webnovel

Ini terlalu menyakitkan

"Pandu..."

Suara ibu Veronica mengalun lembut setelah ia membuka pintu kamar anaknya. Pintu bisa langsung ia buka, lantaran Pandu belum sempat mengunci kamarnya.

"Eh mami," Pandu bangkit dari tidurnya, ia duduk bersila sambil menatap ibunya yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. "Ada apa mi?" Tanya Pandu, setelah ibu Veronica baru saja mendudukan dirinya di tepi ranjang.

"Tadi mami liat Aden keluar, mau kemana?" Tanya ibu Veronica.

"Katanya si mau ngambil sesuatu di kontrakan kakaknya," jawab Pandu, ia mengatakan persis apa yang dikatakan Aden padanya saat berpamitan akan keluar. Aden melarang Pandu untuk ikut, dengan alasan khawatir dengan kesehatan Pandu.

"Owh..." ucap ibu Veronica.

"Mami masuk kamar Pandu cuma mau nanyain Aden doang?" Tanya Pandu heran.

Senyum keibuan terbit dari bibir bergincu milik ibu Veronica, telapak tangannya yang mulus mengusap penuh kasih puncak kepala anaknya. "Mami mau ngasih kabar baik sama kamu."

"Kabar baik apa mi?" Tanya Pandu, ia mulai merasa penasaran.

"Tadi dokter pribadi kamu ngabarin ke mami, katanya ada orang yang mau menjual ginjalnya_"

"Trus," sergah Pandu, bola matanya berbinar, kabar itu benar-benar membuatnya bahagia.

"Tunggu dong, jangan dipotong, mami belum selesai ngomong," protes ibu Veronica.

"Iya... iya mi, sorry, Pandu semangat banget soalnya." Aku Pandu.

Ibu Veronica terdiam, bibirnya tersenyum simpul, tatapan matanya teduh menatap wajah putranya. Ia bisa merasakan jika anaknya itu benar-benar terlihat sangat bahagia. Sebenarnya ia juga merasa sangat bahagia, namun ibu Veronica mempunyai rasa khawatir tentang rencananya yang akan pindah keluar negeri setelah Pandu sehat.

"Mi..." tegur Pandu, lantaran ibunya hanya diam, belum melanjutkan ceritanya. "Kok malah diem, udah nggak sabar ni."

"Oh... iya. jadi gini, orang itu memang lagi butuh uang, jadi terpaksa menjual ginjalnya, dia tau kita butuh pendonor karena dia baca iklan yang mami pasang di koran. Trus setelah orang itu menemui dokter kamu, dan langsung diperiksa ternyata semuanya cocok."

Penuturan ibu Veronica membuat Pandu tidak bisa menahan senyum, ia terlalu bahagia bercampur haru hingga bola matanya sampai berkaca-kaca. Menggunakan punggung tangan, Pandu mengusap air matanya yang hampir lolos melewati pelupuk matanya.

"Tapi..." ibu Veronica terdiam, membuat Pandu mengerutkan kening karena heran.

"Tapi apa mi?"

"Tapi masih ada satu pemeriksaan lagi," jawab ibu Veronica.

"Apa lagi mi?"

"Orang itu masih harus menjalani tes urin, diperiksa apa dia bebas rokok atau tidak. Kalo menurut pengakuannya sih, dia bukan perokok. Tapi tetep aja mami harus yakin dulu, mami nggak mau main-main." Jelas ibu Veronica. "Bisa aja kan orang itu bohong karena lagi butuh uang."

"Iya sih mi, tapi mudah-mudahan semua baik-baik aja ya mi. Pandu udah seneng banget soalnya."

Pandu menggeser tubuhnya, mendekat kepada wanita yang ia panggil mami, ia melebarkan kedua tangannya, lalu memeluk erat ibu Veronica.

"Makasih ya mi, udah berjuang buat Pandu. Pandu sayang banget sama mami."

"Kamu kan anak mami satu-satunya, mami pingin kamu supaya sehat terus. Apapun bakal mami lakuin buat kamu." Ucap ibu Veronica, setelah itu ia menghujani puncak kepala anaknya dengan ciuman.

