Arga berdiri mematung di samping tempat tidur. Wajah murung nya menatap bingkai yang berisi foto dirinya, bersama pria yang masih bertahta di hatinya, hingga detik ini. Terlebih setelah pertemuan tidak sengajanya dengan Tias beberapa hari lalu, membuat rasa itu semkain menguat, dan berakar.
Namun sayang, pertemuan tidak sengaja dengan Tias, malah membuat pria itu menjadi gelisa. Pasalnya, ia sama sekali tidak mendapat informasi, atau kabar apapun mengenai pria yang sedang ia pandangi fotonya.
Arga menghela napas gusar. Ingatannya membawa kembali pada pertemuannya dengan Tias, tempo hari.
Bagaimana wajah Tias yang terkesan menutup-nutipi kabar tentang Eza, sikap Tias yang terlalu buru-buru meninggalkannya begitu saja, tanpa alasan pasti, membuat pria itu menduga, dan berpikir keras.
Lagi, Arga menghela napas. Telapak tangannya meraba gambar wajah pria itu. "Za, kamu baik-baik aja kan. Aku kangen sama kamu." Bersamaan dengan itu, desir-desir yang menghasilkan rasa nyeri seolah sedang berjalan bersama aliran darah--berakhir di hatinya, seolah menusuk dan membuatnya sakit. Menggunakan punggung tangan pria itu mengusap air yang membuat bola matanya berkaca.
Rasa rindu pada cinta pertamanya, kembali menyapa, dan semakin dalam.
Pergelangan tangan yang tiba-tiba melingkar di perutnya membuat pria muram itu, tersentak sadar. Ia memutar tubuh, lalu disapa senyum oleh seorang pemuda yang akhir-akhir ini selalu bisa membuatnya tertawa.
"Kamu, udah di sini?" Ucap Arga setelah ia berhasil menguasai dirinya--menyembunyikan kesedihanya di hadapan pemuda itu.
"Habis, pintunya enggak dikunci," beritahu Doni. "Yaudah, aku masuk aja. Nggak papa, kan?" Pemuda itu menguatkan pelukanya di pinggang Arga.
Arga mengulas senyum. "Nggak apa-apa. Kamu bisa masuk kapan aja, kalau kamu mau. Gimana meeting kamu?"
"Aku nggak ikut meeting."
"Lho kenapa?"
"Aku udah bilang sama papa, aku nggak mau dapet tugas besar. Dari pada nanti mengecewakan, mending orang yang lebih pengalaman aja yang urus, iya kan?"
Arga mengangguk-anggukan kepala, membenarkan pemikiran Doni barusan. "Bener juga. Oh iya, kamu mau ikut ke starclup? Nanti malem aku tampil."
"Boleh, deh," sahut Doni. "Tapi kamu udah ngomong sama Madam, soal kamu enggak mau lagi terima panggilan?"
Anggukan kepala Arga membuat senyum Doni mengambang. Pelukkan di pinggang pria itu semakin kuat, seolah tidak ingin ia lepaskan.
"Makasih, Mas..."
Yah, atas bujukkan dari Doni, dan mengikuti hati nuraninya, akhirnya Arga memutuskan untuk tidak lagi menerima panggilan. Meski harus membuat Madam marah, namun tekadnya sudah bulat. Setidaknya, Arga masih tetap berada di starclup sebagai penari erotis.
"Kita berangkat sekarang aja, giaman?" Ucap Arga kemudian.
Doni melihat arloji yang melingkari pergelangannya. Waktu baru menunjukan pukul 20.00. "Baru jam lapan, mas. Masih sore."
"Kita bisa ngobrol-ngobrol dulu, di sana."
"Nanti aja lah, aku masih kangen sama kamu." Kedua pergelangan Doni mengalung di leher Arga. Pemuda itu harus mendongakan kepala, lantaran tubuh Arga yang lebih tinggi darinya. "Masih punya banyak waktu, aku pengen berduaan aja sama kamu." ujar Doni sambil menatap bibir maskulin milik pria gagah itu.
Arga mengulas senyum. Sorot matanya menatap lurus bibir manis, yang sedang mendekati mulutnya--hingga akhirnya, cup bibir itu mendarat, melumat lembut bibir bawahnya.
"Enghm." Doni melenguh. Bibir tebal beraroma jantan itu membuat ia merasa seperti di awang-awang. Ia mengeluarkan lidah, berusaha menerobos ke dalam mulut Arga. "Enghm." Pemuda itu mendesah saat lidah Arga menyambut lidahnya, dengan gerkan lincah.
Isapan mulut Doni pada lidahnya, sukses menggugah syahwat Arga. Pria itu terlihat begitu agresif, mengimbangi sambil menikmati tiap-tiap lumatan dari bibir manis milik pemuda itu.
