"Maaf Madam, aku benar-benar enggak bisa, lagi."
Di ruang makeup. Dengan lembut telapak tangan Arga mengusap punggung Madam, yang sedang duduk di kursinya. Pria itu berusaha memberikan pengertian, supaya Madam menghentikan tangis tersedu nya.
Madam mendongakan kepala, menatap pria gagah yang berdiri di sampingnya. "Kamu tega Arga," Isaknya sambil menidurkan kepala, pada perut milik gigolo kesayangannya. Kedua tangannya melingkar di pinggang, lalu memeluknya erat. "Apa kamu lupa, kalau Madam yang udah nolongin kamu? Kamu lupa, kalau Starclub ini yang udah bikin kamu bisa hidup enak?"
"Aku enggak akan pernah lupa. Aku juga terima kasih, karena pernah ditolong sama Madam." Agra menghela napas sebelam akhirnya melanjutkan. "Tapi, aku benar-benar pengen berhenti."
Setelah pertemuan mengejutkan dengan Eza beberapa hari lalu, akhirnya Arga membulatkan tekad untuk mengakhiri perkejaannya sebagai penari erotis. Mungkin terlambat, karena tanpa diduga, dan tanpa disengaja, profesinya itu, telah diketahui oleh orang yang sangat ia sayangi, dan paling ia cintai. Walaupun mungkin orang itu kini telah menganggap dirinya buruk, bahkan mungkin menilainya tak lebih dari sekadar sampah. Namun Arga tidak peduli.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi baik. Air yang keruh saja, bisa kita ubah menjadi jernih, jika ada kemauan.
"Pasti gara-gara cowok itu, kan?" tebak Madam. "Aku uda ingetin berkali-kali, kamu enggak boleh jatuh cinta sama pelanggan, Arga."
"Bukan," sahut Arga cepat. "Ini sama sekali enggak ada hubungannya sama dia."
Memang, selain menyuruhnya supaya tidak lagi menerima panggilan, Doni juga tidak pernah berhenti membujuknya supaya berhenti sebagai penari gogo. Namun itu tidak berpengaruh apapun baginya.
"-aku capek_" Arga menelan ludah. Otaknya mengingat kembali bagaimana dirinya diperlakukan oleh orang-orang, saat sedang menari. Hal itu membuat hatinya menjadi nelangsa. Menggunakan ibu jari, pria itu menyeka air mata yang baru saja menggenang di pelupuk matanya. Detik berikutnya, pria itu terisak. "Aku nggak mau lagi."
"-terima kasih, Madam uda baik sama aku. Terima kasih, madam uda pernah nolongin aku." Telapak tangan Arga, meraih pergelangan Madam dalam genggaman--mengurai pelukan di pinggangnya, hingga terlepas. "Sekali lagi, aku minta maaf."
Setelah menyampaikan itu, Arga berlalu meninggalkan Madam, yang semakin tersedu tangisannya.
"Arga...!"
Tidak bisa dipungkiri, Madam adalah orang yang paling berjasa selama ia menginjakan kaki di kota Cilegon. Pria berpenampilan wanita itu, sudah menyelamatkannya dari rasa lapar. Itu sebabnya, ada perasaan berat, pada saat ia mengutarakan keputusannya. Selain itu, meski pekerjaannya selalu dipandang hina, namun dari situlah Arga bisa mendapat rupiah, dengan jalan mudah.
Namun ia harus tetap mengakhiri. Pertemuan dengan Eza beberapa hari lalu, membuat ia merasa ditampar. Hati nuraninya yang selalu menolak, saat itu seakan berteriak.
Menggunakan telapak tangan, Arga menyeka air mata di wajahnya. Pria itu berjalan tegap keluar diskotik, sambil menatap nanar pada panggung--tempat dimana ia berkerja sebagi gogo dance. Ia juga menghela napas lega. Karena akhirnya, pria itu bisa terlepas dari pekerjaan yang bertentangan dengan hatinya.
***
Semenjak dirinya sudah resmi menjadi pengangguran, tidak ada hal lain yang bisa Arga lakukan. Rasanya sangat sulit mendapat pekerjaan baru, kalau tidak mempunyai ijazah. Mau bagaimana lagi, ijazah nya masih tertinggal di perusahaan, dimana ia bekerja bersama Eza, dulu.