Sementara Pandu tidak berhenti melebarkan senyumnya, ia benar-benar sangat bahagia. Rasanya Pandu sudah tidak sabar memberikan kabar bahagia itu kepada Aden.

Ekhem...!

Suara dehem yang dibuat-buat oleh pak Arlan sukses melepaskan pelukan erat yang dilakukan oleh anak dan istrinya.

"Pelukan kok nggak ngajak-ngajak." Protes pak Arlan sambil berjalan mendekati anak dan istrinya. "Papi kan mau juga dipeluk." Ucap pak Arlan setelah ia sudah berada di dekat isteri dan anaknya.

"Emang kalo malem masih belum puas pelukan sama mami?" Goda Pandu.

Pak Arlan memukul pelan kepala anaknya menggunakan koran yang sedang ia pegang. "Ngomong apa kamu."

Pandu tersenyum nyengir sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gimana udah dikasih tau sama Pandu soal calon pendonor itu?" tanya pak Arlan kepada isterinya.

"Udah dong pi, kalo kabar bagus mami enggak bisa sabar buat ngasih taunya." Ucap ibu Veronica.

Telapak tangan kasar pak Arlan mengusap puncak kepala anaknya, sorot matanya lurus menatap ke wajah Pandu. "kamu harus sehat, kamu satu-satunya harapan papi buat nerusin perusahaan kita. Ohiya, satu lagi, papi minta kalo masa kontrak kamu jadi model udah selesai, jangan dilanjut lagi. Jangan bikin malu papi."

"Beres pi," ucap Pandu patuh.

Pak Arlan mengalihkan perhatiannya ke arah isterinya, ia memberikan koran yang sedari tadi ia pegang. "Mi coba baca ini, itu bukannya temen mami ya?"

Ibu Veronica meraih koran yang diberikan oleh pak Arlan, "kenapa emangnya pi?" Tanya bu Veronica heran.

"Baca yang bagian ini," ucap pak Arlan sambil telunjuknya menunjuk pada sebuah berita yang tertulis di surat kabar tersebut.

Kening ibu Veronica berkerut, saat ia mulai membaca judul berita yang ditunjuk oleh suaminya tadi.

Polisi berhasil menggrebek praktek prostitusi atau arisan berondong yang dilakukan oleh puluhan wanita di cafe Amanda.

Berkat laporan para warga sekitar, polisi akhirnya berhasil meringkuk puluhan wanita-wanita cantik yang sedang berpesta brondong. Praktek prostitusi yang berkedok arisan itu, berhasil dibongkar lantaran kecurigaan seroang warga yang merasa resah dengan kegiatan yang dilakukan dua kali dalam sebulan itu.

Polisi juga berhasil mengamankan barang bukti, berupa minuman keras, sabu-sabu dan seorang remaja putra yang diduga menjadi objek arisan berondong tersebut.

Salah satu dari puluhan wanita itu, ada seroang wanita berinisial ING, diketahui adalah seorang  wanita mantan istri pejabat dan pengusaha SPBU. Wanita berinisial ING ini merupakan pemilik cafe Amanda tersebut. jktgosip.com.

Menarik napas dalam sebelum akhirnya ibu Veronica hembuskan secara perlahan. Ibu Veronica menggelengkan kepala sambil berdecak. Meskipun Inggrid pernah bersikap kurang ajar, tapi bagaimana pun wanita itu adalah temannya. Oleh sebab itu ia merasa prihatin, miris saat membaca berita tersebut.

"Apaan mi?" Tanya Pandu heran.

Ibu Veronica membuang napas gusar sebelum akhirnya menjawab. "Temen mami, tante Inggrid ketangkap poloisi. Katanya sih digerebek karena mengadakan arisan berondong."

"MAMPUS....!" geram Pandu penuh semangat. "Tau nggak mi? Si Aden hampir saja jadi korban tante Inggrid."

Pak Arlan dan ibu Veronica saling bersitatap saat mendengar penjelasan anaknya.

"Masak sih?" Tanya ibu Veronica.

