webnovel

Kelemahanku, kamu

"Lu tau kan? Di dunia ini nggak ada yang sempurna, setiap orang pasti punya kekurangan. Setiap orang yang kuat juga pasti punya titik kelemahan. Dan letak titik kelemahan gue, ada di elu."_Pandu

~selamat membaca~

Masih flash back...

"Bu...!" Panggil Aden yang membuat ibu Veronica membatalkan niatnya untuk berdiri. "Kira-kira Pandu cuci darahnya sampe kapan?"

"Sampe kami menemukan pendonor yang cocok," jawab ibu Veronica. "Kami akan berusaha mencari secepat mungkin."

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Aden hembuskan secara perlahan. "Yaudah bu.. Aden mau."

Keputusan Aden membuat ibu Veronica mengkerucutkan wajahnya, Bola matanya berkaca dan bibirnya bergetar, lantaran rasa haru yang tidak mampu ia tahan lagi.

Ibu Veronica berpindah duduknya di dekat Aden, Perlahan ibu Veronica mengulurkan tangan untuk meraih kepala Aden, lalu dengan lembut ia menarik kepala Aden, dan menidurkannya di dadanya. "Terima kasih," ucap ibu Veronica. Kemudian ia terisak.

Wajah Aden datar menyandar di dada ibu Veronica, ia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh ibu Veronica. Punggung tangan Aden mengusap air mata yang mulai mengalir di pipi dan di bawah hidungnya. Aden ikut menangis lantaran rasa haru yang ibu Veronica tularkan kepadanya.

"Ibu percaya sama Aden, Aden anak yang baik. Ibu yakin Aden laki-laki sejati dan tidak akan pernah suka sama laki-laki." Imbuh ibu Veronica sambil menyeka air matanya yang sudah membanjiri pipinya.

"Trus Aden musti gimana bu?" Tanya Aden bingung.

Tentu saja Aden masih bingung, karena ia juga bukan artis yang pandai berakting. Ia tidak tahu dari mana harus memulai perannya.

Ibu Veronica melepaskan pelukannya, kemudian bibirnya tersenyum, tapi masih ada sisa-sisa tangisan di wajahnya. Matanya menatap Aden dengan tatapan keibuan.

"Semuanya sudah ibu pikirkan," ibu Veronica mulai memberikan intruksi yang harus dilakukan sama Aden. "Pertama, tidak boleh ada yang tau soal pertemuan kita. Pandu juga nggak perlu tau kalo ibu yang bantu Aden dari masalah tante Inggrid. Kedua kamu harus sekolah di sekolah Pandu, dan harus satu kelas sama Pandu."

"Aden kan telat satu tahun bu, mana bisa langsung kelas sebelas." Potong Aden.

Ibu Veronica tersenyum simpul, "semua biar ibu yang urus, kepala sekolahnya pasti akan nurut sama ibu, nanti biar dia yang atur. Tapi tetep Aden harus rajin belajar karena ibu kepingin sekolah kamu bukan pura-pura juga, tapi resmi terdaftar di sekolah itu." Jawabnya. "Anggep saja ini beasiswa dari ibu, tapi atas nama kepala sekolah. Anggep ibu tidak tahu apa-apa meski ibu dibalik semua ini. Satu lagi, jangan kasih tau Pandu kalo ibu sudah tahu jika Pandu suka sama Aden. Solanya pas ibu ke kosan kalian, ibu nggak mau bahas itu sama Pandu." Jelas ibu Veronica.

Aden menyimak dengan baik semua yang diterangkan ibu Veronica padanya. Meski ada sedikit yang mengganjal karena ia tidak sampai hati membohongi Pandu, tapi jauh di lubuk hatinya Aden tidak ingin Pandu menanggung sakit. Aden hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja.

"Satu lagi pesan ibu, ini cuma pura-pura." Imbuh ibu Veronica.

Aden tersenyum simpul, "iya bu, Aden paham." Jawabnya.

Kemudian setelah pertemuannya dengan Aden, ibu Veronica datang ketempat kontrakan Anis dan Dadang. Ibu Veronica tidak main-main dengan rencananya, sehingga ia merasa perlu dukungan dari keluarga Aden. Awalnya Anis dan Dadang merasa keberatan dengan rencana ibu Veronica yang dianggapnya diluar nalar. Tapi karena ibu Veronica bisa meyakinkan, Anis dan Dadang juga tidak tega dengan Pandu, sehingga Anis dan Dadang mengijinkan Aden membantu ibu Veronica.

Selain itu ibu Veronica tidak dengan cuma-cuma meminta bantuan Aden. Anis dan Dadang diberikan amplop coklat yang pasti berisi uang sebagai tanda terima kasih. Sehingga Anis dan Dadang tidak keberatan.

