webnovel

Tetesan air hujan yang jernih pun, berasal dari gumpalan awan yang hitam

Lukman mengambil paksa buku komik yang sedang dibaca sama Aldo dan Tristant.

Tingkah Lukman tentu saja membuat Tristant terkejut dan langsung menatap kesal kepada Lukman.

Sedangkan Aldo terlihat biasa saja, bahkan ia nampak begitu tenang. Senyum menceng tersungging di bibirnya. Aldo merasa tebakannya itu tepat. Lukman cemburu.

Dengan santainya Aldo mengetuk-ngetukan sepuluh jarinya di atas meja kantin. Pandangannya ia tebarkan ke arah Pandu, Jonathan, Alex dan Roby secara bergantian.

Mereka ber empat merasa heran dengan tingkah Lukman, karena mereka belum tahu apa yang sedang terjadi antara Lukman dan Tristant.

Berbeda dengan Aldo yang sudah tahu Lukman dan Tristant pernah berbuat apa, ia terlihat sedang menunggu apa yang akan dilakukan oleh Lukman.

Terlihat Tristant beranjak dari duduknya, kakinya melangkah melewati kursi panjang yang ia duduki barusan. Wajahnya terlihat sangat kesal, namun ia tidak ingin menatap wajah Lukman.

"Kak gue ke kelas duluan," ucap Tristant berpamitan.

"Lho kok? kenapa?" Tanya Jonathan.

"Marah kali? Lagi asik baca diganggu Lukman," serga Aldo.

"Nggak kok, gue lupa kalo ada tugas belum gue kerjain," ujar Tristant berbohong.

Tentu saja Jonathan, Alex, Roby dan Pandu percaya begitu saja dengan alasan Tristant. Tapi tidak dengan Aldo. Aldo merasa yakin sekali alasan Tristant meninggalkan tempat itu karena kehadiran Lukman.

Tapi meski Aldo sudah tahu jika ada sesuatu antara Tristant dan Lukman, namun Aldo belum paham apa yang membuat Tristant beberapa hari ini seperti anti pati kepada Lukman. Aldo juga penasaran dengan perubahan sikap Lukman akhir-akhir ini. Hal itu yang membuat ia ingin tahu ada masalah apa dengan mereka.

Lukman berdiri mematung, wajahnya terlihat sangat gelisah. Di satu sisi, Lukman ingin berbicara dengan Tristant, tapi di sisi lain, Lukman tidak ingin teman-temannya tahu apa yang sudah terjadi antara ia dengan Tristant.

Wajar sih jika Lukman dilema, karena hubungan semacam itu kan tidak harus di publikasikan.

Dan Lukman juga tidak sadar kalau sebenarnya Aldo sudah mengetahui apa yang telah terjadi antara Lukman dengan Tristant.

Rasanya Lukman ingin sekali menarik Tristant keluar kantin, dan mengajaknya bicara. Tapi Lukman juga tidak ingin, kalau apa yang akan ia lakukan, bisa membuat teman-teman nya berpikiran yang macam-macam.

Lukman hanya bisa diam dengan segala kebimbangan.

Terlihat Tristant menoleh ke arah Pandu, kemudian ia memberikan senyum semanis mungkin kepada anak paling populer di sekolahnya.

"Kak Pandu selamat ya, tadi gue udah liat foto-foto lu di majalah sama tabloid remaja. Keren, tau kak. Semoga lu makin sukses deh." Puji Tristant yang ditanggapi dengan senyuman sama Pandu.

"Thank's ya," ucap Pandu.

Manik mata Tristant sekilas melirik ke arah Lukman, kemudian ia kembali menatap ke arah Pandu.

"Kayaknya bentar lagi lu bakal terkenal deh kak, pasti makin banyak yang ngefans. Tapi ati-ati kak, biasanya banyak yang nggak suka liat kita sukses atau terkenal. Kakak harus waspada juga, bisa jadi orang yang sirik sama kita justru orang-orang terdeket. Biasannyakan musuh yang paling bahaya itu, orang yang terlihat baik di depan kita, padahal aslinya busuk! Srigala berbulu domba."

