"Kau baik-baik saja?" Ser memperhatikan Corea yang beberapa kali nampak kesakitan.
Perempuan itu hanya menatapnya dengan anggukan pelan.
Masih dengan jubah yang menutup hingga kepala, Ser terkejut saat perempuan itu membuka tudungnya dan menampakkan telinga perinya.
"Ya ampun. Apa kau saudara pria keriting itu?" ujar Ser seketika.
Corea mengerutkan dahi, begitu juga dengan Wedden yang sangat tidak nyaman dengan sebutan 'pria itu' dari si bocah.
"Kami hanya mirip," sahut Wedden. "Nak, berhenti mengajaknya bicara. Dia sedang istirahat," tambahnya lagi.
Memang benar, Corea sangat tidak nampak bersahabat dengan ekspresi datarnya.
"Ah aku hanya penasaran kenapa manusia bisa memiliki telinga seperti itu," celetuk Ser yang ikut merebahkan tubuh dengan beralas dedaunan.
Ren dan Wedden baru memotong pohon yang menyimpan air. Semula mereka hendak menggunakannya untuk membersihkan diri, namun mereka tersadar kalau itu hanyalah sebuah keegoisan.
Mereka lalu membawa air itu untuk diminum olehnya juga Ser dan nona peri yang masih kesakitan.
"Apakah para peri sangat hobi terjatuh?" ucap Ren. Dia sedang memperhatikan Corea juga Wedden yang sedang sama-sama membersihkan luka.
"Apakah manusia sangat hobi mengurusi urusan orang lain?" sahut Corea.
Hal itu segera membuat Ser terkikik, namun dia segera mengalihkan pandangan saat Ren menatapnya.
Wedden tidak merespon, dia sudah cukup terbiasa dengan sikap sang pangeran Utara yang seringkali menyebalkan itu.
"Kau terpisah dari pasukan? Atau memang telah menjadi tawanan dari monster itu?" tanya Wedden.
"Kami menuju Barat untuk menambah pasukan agar dapat memberi kalian bantuan," jawab Corea. Dia sambil memberi tumbukan daun untuk mengompres luka baru di lengannya.
"Saat kami sedang istirahat malam, aku mendengar ada suara nyanyian indah dari dalam hutan. Aku tidak mempedulikannya sebelumnya, tetapi suara itu terdengar semakin dekat dan seolah memanggil. Kebetulan sekali seorang prajurit kami terbangun untuk buang air, aku memutuskan untuk mencari tahu sumber suara dan akan kembali saat prajurit juga kembali."
"Kau menemukannya? Kurasa itu hanya suara burung yang terdengar indah saat kau lelah," ujar Wedden.
"Bukan. Itu suara pohon putih. Pohon yang nampak cantik nan anggun dengan seluruh bagian yang berwarna putih."
"Jangan membual seolah kau bercerita pada bocah," celetuk Ren.
"Sstttt. Bisakah kau diam, Paman. Aku menunggu akhir kisah ini," sahut Ser. Seketika semuanya menoleh pada bocah itu. Secara tidak langsung, Ser menampakkan diri sebagai 'bocah' yang tadi disebut oleh Pangeran Soutra.
"Lalu apa yang terjadi? Apa itu sungguh pohon? Maksudku, mungkin ada sesuatu yang menempel dan membuatnya nampak putih? Ah apakah pohon itu nampak berkilau?" pertanyaan bertubi dari Ser.
"Aku tidak yakin apakah ada yang menempel, tapi itu sungguh berkilau saat diterpa cahaya bulan," jawab Corea.
Ser semakin tertarik, angannya segera terarah pada sesuatu yang ia lihat terbang sebelumnya.
"Aku mendekat dan menikmati suaranya. Aku bahkan hingga duduk dan enggan untuk pergi, namun rupanya aku tertidur dan saat aku terbangun, aku sudah berada diatas dahan pohon di dekat makhluk mengerikan itu tidur."
Semuanya diam.
"Apa mungkin makhluk itu berwarna putih saat malam dan menyerupai pohon?" ucap Wedden lirih.
"Eh ataukah itu hantu pohon?" tambahnya lagi.
Ren masih diam. Dia tidak dapat berpikir tentang hal ini.
"Apa kau juga pernah melihat hal ini saat berburu, Pangeran?" tanya si keriting Wedden.
"Tidak. Kurasa itu hanya halusinasi," jawabnya.