"Iya mi, Aden sendiri yang cerita, Pandu aja kaget. Untung aja Aden bisa kabur."

Cerita Pandu membuat ibu Veronica menelan ludahnya susah payah, "oh..." ucapnya.

~♡♡♡~

"Lu udah yakin mau ngelakuin itu?" Tanya Lukman kepada Aden yang sedang duduk menyandar pada sandaran kursi di sebelahnya.

Aden membuang napas gusar sebelum akhirnya menjawab, "iya, aku udah pikirin mateng-mateng kok."

Lukman menggeleng kepalanya pelan, menatap Aden dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kasihan, dan heran. "Coba lu pikirin lagi, lu juga musti mikirin dampaknya. Lu punya keluarga kan? Lu juga harus minta pendapat sama mereka."

"Kamu tenang aja Luk, orang tua aku pasti nggak akan keberatan. Mereka bakalan seneng, katanya nggak usah mikir dua kali kalo kita mau berbuat baik. Aku juga udah konsultasi sama dokternya Pandu, katanya tidak akan ada resiko apa-apa. Banyak yang bisa hidup sehat, hidup normal walaupun pernah mendonorkan ginjal di waktu muda."

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Lukman hembuskan secara perlahan. Pernyataan Aden membuat Lukman tidak mampu berkata-kata lagi.

"Yah... kalo itu udah jadi keputusan lu, gue nggak bisa apa-apa. Sebagai temen gue cuma bisa nasehatin lu. Gue seneng akhirnya Pandu dapat pendonor, tapi kalo harus ngorbanin lu, gue yakin Pandu juga nggak akan mau. Lagian orang tuanya Pandu kan kaya, mereka pasti bisa kok dapet pendonor buat Pandu."

"Kamu nggak ngerti," Aden menghela napas lembut sebelum melanjutkan kalimatnya, "dan aku nggak ngrasa dirugikan kok, aku ikhlas. Kamu jangan kasih tau Pandu dulu ya soal ini."

"Terserah lu aja deh," ucap Lukman putus asa.

Suara pintu yang dibuka dokter pribadi Pandu, mengalihkan perhatian Lukman dan Aden. Keduanya menatap cemas ke arah dokter yang sedang berjalan mendekati mereka, dengan membawa dua berkas di tangannya.

"Gimana hasilnya dok?" Tanya Aden setelah dokter pribadi Pandu mendudukan dirinya di kursinya. Tepat di hadapan Aden dan Lukman, terhalang oleh meja kerjanya.

Dokter pribadi Pandu yang diketahui bernama dr.Darma sedang mencocokkan berkas Aden yang baru saja ia periksa dengan berkas miliknya Pandu. Dr.Darma menggelengkan kepala seraya berkata, "luar biasa Den, ini sulit dipercaya. Ginjal kamu sangat sehat, dan hasil cocok sekali dengan punya Pandu. Golongan darah kalian juga sama."

Penjelasan dr.Darma membuat bola mata Aden berbinar, rasanya ia benar-benar bahagia. Aden menerbitkan senyumnya, ia menoleh ke arah Lukman sekilas, lalu kembali lagi menatap dr.Darma, "jadi saya bisa jadi pendonor buat Pandu dok?" Tanya Aden penuh harap.

Dr.Darma menumpuk berkas milik Aden dan Pandu menjadi satu, kemudian ia meletakan kedua berkas itu di atas meja, "ini baru tahap pencocokan Aden, untuk realisasinya kami tidak bisa langsung mengambil tindakan. Lagi pula usia kamu belum 18, bapak mau memeriksa kamu, itu karena kamu yang memaksa bapak tadi, kamu harus mendapat dukungan dari keluarga kamu."

"Tapi kata pak dokter saya nggak akan kenapa-kenapa," ujar Aden mengingatkan.

"Untuk menjadi pendonor memang tidak akan berpengaruh buruk buat kesehatan kamu. Tidak beresiko apapun. Tapi kamu harus membicarakan soal ini sama kelargamu. Lagi pula Den, sebenarnya sudah ada calon pendonor yang mau menjual ginjalnya buat Pandu."