"Ha... ha..." Pandu terbahak mendengar kata-kata Tristant. "Lu bisa aja, gue belum apa-apa, gue juga nggak pingin terkenal."

Sindiran Tristant sangat terasa bagi Lukman, kalimatnya benar-benar menohok hatinya. Dan itu membuat Lukman menjadi celingukan tidak jelas.

"Ya kali aja kan, yaudah deh gue ke kelas."

Tristant berlalu meninggalkan Pandu dan teman-temannya. Tapi sebelum itu ia sempet merampas komiknya yang dari tadi masih dipegang sama Lukman.

"Balikin komik gue!" Ketus Tristan kepada Lukman.

Pandu dan yang lainya hanya bisa bengong, sambil memandang punggung Tristant yang sudah menjauh.

"Kenapa sih tuh anak? Kok Aneh." Ucap Alex.

"Entah," jawab Jonathan.

"Lukman lu mau kemana?!!" Teriak Pandu saat melihat Lukman berjalan cepat keluar kantin.

"TOILET!" jawab Lukman berbohong. Karena sebenarnya ia cuma ingin mengejar Tristant.

Menyusul Aldo juga beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah luar, seraya berkata. "Eh gue juga ke toilet bentar ya, kebelet nih."

Aldo juga berbohong, ia cuma penasaran. Apa sebenarnya yang sudah terjadi antara Lukman dengan Tristant.

Bukannya Aldo kepo, ia hanya ingin mencari jawaban atas rasa penasarannya. Aldo memang diam, tapi Aldo memperhatikan.

Pandu dan teman-temannya yang masih tersisah saling berpandangan sambil mengedikan bahu. Isyarat mereka semua tidak tahu apa-apa, dan tidak biasa menjelaskan apapun.

~♡♡♡~

Akhirnya, dengan susah payah Lukman dapat membujuk sambil menarik paksa pergelangan Tristant hingga sampai di pojok sekolah.

Saat ini Lukman dan Tristant sudah berada di tempat yang sepi. Di dekat toilet yang sudah tidak pernah lagi digunakan.

Tristant menyandarkan tubuhnya di tembok. Wajahnya masih malas menatap Lukman yang berada persis di depannya.

"Lu kenapa sih Trist nggak mau dengerin gue ngomong?"

"Mau ngomong apa lagi sih kak? lu kan udah berhasil mujutin kemauan lu. Sekarang lu tinggal cari korban lain aja sana. Makain banyak tuh yang suka sama kak Pandu." Sindir Tristant sambil memandang Lukman dengan sorot mata penuh kekeasalan. "Nggak usah ganggu gue lagi!"

Tristant berusaha menyingkir dan menjauh dari hadapan Lukman. Tapi sayang, tangan Lukman menariknya, hingga membuat tubuhnya kembali menempel di tembok.

"Dengerin gue dulu!!" Lukman terpaksa menaikan nada suaranya, karena ia benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa berbicara dengan Tristant.

Dan akhirnya dengan terpaksa Trsitant mengikuti kemauan Lukman. Mungkin ini cara agar Lukman berhenti mengusiknya. Tristant ingin semuanya cepat berakhir.

"Plis dengerin gue dulu, setelah itu terserah kalo lu mau ngejauhin gue." Bujuk Lukman, Kali ini Lukman berbicara dengan pelan dan nada memohon.

"Yaudah mau ngomong apa?" ketus Tristant.

Lukman menatap dalam-dalam wajah Tristant sambil menelan salivanya. Kemudian ia mengambil napas sebelum akhirnya mulai berbicara dengan penuh perasaan.

"Gue mau minta maaf, gue tau gue salah. Lu juga pasti sakit hati sama gue. Tapi plis kasih gue kesempatan buat buktiin kalo gue pingin berubah."