"Kurasa aku juga melihatnya," kata Ser. "Tapi aku tidak yakin. Itu sesuatu yang terbang seperti burung tapi lebar seperti kupu-kupu. Kalian ingat serbuk putih di tubuh kucing sihir di dekat puluhan bangkai kuda?" tanyanya pada Wedden dan Ren.
"Kurasa itu berasal dari sesuatu terbang yang kulihat. Ia putih dan berkilau," tambahnya.
"Kau bilang seperti kupu atau burung?" tanya Corea. "Apa mungkin dia berubah menjadi besar seperti pohon?"
Hening sedetik.
"Jika kalian sedang tidak berhalusinasi, kurasa makhluk itu berkoloni dalam jumlah besar hingga dapat membentuk pohon besar." Ren menanggapi.
"Ah begitukah? Makhluk apa itu?" gumam Wedden.
"Kau tidak celaka karena nyanyian itu, 'kan?" tanya Ren pada peri perempuan. "Maka tidak perlu terlalu dipikirkan," sambungnya lagi.
Corea mengerutkan dahinya. Dia berdecak kesal karena sikap Ren. Untuk suatu alasan, dia lebih memilih untuk merespon Ser yang masih membahas tentang makhluk putih kecil terbang yang ia lihat sebelumnya.
Wedden dan Ren masih memilih untuk istirahat. Sudah cukup lama di dalam hutan, mereka bahkan tidak dapat mengetahui apakah hari masih siang atau sudah larut. Pepohonan yang sangat lebat membuat mereka tidak dapat menerima cahaya matahari sama sekali.
Secara tiba-tiba Ren bangkit dari tempatnya. Dia menyiapkan busur dan anak panahnya, ia juga meminjam pedang milik Wedden lalu memanjat pohon yang ia jadikan tempat istirahat itu.
Sangat hening. Wedden berharap kalau Thanes si Satir berhasil mengalahkan monster dan dia baik-baik saja.
Wedden memandangi Ren yang memanjat, dia juga sambil belajar memfokuskan pikiran dan mengumpulkan energi untuk berlatih sihir.
Sementara Ser mencoba untuk membuat api dari beberapa kayu yang lembab dengan dibantu oleh Corea yang sudah merasa baik dengan lukanya.
"Argh!"
Bruk! Bruk!
Ren terjatuh dengan sebelumnya terpental dari dahan yang tinggi. Semuanya segera berdiri dan menghampiri pria berambut panjang merah muda itu.
Namun belum sempat memberi bantuan, Wedden dan Ser dikejutkan dengan hadirnya ular besar yang menjalar turun dari atas pohon yang berdaun lebat.
Mereka menyiapkan senjata dan siaga untuk menyerang.
"Jangan lakukan itu jika kalian tidak ingin menjadi santapannya!" ujar Corea. "Mereka juga berkoloni, aku pernah bertemu juga sebelumnya. Usir dia dengan api, jangan lukai dia." Corea menambah kayu agar api yang baru ia dan Ser nyalakan semakin berkobar.
Ular itu semakin mendekat, hitam lekat dan nampak berlendir bagian kulitnya.
Wedden, Ren, dan Ser harus menuruti perkataan Corea. Mereka hanya mengusir tanpa menyerang sedikitpun.
Disaat itu juga mereka menyadari kalau Corea bukan hanya peri petarung, namun juga dapat meniupkan angin yang cukup kencang.
Peri perempuan itu membuat api menyala lebih cepat dan meniupkan panasnya pada ular hingga membuatnya mendesis marah hingga pergi.
Api pada kayu Corea sempat terkena libasan ekor ular itu dan terjatuh, nyaris menyabetkan pedangnya, Ren segera ditahan Wedden yang sangat tidak ingin ada hal buruk terjadi pada mereka.
Karena masih terlalu lelah dan tidak tahu arah, mereka masih memilih untuk istirahat sebentar lagi.
Ren semakin memekakan telinga dalam heningnya hutan yang tidak ia kenali. Dia bahkan hingga dapat mendengar suara sekawanan tupai yang sedang makan buah di pohon lain.
Mencoba memejamkan mata, namun dia segera mengerutkan dahi saat mulai mendengar suara seperti nyanyian yang sangat merdu.
Ren melirik Corea yang masih duduk di depan api unggun, Ser tertidur di dekat api, lalu Wedden yang nampak frustasi dengan kekuatan yang tidak kunjung ia dapatkan.
Sayup, samar namun sesekali terdengr nyaring. Suara itu seperti seorang wanita yang menggumamkan sebuah lagu klasik.
"Apakah suara ini?" gumam Ren yang semakin memekakan pendengarannya.
***