Dalam keadaan bibir yang masih saling lumat, Doni melingkarkan tangannya ke tubuh gagah milik pria itu--memeluknya erat, lalu memutarnya ke arah ranjang. Masih dengan ciuman yang tak ingin terlepas, Doni mendorong mundur tubuh Arga, hingga memepet pada sisi tempat tidur. Sejurus kemudian, brugh kedua pria itu membanting tubuhnya di atas kasur--melanjutkan pergulatan penuh birahinya, di sana.
***
"Buruan Don, pake bajunya," perintah Arga. Pria itu sudah duduk di tepi dipan sedang memakai sepatu.
"Mas," panggil Doni mengabaikan perintah Arga. Pemudah itu masih nyaman di dalam selimut, menutupi tubuh telanjangnya.
"Hem," sahut Arga.
"Aku salut lho, sama kamu. Bisa ya, kamu puas cuma dengan oral. Padahal, aku udah siap banget tadi pengen dimasukin."
Mendengar itu Arga hanya menarik sebelah ujung bibirnya, tertawa miring hingga mengeluarkan suara desisan. Sesaat kemudian ia beranjak dari duduk, lalu menatap Doni yang masih memeluk guling.
"Buruan, nanti telat." Pria itu merasa enggan menanggapi kalimat Doni.
Doni menghela napas panjang. "Kamu tunggu dimobil, aku ganti baju dulu."
"Jangan lama-lama." Setelah menyampaikan itu, Arga memutar tubuh lalu berjalan keluar kamar.
Doni baru beranjak dari tidurnya, setelah Arga sudah tidak terlihat lantaran puntu kamar sudah ditutup olehnya.
Menarik napas dalam sebelum akhirnya Doni hembuskan secara perlahan. Ia berdiri mematung sambil menatap foto Arga bersama pria lima tahun lalu. Setelah diam sambil berpikir selama beberapa saat, pemuda itu mengambil bingkai dari dinding, lalu ia sembunyikan di bawah kolong tempat tidur.
Entahlah, hatinya mulai tidak nyaman tiap kali melihat Arga, memandang foto itu terlalu lama.
***
Malam itu Tias terlihat begitu gelisah. Pertemuannya dengan Arga membuat ia jadi merasa tidak nyaman akhir-akhir ini. Entahlah, ia jadi merasa sudah membohongi sahabatnya, lantaran tidak pernah memberitahu prihal pertemuan tersebut.
Tentu saja Tias merasa bahagia bisa bertemu dengan Arga lagi. Kerinduan dan rasa penasarannya selama lima tahun akhirnya terjawab sudah. Wanita itu merasa lega, karena ternyata Arga baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Penampilan pria itu, sekarang sangat berbeda di mata Tias.
Namun, Tias merasa belum siap untuk menceritakan soal itu kepada Eza. Entahlah Tias merasa bimbang. Wanita itu masih takut kalau sampai Eza bertemu dengan Arga kembali.
Di satu sisi, Tias mengerti akan kerinduan yang sedang dirasakan oleh sahabatnya. Tapi di sisi lain, Tias tidak ingin hubungan diantara mereka, kembali terjalin.
Bunyi panggilan masuk pada HP membuyarkan lamunannya. Wanita itu lantas mengambil HP tersebut, yang ia taruh di atas meja. Ia menghela napas saat melihat nama Eza tertera di layar HPnya.
Menggeser tombol jawab, sebelum akhirnya Tias menempelkan benda itu di kupingnya.
"Ya, Za..." sapa Tias.
"Halo Tias, malam ini aku pulang telat. Aku titip Arga ya."
"Ada apa emangnya, apa ada masalah sama meeting?"
"Semua baik-baik aja Tias. Lancar. Kita akan kerjasama dengan dua perusahaan dari Cilegon."
"Syukurlah, terus kenapa kamu telat?"
"Gini Tias, mereka pengen merayakan hubungan kerjasama kita. Aku sama temen-temen diajak ke mana tadi, Starclub katanya."
Kening Tias berkerut. "Starclub? Tempat apaan itu Eza?"
"Aku nggak tahu Tias. Tapi menurutku si kayak semacam diskotik."
"Ya ampun Eza, ngapain kamu dateng ke tempat kayak gitu?"
"Aku nggak bisa nolak Tias. Kamu jangan khawatir aku bisa jaga diri."
Tias mendengkus kesal. "Yasudah, hati-hati. Jangan lama-lama di sana."
"Titip Arga ya."
"Iya jangan khawatir. Arga juga udah tidur."
Setelah menutup sambungan telfon, Tias beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah kamar.
Tbc