"Yang lu sakitin bukan cuma gue." Potong Tristant.

"Iya gue tau, tapi cuma elu alasan gue kenapa pingin berubah." Ungkap Lukman.

"Maksudnya?"

"Gue sadar apa yang gue lakuin ternyata gak ada gunanya. Justru malah bikin sakit hati banyak orang. Gue udah nggak mau sirik lagi sama Pandu. Gue udah nggak akan peduli lagi sama siapa-siapa yang suka sama Pandu. Gue nggak mau ganggu mereka." Jelas Lukman panjang dan lebar.

"Bagus deh kalo lu mau berubah," ucap Tristant dengan nada yang masih ketus. Ia kembali menyingkir dari hadapan Lukman. Tapi sayang lagi-lagi Lukman menahannya.

"Gue belum selesai ngomong."

"Apa lagi?" Tanya Trsitant.

"Trist," kata Lukman sambil kedua telapak tangannya memegang pergelangan Tristant. "Gue nggak suka liat lu deket sama Aldo."

Kening Tristant berkerut saat mendengar kata-kata Lukman  barusan.

"Gue cemburu!" Lanjut Lukman dengan tegas.

"Cemburu?" Tristant menegaskan kata 'cemburu' ia tidak mau salah dengar.

Lukman mengangguk pelan, "iya gue cemburu?"

"Gue nggak ngerti?" Jujur, hati Trsitant mulai berbunga-bunga saat mendengar pengakuan Lukman. Tapi Trsitant masih belum yakin.

"Gue kan tadi udah bilang, cuma elu alasan kenapa gue pingin nyudahin semua. Lu udah bikin gue sadar, Gue nggak mau nyakitin elu, dan gue_" Lukman menggantungkan kalimatnya. Ia merunduk sambil mengatur napasnya. Kemudian ia kembali mengangkat kepalanya, dan menatap teduh wajah Tristant.

"Gue... gue suka sama lu," lanjut Lukman dengan nada suara yang terdengar sangat tulus.

"Ah?" Tristant bengong dan bola matanya melebar.

Tristant tidak salah dengerkan? Tentu saja tidak. Kuping Tristant masih sehat, jadi Tristant yakin sekali dengan apa yang ia dengar barusan.

"Gue juga sayang sama lu," imbuh Lukman.

Ah... hari ini benar-benar terasa indah, cuaca juga terlihat sangat cerah. Tidak ada setitik pun awan yang melintas di bawah matahari, sehingga langit yang biru terlihat sangat bersih. Tidak habis turun hujan, tapi warna pelangi melengkung di segala penjuru. Musim kemarau, tapi bunga-bunga bertebaran dan bersemi di mana-mana. Dan terlihat kupu-kupu dengan warna yang indah berterbangan sambil-sambil menari-nari, seakan ikut merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Tristant.

Tapi tunggu dulu! Tiba-tiba saja Tristant memudarkan senyumnya. Karena Tristant tidak mau percaya begitu saja dengan kata-kata Lukman barusan.

Bisa sajakan Lukman cuma modus. Bisa jadi Lukman punya rencana lain, mungkin saja Lukman cuma ingin agar Tristant tetap menyukainya, lalu dengan seenaknya lagi Lukman melakukan aksinya. Tristant cuma ingin waspada, ia tidak mau merasakan sakit kedua kali. Tristant juga tidak ingin masuk kedalam jurang yang sama.

Perlahan Tristant melepaskan cekalan tangan Lukman seraya berkata, "makasih kak, tapi maaf, gue nggak mau ngerasain sakit lagi. Gue belum bisa percaya sama lu." Menarik napas dalam-dalam kemudian Trsitant hembuskan secara perlahan. "Lu udah selesai ngomong, jadi tetapin janji lu, jangan ganggu gue lagi. Lu juga masih pacaran sama Salsa kan?"