Cuma Madam yang bisa memberi ia pekerjaan tanpa syarat ijazah.
Sambil menunggu kemana nasip akan membawanya, untuk menghilangkan rasa bosan--akibat menganggur, pria itu mengisi hari-harinya dengan nongkrong di taman bermain anak-anak, atau alun-alun kota. Namun apa yang ia lakukan itu bukan tanpa tujuan. Bukan hanya sekedar mengisi kekosangan, bukan juga untuk berhibernasi. Dengan mengunjungi tempat itu, ia berharap bisa bertemu lagi dengan anak kecil yang bernama sama seperti dirinya.
Yah, dari anak kecil bernama Arga, mungkin saja ia bisa mendapatkan informasi tentang dimana Eza tinggal. Ia juga merasa penasaran dengan sikap Tias, yang tidak mau memberi keterangan apapun saat bertemu, tempo hari.
Meski hampir putus asa karena belum juga dipertemukan dengan anak itu, namun Arga masih terus mencoba. Entahlah, keyakinannya begitu kuat kalau Takdir akan mempertemukannya.
Begitu pun dengan sore ini. Arga kembali nongkrong di alun-alun kota. Seperti biasa, Doni selalu ikut menemani dirinya.
Yah, semenjak mengetahui jika pria yang dicintai oleh Arga berada di kota ini, Doni semakin takut. Pemuda itu khawatir kalau Arga akan kembali lagi pada cinta lamanya. Oleh sebab itu, pemuda Doni sebisa mungkin mengisi hari-hari Arga. Berharap, pria itu mau memberi kesempatan untuk singgah di hatinya.
"Mas, aku beli minum ya," ucap Doni setelah mereka mendudukkan dirinya di kursi taman. "Kamu mau minum apa?"
"Apa aja," sahut Arga.
"Yaudah, kamu tunggu sini."
Arga menghela napas, setelah Doni berlalu dari hadapannya. Pria itu mengedarkan pandanganya di seluruh taman alun-alun. Tiap kali matanya melihat anak laki-laki ia selalu menajamkan penglihatan. Namun sayang, ia harus kecewa karena ternyata anak itu bukan anak yang ia cari.
"Nih mas, minumnya." Doni memberikan minuman kaleng, yang baru saja ia beli. Setelah minuman itu berpindah ke tangan Arga pemuda itu mendudukkan dirinya di samping pria itu. "Kamu seneng banget nongkrong di sini, mas. Sekarang."
"Aku bosen di rumah," bohong Arga. Pria itu tidak pernah cerita apapun perihal tujuan utamanya datang ketempat itu. "Kalau di sini kan rame, sapa tau aku dapet inspirasi mau buka usaha apa di sini. Jualan cendol mungkin."
Doni tertawa mendesis. Sebenarnya pemuda itu sangat ingin membantu mencarikan pekerjaan layak. Tapi alasan syarat penting yang tidak dimiliki oleh Arga, membuat Doni tidak mampu berbuat banyak.
"-di sini, pikiranku jadi lebih fresh." Lanjut Arga. Kemudian ia membuka penutup minuman kaleng, lalu meneguk nya.
"Om Aga!"
"Uhuk... uhuk... uhuk...!"
Suara anak kecil yang memanggil sambil memukul punggungnya, membuat minuman bersoda yang baru sampai di tenggorkannya, berhenti, lalu menyedak.
"Kamu nggak apa-apa, mas?" Panik Doni sambil mengusap punggung Arga. Membantu meredakan batuknya. "Siapa sih dia, anak kecil kok nakal." Doni menatap heran pada anak kecil yang sedang memamerkan gigi ompong nya, tanpa merasa berdosa.
"Uhuk... ukhuk..., aku nggak apa-apa." Setelah tenggorokan nya merasa lega, Arga memutar tubuh, melihat siapa yang baru saja membuatnya tersedak.
Pucuk dicinta, ulampun tiba. Bola mata Arga melebar, mulutnya terbuka, setelah ia melihat anak kecil tersebut. Raut bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Arga....!" Pria itu menatapnya dengan mata yang berbinar.
Tidak menunggu lama, Arga beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan mengitari kursi, mendekati anak kecil tersebut. Pria itu menjatuhkan lutut, lalu memeluk bocah itu erat. "Arga, kita ketemu lagi."
Kening Doni berkerut, lalu menatapnya heran.
Tbc