Sebenarnya dr.Darma ingin menyampaikan soal itu sejak pertama Aden dan Lukman tiba di kliniknya. Cuma karena Aden terus memaksa untuk memeriksanya, sehingga dr.Darma tidak ada pilihan lain.

Aden dan dr.Darma memang terlihat akrab lantaran mereka selalu bertemu tiap kali Pandu menjalani terapi cuci darah.

"Hah?" Penjelasan dr.Darma membuat Aden terkejut, ia sedikit kecewa mendengarnya, lantaran ia menjadi yakin jika kebersamaannya dengan Pandu tidak akan lama lagi, setelah Pandu melakukan transplantasi ginjal. "Trus hasilnya gimana pak?"

"Hasilnya cocok, cuma bapak belum melakukan pemeriksaan urin. Kami harus memastikan dulu dia bebas alkohol, atau nikotin rokok." Jelas dr.Darma.

"Saya nggak pernah ngerokok pak dokter," serga Aden.

"Iya bapak tau, tapi usia kamu masih 17th, keputusan sepenting ini harus ada ijin dari kedua orang tua kamu. Sekarang permintaan kamu sudah bapak turuti." Dr.Darma menjedah kalimatnya, ia melihat arloji yang melingkar di pergelangannya, "sudah malam, mending kalian pulang saja. Doakan supaya Pandu akan baik-baik saja."

Aden menghela napas lembut, raut wajahnya terlihat kecewa. "Yaudah kalo gitu pak, kita pamit," Aden dan Lukman beranjak dari duduknya, diikuti oleh dr.Darma juga berdiri. "Terima kasih pak, tapi kalo bisa Pandu jangan tau kalo saya ke sini." Pesan Aden.

"Jangan khawatir." Ucap dr.Darma.

~♡♡♡~

Pandu, Aden dan teman-temannya minus Jonathan, sedang berkumpul di kantin, di tempat kekuasaan mereka. Ada Tristant juga ikut kumpul bersama mereka. Aden sengaja tidak membantu Anis berjualan lantaran Pandu mengajaknya untuk berkumpul. Cuma Jonathan saja yang absen, ia tadi ijin sama Pandu karena sedang ada keperluan sebentar katanya.

"Ndu... lu mau ngomong apa sama kita-kita," Alex membuka suara setelah ia menyeruput jus jeruknya melalui sedotan.

Pandu menatap temannya satu persatu, lalu tatapan matanya berhenti ke arah Aden yang sedang duduk disebelah nya.

"Gue mau ngasih kabar baik buat kalian?" Ucap Pandu, tatapan matanya lurus ke arah mata Aden yang juga menatap ke arahnya.

Pandu memang belum menceritakan kabar baik itu sama Aden. Bukan apa-apa ia cuma ingin mengatakan langsung bersama teman-temannya.

"Kabar baik apa? Penasaran gue." Tanya Roby.

Senyum Pandu mengembang, ia kembali mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya, dan tatapannya berhenti lagi ke arah Aden.

"Orang tua gue udah dapet pendonor ginjal buat gue."

"Serius Ndu?" Tanya Alex yang dijawab anggukan kepala sama Pandu, bibirnya juga tersenyum lebar, bukti bahwa ia benar-benar bahagia.

Tidak hanya Pandu, Alex, Roby dan Tristant juga turut merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Pandu.

Berbeda dengan Lukman, ia bingung bagaiman harus berekspresi lantaran ia sudah tahu tentang kabar itu. Tapi tetap saja ia merasa sangat bahagia, dan berpura-pura baru mendengarnya.

"Syukur deh Ndu, gue seneng dengernya." Ucap Lukman.

"Ini emang bener-bener kabar baik buat kita-kita, selamat ya Ndu." Imbuh Aldo.

Sedangkan Aden hanya mampu tersenyum, senyum yang sangat tipis. Tatapan matanya teduh menatap wajah Pandu yang terlihat sangat bahagia. Sebenarnya Aden juga bahagia, tapi ia juga merasa sedih, bahkan sangat sedih. Aden merasa perpisahannya dengan Pandu benar-benar sudah di depan mata.