Keputusan Tristant membuat Lukman membeku, hatinya terasa sangat dingin, sedingin salju di kutub selatan. Lukman terdiam, dan membisu, tatapan matanya kosong. Sehingga ia tidak sadar jika Tristant sudah beringsut, berjalan menjauh darinya, lalu menghilang di balik tembok sekolah.

Hati Lukman terasa sangat sunyi.

"Ekhem...!" Suara dehem yang dibaut-buat sama Aldo mengagetkan Lukman. Suara dehem itu seakan menariknya kembali ke dunia yang sebenarnya.

Aldo yang sejak tadi bersembunyi sambil menguping, muncul setelah Tristant benar-benar sudah tidak terlihat.

Sebenarnya Pandu juga ingin muncul bersamaan dengan Aldo, tapi sayang Jonathan dan yang lain mencegahnya. Mereka tidak ingin jika Pandu akan berbuat nekat setelah mendengar semuanya.

Yah, Pandu memang dengar semua, karena ia dan yang lain ikut mengejar Aldo. Mulanya Pandu mengira Lukman dan Aldo benar pergi ke toilet, tapi ternyata tidak.

Dan akhirnya, mereka semua berkumpul, dan bersembunyi di tempat itu. Sehingga Pandu jadi dapat mengetahui semuanya.

"Eh elu Do?" Lukman berusaha agar tidak terlihat gugup di hadapan Aldo. Ia juga berharap Aldo tidak tahu apa-apa. "Sejak kapan lu di sini?" Tanya Lukman menyeldiki. Sebenarnya hatinya berdebar tidak karuan, sebisa mungkin ia bersikap biasa.

"Belum lama!" Jawab Aldo santai.

Kemudian Aldo semakin mendekat, lalu berdiri di hadapan Lukman, tempat di mana Tristant berdiri tadi. Punggung Aldo juga menyandar di tembok sekolah.

"Yaudah yuk balik ke kantin," ajak Lukman.

Entahlah mendadak perasaan Lukman menjadi tidak enak, setelah kehadiran Aldo yang tiba-tiba.

"Gue pingin di sini, mau ngrokok. Lu temenin gue ngerokok." Ucap Aldo dengan gayanya yang santai. Lalu ia mengambil sebungkus rokok di saku seragam, dan mengambilnya sebatang. Setelah rokok digigit, Aldo menyalakannya menggunakan pematik.

"Nih..." kata Aldo memberikan bungkusan rokok kepada Lukman. Maksudnya supaya Lukman juga ikut merokok bersamanya.

Lukman menggelengkan kepala "Lagi nggak pingin ngerokok gue."

"Yaudah!" Ucap Aldo santai, sambil memasukan kembali bungkus rokok ke saku seragam nya.

Terlihat Lukman juga ikut menyandarkan punggungnya di dinding sekolah. Kepalanya merunduk, dan wajahnya terlihat murung. Lukman menghela napas untuk melegakan dadanya yang terasa sesak.

Sekilas manik mata Aldo melirik ke arah Lukman, lalu kembali fokus menghadap ke depan sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

Beberapa saat Aldo dan Lukman diam, belum ada pembicaraan yang keluar dari mulut mereka.

Terlihat Aldo membuang putung rokok yang masih setengah ke tanah, lalu menginjaknya, seraya berkata. "Trus apa rencana lu selanjutnya?"

"Hem...!?" Lukman sontak menoleh ke arah Aldo, keningnya berkerut, ia masih belum mengerti dengan maksud Aldo. "Rencana apaan?"

Aldo juga menoleh ke arah Lukman sambil mendesis, "jangan pura-pura bego, gue udah denger semuanya." Kata Aldo santai.

"Denger apaan?" Wajah Lukman mendadak tegang.

"Gue nggak nyangka, ternyata kecurigaan gue selama ini bener. Lu ada affair kan sama si Trsitant." Tembak Aldo. "Lu suka sama Tristant."