Astaga! Demi apapun Aden sebenarnya tidak mengharapkan apapun. Ia tulus dan ikhlas membantu ibu Veronica. Sudah ditolong dari tante Inggrid dan bersekolah saja Aden sudah sangat senang. Aden sempat menolak uang itu, tapi ibu Veronica memaksa. Jadi mau tidak mau, Anis dan Dadang menerima uang itu.

Lalu melihat ketulusan Aden, rasa sayang tiba-tiba muncul di hati ibu Veronica kepada Aden. Ibu Veronica akan menganggap Aden seperti anaknya sendiri.

Kemudian Aden harus pulang dulu ke Cimais, selama beberapa hari guna mengambil semua keperluan untuk mendaftarkan dirinya agar menjadi murid resmi di yayasan milik ayahnya Lukman.

Ibu Veronica juga menyarankan Aden agar tetap berjualan Cilok, supaya aktingnya makin terlihat sempurna. Natural. Tidak terlihat seperti rekayasa.

Dan semua rencana itu tentu saja sudah mendapatkan persetujuan dari bapak Arlan Atmaja. Ayah Pandu yang saat ini masih berada di Luar Negeri. Ibu Veronica sudah menceritakan semua kepada suaminya.

Flash back selesai...

~♡♡♡~

"Lukman, lu duduk di sini gue di belakang," titah Pandu sambil mengambil tasnya setelah pantat Aden menempel di bangku dekat Pandu duduk.

Entahlah, Pandu masih merasa aneh dengan kehadiran Aden yang tiba-tiba. Meskipun jauh di lubuk hatinya merasa senang, tapi ia masih merasa canggung lantaran sudah mengungkapkan perasaannya kepada Aden.

Aden menarik pergelangan Pandu, sehingga membuat Pandu terhenti dan menatap padanya.

"Emangnya kenapa kalo duduk sama aku di sini?" Tanya Aden dengan logat sunda nya.

Tidak ada pilihan lain buat Pandu selain harus duduk kembali di bangkunya. Aden tersenyum nyengir, memamerkan deretan giginya yang rata. Tatapannya teduh menatap Pandu yang masih bingung, menatap Aden dengan sorot mata penuh tanda tanya.

Suara guru pelajaran jam pertama sudah mulai terdengar, menjelaskan mata pelajaran. Aden langsung fokus menyimak semua yang diterangkan sama guru tersebut. Ada perasaan bahagia yang sulit diungkapkan dengan kata-kata di hati Aden. Bagaimana tidak, ia bisa kembali sekolah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Selain itu sekolah yang ia tempat sekarang adalah sekolah paling elit di kota Jakarta. Rasanya seperti mimpi. Oleh sebab itu Aden tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Aden ingin giat belajar, di samping ia mengemban tugas menjadi pacar bohongannya Pandu.

Aden sangat menikmati hari pertamanya menjadi murid baru di sekolah itu.

Sedangkan Pandu masih belum percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Matanya tidak berkedip menatap Aden dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Pandu butuh penjelasan. Tapi ada satu yang tidak luput dari perhatian Pandu, yaitu; Aden ternyata ganteng banget pas pakai seragam sekolah.

"Kosan kita belum abis kan," Aden membuka suara tanpa melihat ke arah Pandu. Ia sedang fokus menyimak pelajaran, "aku mau tinggal lagi di sana, sayang soalnya."

"Terserah," jawab Pandu.

"Sama kamu!"

"Hah?" Pandu terkejut, reflek menoleh ke arah Aden.

"Aku pengen belajar, kita ngobrol nanti pas jam istirahat. Ada yang pingin aku omongin sama kamu." Ucap Aden dengan nada suara yang pelan.

Menghadap kembali ke depan kelas, Pandu membuang napas lembut. "Sama, gue juga mau ngomong sama lu."

Keadaan kembali tenang, Pandu dan Aden nampak fokus menyimak penjelasan guru yang sedang mengajar.

~♡♡♡~

Jam istirahat baru saja dimulai.

Aden, Pandu, dan Lukman berjalan secara bersamaan menuju tempat favorit. Kantin.

Sebagai murid yang masih baru, tentu saja masih ada rasa tidak percaya diri bagi Aden ketika sedang berjalan menelusuri koridor. Selain itu kehadirannya di sekolah, membuat ia jadi pusat perhatian, bagi siswa yang sudah tahu siapa Aden.

Sedangkan Pandu selama perjalanan menuju kantin hanya diam saja. Otaknya masih dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Lukman sendiri tidak banyak bertanya, sesekali ia melirik ke arah Aden dengan wajah bingungnya. Karena Lukman juga masih belum mengerti kenapa tiba-tiba saja ayahnya memberi beasiswa untuk Aden. Parahnya lagi Aden langsung duduk di kelas sebelas dan satu kelas dengannya.

