webnovel

Raut Wajah Bahagia

Akhirnya pekerjaanku selesai juga. Aku mengirim pesan pada mama bahwa aku akan segera pulang. Saat ini aku sedang menunggu taksi. Sudah beberapa hari ini aku pulang naik taksi supaya cepat sampai di rumah. Dari arah kanan aku melihat mobil Pak Mario. Namun aku tidak menyangka kalau mobilnya akan berhenti di depanku. Pak Mario keluar dari mobil dan menghampiriku.

"Kukira kau sudah pulang. Mau minum kopi bersama?" tanya Pak Mario menawariku.

"Maaf, Pak. Mungkin lain kali saja," tolakku dengan sopan.

"Akhir-akhir ini kau sibuk sekali. Apa ada masalah?" tanya Pak Mario.

"Tidak, Pak. Aku harus membantu Mama di rumah, karena itu aku ingin pulang cepat," jawabku mencari alasan.

Sebuah taksi terlihat dari belakang mobil Pak Mario. Aku memanggil taksinya supaya berhenti. Sebenarnya aku merasa tidak enak karena menolak ajakan Pak Mario. Namun mau bagaimana lagi? Aku akan menganggap ajakannya sebagai utang yang harus kupenuhi di lain waktu.

"Aku duluan, Pak. Permisi," ucapku tersenyum ramah.

Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah. Aku keluar setelah membayar ongkosnya. Aku melihat mama yang sedang menyirami tanaman. Tanaman hiasnya terlihat segar dan membuatku ingin mendekatinya. Kira-kira seperti inilah hobi baru mama, merawat tanaman hias. Bahkan, mama sudah membeli lima belas tanaman baru. Rumah ini jadi kelihatan indah karena adanya tanaman hias.

"Kau sudah pulang? Cepat makanlah. Bu Rima memasak opor ayam tadi," ucap Mama.

"Aku akan makan setelah puas memandangi tanamannya," ucapku yang membuat mama tersenyum.

Mama mengambil gunting untuk memotong ujung daun yang mulai menguning. Sepertinya kegiatan ini sangat asyik dilakukan. Apalagi di sore hari seperti ini. Mama kemudian meminta Pak Hasan untuk meletakkan tanaman yang daunnya berwarna merah di dekat ruang tamu. Supaya Pak Hasan tidak bolak-balik, aku membantunya dengan membawa sisanya.

"Bu Delisa, makanannya sudah saya hangatkan," ucap Bu Rima.

"Terima kasih. Apa Argat sudah makan?" tanyaku.

"Sudah, Bu Delisa. Nyonya Amelia sudah mengantarkannya," jawab Bu Rima.

"Aaa…"

Aku mendengar mama menjerit. Karena khawatir terjadi sesuatu, aku berlari keluar. Mama menghentak-hentakkan kakinya karena merasa geli. Saat kudekati, mama memegang tanganku karena takut.

"Kenapa bisa ada ulat di situ?" Mama menunjuknya dengan geli.

Kudekati tanaman yang dimaksud mama. Ternyata benar saja ada ulat hijau yang menggerogoti daunnya. Dengan menggunakan gunting aku membuang ulat itu ke tanah. Mama mengusap-usap lengannya sendiri karena masih geli.

"Jika ulat bisa ada di sini, kemungkinan akan ada ular," ucap Mama.

"Tidak ada, Ma. Teras rumah ini bersih, ular tidak akan suka tinggal di sini," ucapku berusaha menenangkan mama.

Kemudian aku masuk untuk menenangkan mama. Gara-gara ulat yang ada di luar, mama jadi mengecek semua tanaman yang ada di dalam. Dengan sedikit takut, mama mengecek tanamannya satu per satu.

"Bu Rima!" panggil Mama.

"Iya, Nyonya."

"Ambil cabai merah, bawang putih, sabun dan juga air. Aku akan menyemprotkannya ke tanaman-tanaman ini," perintah Mama.

Bu Rima kembali ke dapur untuk mengambil bahan yang disebutkan mama. Aku baru tahu kalau cabai dapat digunakan untuk mengusir ulat. Sepertinya seluruh ruangan ini akan berbau cabai dan bawang putih nantinya.

Sehabis mandi aku terkejut melihat Argat yang sudah ada di dalam kamar. Aku gugup karena hanya mengenakan handuk kimono. Tadi aku sudah menyuruhnya untuk tetap di luar sampai aku selesai mandi. Untungnya Argat sedang menelepon, jadi aku bisa mengambil pakaianku secara diam-diam. Tanganku memang bergerak mengambil pakaiannya, tetapi mataku tak pernah lepas dari sosoknya. Setelah berhasil mengambil pakaian, dengan pelan aku melangkah masuk ke kamar mandi. Aku merasa lega setelah menutup pintunya.