"Ha... ha..." Lukman terbahak untuk menutupi rasa terkejutnya. Ia berusaha menganggap pernyataan Aldo barusan cuma sebuah lelucon. "Lu ngomong apaan? Nggak lucu tau." Lukman masih berusaha tertawa.

"Payah lu, udah ketangkep basa aja, masih belum ngaku."

Kata-kata Aldo membuat Lukman menghentikan tawanya yang dibuat-buat. Raut wajahnya berubah menjadi murung.

"Gue tanya, lu beneran suka sama Trsistant?" Imbuh Aldo bertanya.

Wajah Lukman mendadak tegang, ia merasa gelagapan dengan pertanyaan Aldo yang tanpa basi-basi itu. Wajar juga jika Lukman bersikap seolah-olah ia tidak menyukai Tristant. Siapa sih yang mau mengakui secara terang-terangan hubungan sesama jenis. Apalagi dengan temannya sendiri. Lukman juga baru saja merasakan perasaan aneh semacam itu.

Jadi jangan paksa Lukman untuk menjawab jujur.

"Ya enggak lah," kata Lukman gugup.

"Ckc... kck..." Aldo berdecak heran sambil menggeleng-gelengkan kepala. Entah harus dengan cara apa agar bisa membuat Lukman mengaku.

Akhirnya dengan terpaksa Aldo mendekatkan mulutnya di telinga Lukman dan membisikkan sesuatu di sana. "Trus yang gue liat di kamar mandi itu apa? Gue liat dengan mata kepala gue sendiri, lu udah ML sama dia."

Deg...!

Aldo membuat jantung Lukman seperti mau copot. Tubuhnya mendadak lemas tidak bertenaga, ia sama sekali tidak menyangkah aktivitas intimnya diketahui oleh Aldo. Rasanya benar-benar malu luar biasa. Lukman merutuki dirinya sendiri karena kecerobohan nya.

"-Dan sekarang lu terperangkap sama ambisi lu sendiri. Lu jadi beneran suka sama Tristant. Semua itu berawal karena lu pingin supaya Tristant nggak suka sama Pandu. Lu terpaksa berbuat hal yang nggak seharusnya. Tapi sekarang apa? Lu kena karma, lu jatuh cinta sama Tristant."

Entah Lukman harus berkata apa. Ia benar-benar terkejut dengan bisikan Aldo di telinganya. Ia merasa seperti sedang ditelanjangi di depan Aldo.

Tapi sebenarnya Aldo juga tidak bermaksud memojokkan Lukman, Aldo tidak ada niat membuat Lukman malu di depannya. Aldo cuma prihatin, ia ingin agar Lukman sadar dan mempunyai tujuan.

Aldo sudah lelah melihat temannya menebar benih-benih cinta kepada siapa saja yang menyukai Pandu, namun tidak pernah sekalipun memperdulikan benih-benih cinta yang sudah ia tanamkan kepada para korban ambisinya.

Karena bagaimanapun mereka adalah teman, Aldo hanya tidak ingin persahabatan mereka hancur karena masalah itu.

Sementara Lukman hanya bisa diam, sambil susah payah menelan ludahnya yang sudah habis.

Terlihat Aldo mulai menjauhkan mulutnya dari telinga Lukman, kemudian ia melanjutkan kata-katanya tanpa melihat wajah Lukman."Bukan cuma Tristan, banyak yang udah lu sakitin. Sebenarnya udah lama gue pingin negur elu, tapi gue nggak punya bukti. Gue baru bisa ngomong setelah gue liat dan gue denger semuanya."

"Gu.. gu... gue..." Lukman benar-benar gugup. Ia sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi.

