pembunuh bayaran terkenal dari dunia bawah.

"Wah … sebuah kehormatan bagi saya untuk menyambut kalian berdua, tanpa memperkenalkan diri pun kalian pasti mengenal saya bukan? Geraldi Stuart siap menjadi malaikat pencabut nyawa untuk Anda, my Lord," sapa Geraldi dengan seringai culas yang telah terukir di kedua sudut bibirnya.

"Tentu, kau orang yang paling beruntung bisa meregang nyawa mu di tanganku ini. Tuhan pasti sangat membenci mu hingga memberi rahmat untuk tewas di tangan seorang antagonis sepertiku," sergah Alastair pedas. Ia membalas seringaian Geraldi.

Memancing keributan untuk memanfaatkan emosi lawan⸻mengacaukan akalnya dan lawan akan melupakan tentang taktik yang telah disusunnya. Alastair sudah mengingat jelas ini selama pelatihannya bersama Darcel. Sial, karena hal itu dia harus berulang kali menderita sakit ditubuh dan membiarkan Dracella mendengarkan gerutuannya setiap dia berkunjung ke kediamannya.

"Tuan muda, Anda seangkuh yang seperti yang diberitakan. Mohon lihat situasi ini, kalian tikus yang sudah tersudutkan oleh para kucing." Geraldi tersenyum dan memberikan kode kepada salah satu bawahan yang datang sembari menarik beberapa gadis kecil yang menangis. Alastair mendecih karena melihat mereka yan memiliki sandra. Komplotan Stuart cukup menyulitkan.

Sementara para butler masih belum kembali. Entah apa yang sedang dilakukan mereka, hingga harus memakan waktu yang cukup lama.

Dracella mengusap bahu sang duke⸻menenangkan tunangannya. Ia tahu pria itu tengah kesal dan marah. Dan mungkin ia akan semakin marah ketika tunangannya terpaksa harus turun tangan.

"Baiklah, its show time!"

次の章へ