webnovel

Meminta Izin

Pagi hari di desa yang agak pelosok. Namun, segar dan permai karena banyaknya pepohonan di sekitaran desa itu, tepat di rumah yang sederhana yang semuanya terbuat dari batu bata, bahkan lantainya juga hanya beralaskan tanah. Terdengarlah suara ponsel berdering dengan sangat nyaring yang berada di atas meja kayu yang berwarna merah. Lalu seorang gadis muda yang sedari tadi duduk di luar rumahnya sambil menikmati sejuknya angin, sontak langsung berhamburan karena kaget oleh suara ponselnya itu. Senyuman terukir di wajah indahnya ketika dia mendapati sang pujaan hatinya lah yang meneleponnya. Tangannya dengan lincah langsung menggeser tombol hijaunya.

"Halooo, Sayaaaang, kamu kapan pulang? Apa kamu tak merindukan aku? Kita sudah lama lho tidak bertemu hampir dua tahun, kamu bagaikan bang Toyib saja yang pergi tak pulang-pulang dan cinta kita hanya sebatas LDR saja, kapan dong kamu menikahi aku sesuai dengan janjimu, keburu aku diambil orang baru tau rasa kamu karena aku sudah berumur hampir 22 tahun," terang gadis muda yang bernama Bianka Agustin ini. Suaranya terdengar merengek karena tak tahan lagi menahan kerinduan yang amat besar kepada pacarnya itu. Bahkan ia ingin segera menikah, karena di desanya, rata-rata kebanyakan menikah muda, kalau seumuran dia sebentar lagi sudah di stempel julukannya menjadi perawan tua. Bahkan banyak temannya yang sudah menikah.

"Sabar dong, Sayaaang, hoho ... hmmm aku punya ide, apa kita menikah saja? Aku pernah belajar dari pak yai ku yang sewaktu di pondok pesantren itu, katanya boleh menikah dalam status LDR," balas pacarnya itu yang bernama Betran Alandra.

Ucapan Betran itu sungguh membuat Bianka kebingungan dengan alisnya yang kini sudah dinaikturunkan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bianka tidak pernah berada di pondok pesantren jadi dia tidak tau apa-apa, dia hanya gadis desa yang polos dan kurang bergaul, berbeda dengan Betran. Meskipun dia satu desa dengan Bianka, tapi Betran sering mengembara, bahkan pernah berada di pesantren selama beberapa tahun lamanya, jadi dia agak tau tentang masalah seperti itu.

"Maksud kamu bagaimana, Sayang? Aku benar-benar tidak paham, mana boleh yang seperti itu, mending kamu segera pulang saja lalu menikahi ku," tanya Bianka, dengan pemikirannya yang katanya sungguh semua itu tak masuk akal baginya.

"Bisa, Sayang, boleh kok, sekarang musim covid jadi pulangnya sulit kalau di luar negeri seperti aku ini, jadi untuk sementara menikah dalam ponsel saja, kalau sudah resmi suami istri kan enak nanti kepulanganku sudah kamu sambut dan kita bisa bikin bayi hehe," balas Betran disertai candaannya. Gara-gara candaan Betran itu, pipi Bianka bersemu merah dan kini dia membisu tak membalas ucapan Betran sama sekali.

Awalnya Betran mengira kalau Bianka sudah menutup ponselnya karena tak ada suara apapun, tapi melihat telepon yang belum dimatikan. Betran pun berdehem terlebih dahulu dengan berulang-ulang, itu membuat Bianka mengerjapkan kedua bola matanya. Sedikit kaget karena deheman Betran itu.

"Heeey kamu kok diam saja, Sayang? Apa tidak mau? Kalau tidak mau ya gak apa-apa sih ... tunggu aku pulang saja kalau begitu." Betran yang tadinya sangat bersemangat kini agak tak bersemangat lagi karena tak kunjung mendapat balasan dari pacarnya itu.

Sejenak Bianka termenung, mencoba memikirkan yang terbaik, di sisi lain dia ingin pesta pernikahan pada umumnya seperti orang-orang, tapi semenjak ada PPKM bahkan di desanya tak diizinkan resepsi, tapi kalau menunggu Betran pulang bisa-bisa dia menjadi perawan tua dan akan terus digunjingkan oleh mereka semua. Jadi menurutnya ide Betran boleh juga, dengan begitu dia sudah mempunyai status dan tak ada lagi orang yang berani menghujatnya. Memang di desa itu mulutnya pedas-pedas semua. Jadi tak akan bisa dihindari dan dipungkiri lagi.