"Gue cuma pingin lu jujur sama mereka, kalo lu suka ya bilang suka, kalo enggak ya bilang enggak. Apalagi sama Tristant, gue emang nggak terlalu ngerti sama hubungan begituan, tapi biasanya orang seperti dia itu lebih menggunakan perasaannya. Walaupun itu salah, tapi lu hargai perasaan dia. Jangan dipermainkan seenaknya-" Aldo membuang napas lembut sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Lu jangan kasih harapan, kalu lu sendiri nggak bisa wujutin harapan itu. Gue liat Tristant udah baper sama lu. Orang seperti Tristant itu perasaannya lembut, kalo elu enggak bisa bikin dia senyum, se enggaknya jangan dibikin nangis."

Hobi Aldo yang membaca komik ternyata membuat ia menjadi banyak pengetahuan. Karena Aldo tidak hanya sekedar membaca. Meskipun cuma sekedar komik, pasti banyak pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Dan Aldo selau mencerna, mengambil sisi positip yang terdapat dalam komik yang ia baca.

Saat ini Lukman benar-benar mati kutu di hadapan Aldo, kata-kata Aldo juga membuat ia sudah tidak punya alasan lagi untuk mengelak.

"Oke, gue jujur, gue suka sama Trsitant."

Akhirnya Aldo bisa bernapas dengan lega dengan kejujuran temannya. Meskipun ia kecewa dengan pengakuan Lukman yang menyukai Trsitant, tapi Aldo tetap memberikan senyum persahabatan untuk Lukman.

"Sebenernya gue kecewa sih kalo lu beneran suka sama Trsitant." Uangkap Aldo. "Gue cuma nggak ikhlas temen gue jadi maho. Tapi setelah apa yang gue liat, setelah apa yang udah lu lakuin sama Tristant, kayaknya lu emang harus tanggung jawab sama dia."

Lukman membuang napas lega, kemudian ia menarik punggung Aldo, lalu memeluknya. "Thank's ya Do, walopun gue malu tapi gue lega. Gue bakal tanggung jawab kok ama perasaan Tristant ke gue."

"Good..." ucap Aldo sambil menepuk-nepuk punggung Lukman.

Sementara Lukman semakin mempererat pelukannya kepada Aldo, karena ia benar-benar merasa sangat lega.

"Sekali lagi makasih Do."

"Iya tapi jangan kenceng-kenceng meluknya, ntar lu napsu lagi ama gue." Goda Aldo.

"Najiss!!" Lukman langsung melepaskan pelukannya dan mendorong pelan tubuh Aldo. "Gue nggak doyan sama lu."

"Ha... ha... ha..."

Akhirnya Aldo dan Lukman dapat tertawa secara bersamaan.

Beberapa saat kemudian, Lukman menghentikan tawanya. Ekspresi wajah Lukman berubah menjadi murung.

"Kenapa?" Tanya Aldo.

"Gue kepikiran Pandu, kira-kira kalu dia tau, bakal marah nggak ya sama gue?"

"LU HARUS TEBUS KESALAHAN LU!!"

Suara Pandu yang tiba-tiba membuat Lukman tersentak. Ia menoleh ke arah sumber suara Pandu berasal. Kemudian wajah Lukman kembali tegang saat mengetahui Pandu baru saja muncul dari balik tembok, di susul Jonathan, Roby, dan yang lainnya.

"Pap... Pandu!" Ucap Lukman gugup.  "Lu... di situ?"

"Ya gue di sini, gue juga udah denger semuanya!" Ketus Pandu.

Lukman berjalan perlahan mendekati Pandu, sambil menelan ludah dengan susah payah. Wajahnya memucat. Setelah Lukman berada persis di depan Pandu, ia mengulurkan kedua tangan untuk meraih pundak Pandu.

Tapi sayang Pandu menepisnya.

"Ndu... maafin gue," ucap Lukman memohon.

"Gue nggak nyangka ternyata lu picik!" Umpat Pandu. Ia masih belum bisa terima dengan apa yang sudah diperbuat Lukman kepadanya. "Gue kira lu beneran baik sama gue. Ternyata lu punya niat jelek sama gue."