"Kok kamu nggak ngasih tau aku duluan sih? Kirain aku bakal jadi orang pertama yang dikasih tau sama kamu," protes Aden dengan suara yang terdengar datar. Telapak tangannya yang berotot tidak berhenti mengusap-usap punggung Pandu. Sementara sorot matanya tidak ingin berpaling dari wajah Pandu.

Seandainya Lukman dan teman-temannya tahu jika Pandu akan pindah ke luar negeri setelah Pandu sehat, mungkin mereka juga tidak akan sebahagia itu.

Alex mengambil sedotan yang baru saja ia gunakan untuk minum, lalu melemparnya ke arah Aden. "Lebay lu Den," kesal Alex setelah sedotan yang ia lempar tepat mengenai kening Aden. "Kayaknya lu udah mulai ketularan si Lukman deh." Ucapnya.

Aden sama sekali tidak bergeming, ia tidak menanggapi kejahilan Alex. Perasaannya masih sibuk dengan segala kegelisahannya.

"Sorry," ucap Pandu kepada Aden, "gue cuma pingin berbagi kebahagiaan ama mereka."

Tristant menghentikan aktifitas chatingnya dengan orang yang belum ia kenal, ia mengalihkan pandangannya ke arah Pandu, "selamat ya kak, gue seneng dengernya." Ucapnya.

"Thank's ya." Jawab Pandu.

"Nyimak juga lu," sindir Lukman untuk Tristant. Ia terlihat kesal lantaran sejak tadi Tristant sibuk dengan HPnya. Selain itu Tristant memilih duduk di sisi paling ujung meja kantin, terpisah dari Lukman dan yang lainnya. "Chating ama siapa lu?" Ketus Lukman.

"Curigaan melulu ih, gue lagi buka IG gue kali." Bela Tristant berbohong.

Sebenarnya Tristant sedang penasaran dengan orang yang sedang chating dengannya, melalui aplikasi khusus untuk gay yang ia install sebelum menjadi pacar Lukman.

Awalnya Tristant akan meng-uninstal aplikasi itu, cuma pada saat ia mengecek akunnya, ternyata ada sebuah akun yang mengirimnya pesan melalui aplikasi tersebut. Tristant merasa penasaran, karena jarak yang tertera di akun orang tersebut selalu dekat jika ia sedang berada di sekolah.

Layar HP Tristant.

Mr. O

Gimana? Mau gak? Ketemuan.

Sorry gue lagi sibuk, kapan-kapan aja.

Lagian gue udah punya cowok.

Oke gue tunggu kapan lu siap.

Terserah.

Lantaran tidak ingin membuat Lukman menaruh curiga, Tristant menekan tombol power, mematikan HPnya. Tapi sebelum itu ia menyimpan aplikasi khusus gay itu ke file pribadinya. Teristant beranjak dari duduknya, lalu berjalan mendekat ke arah Lukman.

"Priksa ni hape gue, biar nggak curiga melulu." Titah Tristant setelah ia duduk di dekat Lukman.

Dengan wajah yang masam, Lukman mengambil HP milik Tristant, lalu mulai mengobrak-abrik semua akun sosial media milik Tristant.

Seperti biasa, Alex dan Roby selalu memutar bola matanya jengah saat melihat kelakuan Lukman dan Tristant.

Sedangkan Aldo selalu cuek, ia tidak pernah perduli dengan apa yang dilakukan oleh sahabatnya. Yang penting bagi Aldo, prifasinya tidak terganggu. Aldo memutar kepalanya 80 derajat, menoleh ke arah Pandu, "trus Ndu, kira-kira kapan lu mulai oprasinya?"

"Mungkin minggu depan, sementara lagi nunggu hasil tes urin atau apalah gue nggak ngerti."

Aldo mengangguk-anggukkan kepalanya, ia terdiam sambil memikirkan sesuatu. "Berati jadwalnya barengan sama tandingan perpisahan dong?" Ucap Aldo.