Pandu, Aden, dan Lukman sudah memasuki kantin. Mereka bertiga langsung berjalan menuju tempat dimana sudah ada Aldo, Jonathan, Alex dan juga Roby.

Ekspresi wajah Aldo, Jonathan, Alex, dan Roby langsung berubah menjadi bengong saat melihat keberadaan Aden di kantin bersama Pandu dan Lukman. Mereka juga semakin heran, lantaran Aden memakai baju seragam yang sama dengan mereka.

"Lu... lu Aden kan?" Kata Alex saat Aden, Pandu dan Lukman sudah duduk bergabung diantara mereka.

Aden hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan Alex.

"Iya beneran dia Aden," yakin Alex setelah dengan detail ia memperhatikan Aden yang sedang duduk di samping Pandu. "Kok bisa sih?"

"Iya gue juga kaget," ucap Lukman. "Bokap gue ngasih beasiswa sama dia."

"Oooh..." ucap serempak dari mulut Jonathan, Alex dan Roby. Aldo hanya diam saja sambil memperhatikan wajah Aden.

"Dia juga satu kelas ama gue dan Pandu," terang Lukman.

"Hah?!... serius?" Mereka terkejut, danLagi-lagi mereka bersuara secara kompak.

"Ya," Pandu meyakinkan kata-kata Lukman.

"Trus lu nggak jualan lagi dong?" Tanya Roby kepada Aden.

"Masih, mulai besok jualannya, tapi kata ayahnya Lukman suruh jualan di kantin aja pas istirahat." Jelas Aden.

"Ohh... kok aneh ya?" Ujar Alex masih dengan segala kebiungannya.

"Aneh apanya?" Aldo yang dari tadi hanya diam mulai membuka suaranya. "Nggak ada yang aneh, mungkin udah jadi rezeki nya Aden. Udah jangan terlalu dipikirin ntar nggak kuat kalian sakit. Nikmatin aja keberadaan Aden di sini, berarti temen kita nambah satu lagi." Ujar Aldo.

Jontathan, Alex, Roby dan Lukman hanya manggut-manggut. Sedang Pandu hanya diam sambil memandang wajah Aden yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Ndu lu baik-baik aja kan?" Tanya Aldo mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gue? Gue baik kenapa emangnya?" Tanya Pandu.

"Soalnya gue liat dari pagi muka lu pucet, apa lu sakit?" Waktu Pandu baru datang ke sekolah, Aldo memang memperhatikan wajah Pandu, ia merasa ada yang berbeda sama Pandu. Aldo baru sempat bertanya soal itu karena Pandu langusng masuk ke halaman sekolah saat Lukman dan yang lainnya membahas soal Aden.

"Enggak, gue nggak sakit. Gue sehat," jawab Pandu berbohong. Namun ia tidak bisa membohongi Aden.

Aden kan sudah tahu.

Tatapan mata Aden teduh memandang Pandu yang sedang duduk di sampingnya. Karena besok adalah hari pertama dimana Pandu harus mulai menjalani terapi cuci darah. Aden bingung dari mana ia harus mulai membujuk Pandu supaya bersedia menjalani terapi itu. Kalo langsung sepertinya tidak mungkin karena menurut Pandu, Aden belum mengetahui keadaannya yang sebenarnya.

Aden menggeser tubuhnya, merapat ketubuh Pandu, kemudian ia berbicara dengan pelan supaya tidak didengar sama teman-temannya. "Aku mau ngomong sama kamu, tapi enggak di sini. Katanya kamu juga mau ngomong sama aku."

"Dimana?" Tanya Pandu, ia juga merasa ada yang perlu ingin berbicara empat mata sama Aden. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan.

"Tempat yang sepi di mana? Aku kan baru sekolah di sini, mana tau." Ujar Aden.

Pandu membenarkan kata-kata Aden, kemudian terlihat ia sedang berpikir beberapa saat. "Yaudah di perpus aja." Ucap Pandu sambil berdiri dari duduknya sambil berpamitan sama teman-temannya. "Gue antar Aden ke perpus dulu ya, ada yang dia cari katanya."

Aden juga ikut berdiri dan berpamitan. Sesaat kemudian Pandu dan Aden berjalan menuju perpustakaan. Sementara Lukman dan yang lain melanjutkan obrolan mereka menetukan jadwal latihan basket.

Saat ini Pandu dan Aden sudah duduk berdua di perpustakaan. Keduanya saling berhadapan, hanya terhalang oleh meja berbentuk persegi yang ukurannya sangat panjang. Perpustakaan di yayasan itu memang sangat besar, karena mulai dari sekolah SD, SMP, dan SMA perpustakaan nya menjadi satu.