"Beri aku waktu, Sayang, aku nantinya akan mendiskusikan dengan Ibu dan Ayahku dulu, kamu juga sama harus mendiskusikan dulu dengan keluargamu, kalau sudah semua menyetujui, mungkin aku juga akan setuju, jadi tergantung itu semua, kamu juga harus semangat untuk meyakinkan semuanya dan meminta izin mereka terlebih dahulu," jawab Bianka yang masuk akal juga, jadinya Betran menerima ucapan Bianka.

"Baiklah, Sayang, kalau begitu aku sudahi ya teleponnya, besok aku hubungi lagi, pokoknya nanti kamu bilang biar besok bisa segera menikah, intinya yang penting ada ijab, qobul, wali juga saksi, itu sudah lebih dari cukup, untuk maharnya nanti kamu sebutkan berapa, pastinya akan aku transfer dari sini."

Setelah Betran memperjelas kata-katanya, ia pun mematikan teleponnya tanpa berucap kata manis lagi. Karena begitulah dia, sering sekali melupakan itu semua, saking bersemangatnya. Tapi bagi Bianka itu sudah tak heran lagi dan sudah terbiasa.

Memang kedua orang tua Betran ada bersamanya sejak dahulu karena memang mereka mengurus bisnis keluarga jadi sangat jarang untuk pulang, tapi kalau keluarga seperti bibik dan lainnya masih banyak yang ada di desa ini. Jadi mereka bisa dijadikan saksi nantinya.

Bianka dengan riang gembira langsung menaruh ponselnya kembali ke atas meja. Lalu berhamburan untuk menghampiri kedua orang tuanya, yang pastinya mereka di jam segini berada di sawah yang tak jauh dari rumahnya.

Bianka terus berjalan dan tersenyum merekah ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah beristirahat dan menatapinya. "Biankaaaa, ngapain, Nak? Tumben menghampiri Ayah dan Ibu dengan sangat tergesa-gesa seperti itu? Biasanya kamu jarang mau ikut ke sawah karena pernah terjatuh ke lubang parit, tapi kenapa sekarang ke sini?" seru ibunya ketika Bianka sudah semakin dekat dengannya dan Bianka sangat jelas mendengar semua ucapan ibunya.

Dengan nafas yang sedikit tersengal. Bianka pun menjawab dengan sedikit terbata karena memang sambil mengatur pernafasannya. "Bi—Bianka mau menikah besok, Yah, Bu ... apa boleh?"

"Menikah? Besok? Apa kamu gila? Jangan sembarangan! Nikah bukan untuk main-main, Nak, dan butuh persiapan banyak, apa kamu sedang ngelindur? Sehabis bermimpi? Begitukah? Sadar halloooo putri Ayah yang cantik." Ayah Burhan yang tak percaya dengan ucapan anaknya yang menurutnya ngaco dan mengada-ngada itu, beliau akhirnya tertawa. Bahkan ibu Bihana juga ikut tertawa karena ulah suaminya yang begitu ceria itu.

Lalu Bianka dengan sedikit frustasinya, bingung mau menjelaskan mulai dari mana, ia pun mencoba menjelaskan semuanya secara detail, seperti apa yang dibilang oleh Betran tadi. Kedua orang tua Bianka yang mengerti tentang pernikahan dalam ponsel, keduanya lalu saling bertukar pandangan, serasa hati mereka bergetar hebat, seperti mendapatkan ketidaknyamanan dan ketidakcocokan, bahkan firasat mereka kacau. Kata mereka, boleh-boleh saja menikah, tapi apakah seperti ini akan terjamin? Takutnya itu semua malah akan melukai anaknya suatu saat nanti karena LDR yang berkepanjangan dan tak ada habisnya itu, jelasnya Bianka akan terus menunggu dan itu sungguh sangat menyakitkan.

"Benarkah? Kamu yakin? Tidak akan menyesal?"

次の章へ