"Kayaknya sih gitu," jawab Pandu.

"Wah lu nggak bisa liat kita tanding dong," potong Alex. "Padahal katanya bakal ada dua wartawan dari media cetak buat ngeliput acara kita lho, pasti bakal seru."

"Nggak papa yang penting Pandunya sehat," ucap Aldo.

Pandu hanya tersenyum simpul, kemudian ia menoleh ke arah Aden yang masih saja menatap wajahnya dengan teduh. Tiba-tiba Pandu mengerutkan kening, merasa heran karena melihat bola mata Aden sudah banyak digenangi air mata.

"Aku ke toilet..." ucap Aden, ia langsung berdiri dari duduknya, berjalan keluar kantin sambil dengan kasar mengusap air matanya, menggunakan telapak tangan.

~♡♡♡~

Aden, Pandu, dan kedua orang tuanya sedang menyantap makan malam, di ruang makan. Terlihat Pandu seperti tergesa-gesah menghabiskan makanannya.

"Pelan-pelan Pandu," tegur ibu Veronica yang menyadari kelakuan anaknya.

"Sorry mi," ucap Pandu dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. "Pandu udah telat, malam ini ada pemotretan buat peluncuran fashion terbaru dari perusahaan yang udah mengontrak Pandu."

Pak Arlan menggeleng kepalanya pelan seraya berdecak kesal, "malam ini terahir kamu pemotretan." Putus pak Arlan, ia tidak tega membiarkan anaknya seperti dimanfaatkan oleh orang lain.

"Tapi pi, kontrak Pandu masih dua bulan lagi," jawab Pandu.

Pak Arlan meletakan sendok dan garpu di atas piring, ia menyudahi makan malam lantaran selera makannya sudah menghilang. "Papi nggak perduli, besok pengacara papi yang urus pembatalan kontrak kamu itu. Berapapun kerugian mereka papi yang tanggung."

Pandu meraih gelas yang ada di hadapannya, kemudian ia meminum air mineral hingga tandas. "Yaudah terserah papi aja," ucap Pandu setelah ia meletakan kembali gelas yang baru saja ia gunakan untuk minum. "Den lu nggak usah ikut nggak papa, lu kan masih banyak tugas. Gue biar diantar sama sopir aja."

Aden mengangguk pelan, "yaudah kalo gitu, hati-hati." Ucapnya.

"Pi... mi... Pandu berangkat," pamit Pandu, kemudian ia berjalan cepat ke meninggalkan Aden, kedua orang tuanya, dan juga HP yang masih tergeletak di atas meja makan.

Pandu terlalu tergesa-gesa hingg ia melupakan HP yang letakan di atas meja, di dekat ia makan barusan.

Pak Arlan dan ibu Veronica hanya menggeleng sambil berdecak heran, mereka juga tidak menyadari jika Pandu pergi tanpa membawa HP canggihnya.

Beberapa saat kemudian pak Arlan dan ibu Veronica beranjak dari duduknya, tapi sebelum melenggang pergi, ibu Veronica menatap Aden yang sedang menghabiskan makan malamnya.

"Den... nanti kalo kamu udah selesai makan kamu ke ruang kerja papinya Pandu ya, ada yang musti kita bicarakan. Ibu sama papinya Pandu tunggu kamu di sana." Ucap Ibu Veronica selembut mungkin. "Mumpung Pandunya sedang tidak ada."

"Iya bu..." jawab Aden sambil mengangguk patuh.

~♡♡♡~

Pandu baru saja masuk di ruang tamu, ia berjalan cepat menuju ruang makan sambil memaki dirinya sendiri, lantaran kecerobohannya sudah meninggalkan HPnya.

"Bego, udah tau telat make acara hape ketinggalan lagi." Pandu mengumpat untuk dirinya.

Langkah cepat Pandu membawanya hingga sampai di ruang makan. Pandu membuang napas lega, saat bola matanya melihat benda persegi empat itu masih tergeletak di tempat semula. Namun Pandu tidak melihat Aden dan kedua orang tuanya di sana. Mungkin sudah selesai makan, pikir Pandu.