Seperti biasa, suasana di perpustakaan selalu tenang, karena para siswa yang datang ke tempat itu pasti akan membaca atau belajar dan butuh ketenangan. Selain itu jarang sekali murid-murid yang berkunjung ke perpustakaan. Setiap harinya paling hanya beberapa siswa saja yang rajin ke perpustakaan.

"Lu dulu, Mau ngomong apa?"

Pandu mulai membuka suara setelah beberapa menit Adan dan Pandu terdiam saat sudah sampai di perpustakaan.

"Aku mau minta maaf," kata Aden.

"Maaf kenapa?"

"Maaf aku pernah mukul kamu. Aku nyesel." Aden tidak sedang berakting. Karena sejujurnya ia juga menyesal karena sudah kalap lantaran tidak bisa menahan emosi saat Pandu mencium bibirnya. "Kamu mau maafin aku kan?"

"Gue nggak mau bahas itu," ucap Pandu sambil memutar bola matanya malas. Ia masih memasang wajah juteknya. "Gue pingin tau kenapa lu bisa di sini? Apa tante Inggrid yang bantu lu."

"Nggak ada hubungannya sama tante Inggrid, urusanku sama dia udah selesai."

"Kok bisa?" Tanya Pandu.

"Jangan dibahas sekarang ya," pinta Aden memohon. "Aku pasti bakalan cerita kok, sekarang aku cuma mau tanya sesuatu sama kamu."

"Soal apa lagi?"

"Kamu bisa bohongin temen-temen, tapi kamu nggak bisa bohongin aku."

"Bohong apaan? gue nggak ngerti."

Hembusan napas pelan keluar dari hidung dan mulut Aden, kemudian ia mengulurkan tangan untuk menggenggam pergelangan Pandu. "Kamu pucet, pasti lagi sakit. Kita udah pernah tinggal selama beberapa hari. Jadi aku tau kalo kamu lagi sakit."

"Lu perduli ama gue," ketus Pandu.

"Emangnya nggak boleh kalo aku peduli sama kamu?"

"Buat apa?" Pandu masih saja ketus di hadapan Aden. Tapi ketusnya cuma di mulut saja si. Karena jauh di dalam sana ia sangat senang bisa ngobrol lagi sama Aden. Selain itu Aden jadi perhatian sama Pandu.

Aden mendengus pelan, kemudian ia melepaskan cekalannya di tangan Pandu. "Kamu nggak beneran sayang sama aku." Ucap Aden.

Aden tidak punya cara lain, ia bingung bagaimana memulainya, sehingga dengan terpaksa ia langsung menuju ke inti. Semoga saja Pandu tidak curiga. Pikir Aden.

"Kirain kamu beneran sayang sama aku," imbuh Aden untuk memulai aktingnya.

Pandu terdiam, ia menatap Aden dengan tatapan penuh selidik. Ia merasa ada yang aneh dengan perubahan Aden. "Jangan mainin perasaan gue."

"Siapa yang mainin?"

"Lu...!" Ketus Pandu. "Buat apa lu tanya ke gue soal gue sayang sama elu apa enggak? Bukannya tonjokan dari lu itu udah jawab semuanya kalo lu nggak mungkin bisa suka sama gue." Jelas Pandu.

Kata-kata Pandu membuat Aden menelan salivanya susah payah. Ternyata tidak semuda yang ia pikirkan, sangat berat sekali baginya mengatakan 'aku suka sama kamu' meski cuma pura-pura saja.

"Kan aku udah minta maaf tadi. Habis mukul kamu itu, sampe di rumah aku nyesel terus kepikiran. Kamu pasti sakit hati sama aku."ujar Aden bukan akting.

"Trus kalo gue masih sayang sama lu emang kenapa? Lu peduli? Enggak kan?"

"Jelas aku perduli, soalnya aku juga sayang sama kamu!" Ucap Aden dengan nada yang lumayan tinggi. Membuat Pandu terkejut lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar perpustakaan. Takut ada yang dengar. Untung sepi.

"Aku juga sayang sama kamu," ulang Aden kembali sambil merundukan. Kali ini ia menurunkan nada suaranya.

Bola mata Pandu melebar, ia menatap Aden dengan tatapan yang sulit diartikan sambil menelan ludahnya susah payah.

"Aku pingin tinggal bareng lagi sama kamu di kosan, kamu masih mau kan?" Ucap Aden dengan raut wajah memohon.

Mata Pandu menyipit, ia menatap lekat-lekat wajah Aden untuk mencari ketulusan di sana.

次の章へ