"Aku akan mengirimkan hadiahnya," ucap Argat dengan nada yang sedikit dibuat-buat.

Dengan siapa Argat berbicara? Siapa yang sedang dia telepon? Tidak biasanya Argat berucap halus. Biasanya Argat hanya akan mengeluarkan kata-kata pedas saat berbicara denganku. Karena penasaran, kudekatkan kupingku ke pintu supaya bisa mendengarnya lebih jelas.

"Aku tidak bisa. Ada masalah di sini. Lain kali aku akan menghabiskan waktuku khusus untuk ini. Aku tidak masalah. Aku akan meneleponmu lagi nanti," ucap Argat menyudahi teleponnya.

Aku keluar setelah berpakaian. Argat melihat ke arahku dengan tatapan sedikit terkejut. Kemudian Argat berusaha terlihat biasa-biasa saja dan keluar. Sepertinya ada yang tidak beres. Setelah membenarkan kerudungku, aku pergi ke dapur untuk membantu Bu Rima menyiapkan makan malam. Astaga, masakannya sudah matang. Aku belum sempat membantunya dan semuanya sudah siap. Gara-gara menguping pembicaraan Argat aku sampai melupakan tugasku.

"Delisa, Argat tidak ada di kamarnya? Dia tidak pergi keluar, kan?" tanya Mama.

"Tidak, Ma. Akan kupanggilkan," jawabku.

Kutelusuri seluruh sudut rumah untuk mencari Argat. Aku khawatir Argat akan pergi jauh, mengingat tangannya yang belum pulih. Melihatnya turun dari tangga saja membuatku ngilu. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah yang begitu cepat. Saat aku menoleh ke belakang, suara itu berasal dari Argat. Dengan langkah cepat Argat menaiki tangga. Bagaimana Argat bisa dengan tenang melakukannya? Aku jadi was-was karena takut kakinya akan tergelincir.

"Argat, Mama memanggilmu," ucapku setelah menghampirinya.

Argat hanya menaikkan kedua alis sebagai tanda jawaban iya. Kuperhatikan Argat terlihat senang. Sebelumnya aku tidak pernah melihat wajahnya yang sebahagia ini.

"Delisa! Makanan sudah siap!" panggil Mama dari lantai bawah.

"Iya, Ma!"

Aku duduk di samping Argat. Saat aku akan mengambilkan nasi untuknya, Argat langsung menolak. Sekarang Argat yang mengambil nasi dan lauknya sendiri. Aku masih diam dan mengamati pergerakannya. Aku khawatir tangannya tidak sengaja menyenggol meja.

"Argat hati-hati," ucapku memperingatinya.

Efek bahagia membuatnya lebih enerjik dari biasanya. Bahkan Argat bertingkah seolah-olah dia baik-baik saja. Mama hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Mungkin saja tangannya mulai membaik, karena itulah Argat jadi lebih bersemangat. Lebih baik aku berpikir positif terhadapnya.

"Aku akan pergi ke kantor besok," ucap Argat.

"Tidak. Dokter belum mengizinkanmu melepas gipsnya. Itu berarti kau belum boleh ke mana-mana," ucap Mama melarangnya.

"Aku bisa mengatasinya. Lagipula aku bisa berhati-hati," ucap Argat.

"Sekali tidak ya tidak. Mama yang akan menahanmu jika kau sampai keluar rumah," ucap Mama yang tidak bisa diganggu gugat.

Raut wajah Argat berubah dari bahagia menjadi kesal. Aku masih bersyukur karena Argat tidak langsung marah dan bisa menahan diri. Setidaknya Argat mulai bisa mengontrol emosinya.

"Sejak kecil, Mama memang terbiasa memaksaku. Sikap Mama tidak perbah berubah sampai sekarang," ucap Argat lalu pergi meninggalkan meja makan.

"Argat," panggil Mama yang tidak digubris oleh Argat.

"Aku akan ke kamar," ucapku.

"Jangan. Mama tidak ingin Argat melampiaskan kemarahannya padamu," ucap Mama menahanku.

Aku sudah salah. Argat masih mudah terpancing emosi. Namun, sebuah pertanyaan kembali timbul di benakku. Apa yang terjadi pada Argat sampai dia begitu bahagia?

次の章へ