"Lho mas Pandu balik lagi?" Tanya salah seorang assisten rumah tangga yang sedang membawa nampan, ada tiga cangkir teh hangat di atas nampan tersebut.

"Iya bi hape ketinggalan, untung belum jauh," jawab Pandu seraya memasukan HP miliknya ke kantong celana jeansnya.

"Oh gitu, tadinya mau bibi simpen, tapi ibu nyuruh bikin teh anget dulu?" Jawab asisten rumah tangganya. "Yaudah mas bibi tinggal dulu, takut ibu nungguin."

Asisten rumah tangga melanglang melewati Pandu yang masih berdiri di samping meja.

"Eh bi..."

Pandu menghentikan perjalanan asisten rumah tangganya.

"Ada apa mas?" Ucap mbak Wati setelah ia berhenti dan memutar tubuhnya hingga sampai berhadapan dengan Pandu.

"Papi lagi ada tamu?" Heran Pandu, lantaran ia tidak melihat ada kendaran lain di halaman rumahnya.

"Nggak ada mas, emang kenapa?"

"Nggak papa, itu bawa minum tiga buat siapa?"

"Oh ini buat mas Aden, bapak, sama ibu, lagi kumpul di ruang kerja bapak." Jelas mbak Wati.

"Oh..." ucap Pandu, kemudian ia tersenyum nyengir. "Yaudah bi."

"Iya mas Pandu," ucap mbak Wati, kemudian ia memutar tubuhnya, melanjutkan perjalanannya menuju ruang kerja pak Arlan, dimana sudah ada ibu Veronica, pak Arlan, dan Aden di sana.

"Bi...! Tunggu." Pandu kembali menghentikan langkah pembantunya, ia berjalan cepat mendekati mbak Wati yang sudah berhenti di tempatnya.

"Ada apa lagi mas Pandu," tanya mbak Wati saat anak majikannya sudah berada tepat di hadapannya.

"Minumnya biar Pandu aja yang bawa," pinta Pandu sambil mengambil nampan yang masih dipegang pembantunya.

Entahlah, tiba-tiba saja Pandu jadi kepo berat. Tidak biasanya orang tuanya mengajak Aden mengobrol, selain itu bukannya Aden harus belajar? Tapi kenapa malah ngobrol dengan orang tuanya. Rasa penasaran Pandu membuat ia lupa jika dirinya sudah terlambat untuk acara pemotretan.

Pandu juga senang sih, ternyata orang tuannya benar-benar menerima Aden dengan baik di rumahnya. Pandu juga ingin menggoda kedekatan Aden dengan orang tuanya nanti.

"Tapi mas, ini kan tugas bibi."

"Halah udah nggak papa, bibi lanjutin kerja yang lain aja, atau nggak istirahat aja sana." Titah Pandu saat ia sudah berhasil merampas nampan berisi tiga cangkir teh hangat dari tangan pembantunya.

"Iya udah kalo gitu trima kasih mas Pandu," ucap mbak Wati. Kemudian ia kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.

Sementara Pandu menggantikan mbak Wati, mengantar teh hangat yang diperuntukan, untuk Aden dan dan kedua orang tuanya.

~♡♡♡~

Pandu sudah berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya, tangan kirinya memegang nampan, sedangkan tangan kanannya menggantung di udara. Ia urung mendorong pintu yang sedikit terbuka lantaran mendengar suara Aden yang seperti sedang menolak sesuatu.

Ibu Veronica memang senagaja tidak menguci pintu, supaya pembantunya bisa langsung mendorong pintu saat akan mengantarkan teh hangat pesanannya.

"Maaf bu... pak... Aden nggak bisa terima itu," ucap Aden dengan sungguh-sungguh.

Bukannya Aden menolak rejeki, tapi karena ia memang sudah menyayangi Pandu, jadi untuk apa ia harus menerima imbalan karena sudah membuat Pandu bahagia. Aden hanya melirik sekilas ke arah amplop berwarna cokelat yang berisi uang dalam jumlah banyak. Ia sama sekali tidak mau menyentuh amplop itu.

"Sudah Aden terima saja, itu tanda terima kasih kami karena sudah bikin Pandu seneng. Kami nggak bisa bayangin kalo sampai kamu nolak permintaan ibu buat jadi pacar bohongannya Pandu." Ujar ibu Veronica dengan lembut.

Aden menelan ludahnya susah payah, dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak.

"Kamu jangan khawatir Den, om sama maminya Pandu masih tetep kasih kamu beasiswa sampai kuliah, walopun kamu terima uang itu. Anggep aja itu uang jajan buat kamu." Imbuh Pak Arlan.

"Tapi pak_"

"Tidak ada kata tapi-tapian terima saja," tegas Pak Arlan.

"Iya pak sudah di sekolahin saja Aden sudah seneng banget kok pak... bu..." aku Aden, ia menatap pak Arlan dan ibu Veronica secara bergantian. "Aden nggak terima uang itu nggak papa ya?"

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ibu Veronica hembuskan secara perlahan. Penolakan Aden membuat ia yakin bahwa Aden sudah menyukai anaknya.

"Apa alasan kamu menolak uang itu, karena kamu juga sudah suka sama Pandu?" Tanya ibu Veronica dengan tatapan mata penuh selidik.

Aden kembali menelan ludahnya susah payah, rasanya berat sekali menjawab pertanyaan ibu Veronica.

"Eeng... enggak kok bu, Aden nggak suka sama Pandu, Aden cuma anggap Pandu temen. Tugas Aden kan cuma biar Pandu seneng aja." Jawab Aden berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan sebenarnya, dengan harapan Pandu tidak jadi dipindahkan keluar negeri.

"Tapi cuman temen enggak harus ciuman bibir lho... Den?" Tandas ibu Veronica. Ia terpaksa mengatakan itu lantaran lelah dengan sikap Aden yang selalu mungkir.

Deg!!

Pernyataan ibu Veronica membuat Aden kehabisan kata-kata, ludahnya juga habis ia telan. Sekarang ia bingung harus menjawab apa, ia heran darimana ibu Veronica tahu soal itu.

"Ibu liat kamu cium bibir Pandu." Imbuh ibu Veronica.

"Maaf bu, tapi kan itu biar Pandunya seneng," jawab Aden kembali berbohong.

Ibu Veronica mendengus kesal, ia bangkit dari duduknya dan berdiri menatap Aden, "jangan kecewakan ibu, kalo Aden beneran nggak suka sama Pandu, Aden terima uang itu."

Menarik napas dalam-dalam seblum Aden hembuskan secara perlahan. Tidak ada pilihan lain, selain harus menerima uang itu. "Yaudah bu, pak, Aden terima."

Secara perlahan Aden mengulurkan tangan, guna mengambil amplop yang ada di hadapannya. Namun belum sempat ia menyentuh amplop itu tiba-tiba.

PRAAK.....!!!

Suara cangkir yang dibanting sama Pandu melalui nampan, mengagetkan Aden, yang akan mengambil uang tersebut.

Tidak hanya Aden, kedua orang tua Pandu pun sama terkejutnya.

Dengan kuat Pandu membanting nampan yang berisi tiga cangkir teh hangat, hingga jatuh ke lantai dan berakhir mengenaskan. Berantakan.

Aden dan kedua orang tua Pandu serempak berdiri dan menoleh ka arah sumber suara tersebut.

Deg!!

Mereka bertiga semakin terkejut saat melihat Pandu sudah berdiri di depan pintu. Jari-jarinya mengepal kuat, bersamaan dengan rahang yang mengeras. Punggung nya terlihat naik turun, amarah besar tergambar jelas di raut wajah Pandu. Ia juga tidak bisa menahan air mata, hingga lolos melewati pelupuk matanya.

Dengan kaki gemetaran, Padu berjalan perlahan mendekati Aden dan kedua orang tuanya. Bola matanya sudah penuh dengan air mata.

"P-Pandu," ucap Aden gugup, ia melebarkan bola matanya, sambil menelan ludahnya susah payah.

次の章へ