"Iya Ndu gue salah, tolong maafin gue."

"Lu nggak pantes disebut temen!" Setelah menyampaikan itu, Pandu berlalu meninggalkan Lukman dengan memasang wajah sinis dan tidak bersahabat.

Kemudian Jonathan, Roby, dan juga Alex ikut mengekor di belakang Pandu.

Sedangkan Lukman berdiri mematung, memandang punggung teman-temannya yang sudah menjauh.

Terlihat Aldo berjalan mendekati Lukman, setelah berada di dekat Lukman, tangan Aldo mengalung di pundak Lukman.

"Udah tenang aja, Pandu cuma butuh waktu. Yang penting sekarang lu buktiin ke kita-kita kalo lu mau berubah. Gue yakin nanti juga Pandu bakal maafin lu. Jangan takut buat berubah jadi baik, lu tau kan? tetesan air hujan yang bening, itu juga berasal dari kumpulan awan hitam yang mendung."

Aldo menepuk punggung Lukman dua kali, kemudian ia juga berjalan meninggalkan Lukman sendirian, dengan segala penyesalannya.

~♡♡♡~

Meskipun Pandu sedang kesal karena kejadian tadi di sekolah, tapi saat sedang berada di kosan bersama Aden, ia lupa dengan segala kekesalannya.

Aden memang bisa menjadi obat penawar buat Pandu.

Pandu sedang tiduran tengkurap di atas kasur. Ia menggunakan bantal untuk mengganjal dadanya, dan tangannya sibuk bermain HP.

Sama seperti Aden, ia juga lagi sibuk bermain HP, cuma bedanya Aden tidur terlentang, menggunakan punggung Pandu untuk bantalan.

"Ohiya Ndu, aku liat tadi pas pulang sekolah kamu sama Lukman kok kayak diem-dieman gitu sih?" Tanya Aden memecah keheningan setelah beberapa saat mereka terdiam.

"Nggak papa," Jawab Pandu.

Rasa kesalnya kembali datang ketika mendengar nama Lukman.

"Kalian berantem?" Tanya Aden tanpa bergerak dari posisinya. Ia masih sibuk dengan HPnya.

"Enggak, jangan bahas dia ya, gue males."

Manik mata Aden melirik sekilas ke arah Pandu, lalu ia kembali menatap layar HPnya. "Kalau ada masalah selesain baik-baik, jangan berantem, kalian kan temen." Ucap Aden dengan suara yang datar.

"Nggak ada apa-apa, plis jangan bahas dia. Gue juga nggak tau dia temen gue apa bukan." Pandu membuang napas berat.

"Kok gitu?"

"Udah nggak usah dibahas." Ucap Pandu.

Kemudian Aden terdiam, ia tidak ingin melihat Pandu kesal, oleh sebab itu Aden tidak mau membahas lagi.

"Lu juga nggak usah deket-deket dia lagi." Imbuh Pandu dengan nada ketus.

Aden hanya diam sambil memandangi bagian belakang kepala Pandu.

"Ohiya Den ntar lu temenin gue nemuin om Beni ya." Pandu mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, biasanya juga ditemenin terus, nggak pake minta."

Pandu tersenyum simpul mendengar jawab Aden.

"Emang ada perlu apa? Kayaknya kamu nggak ada jadwal." Imbuh Aden bertanya.

"Lu lupa ya? Tinggal berapa hari lagi waktu yang dikasih tante Inggrid? Jadi gue mau minta honor gue ke om Beni, sekalian gue mau pinjem duit sama dia buat nambahin."

Kata-kata Pandu membuat Aden membuang napas gusar, "aku kok deg-degan ya."

Pandu memutar kepalanya 90 derajat, ia melihat Aden yang tiduran di punggungnya. "Jangan kuatir," ucapnya lembut.

Sementara di tempat berbeda di ruang tamunya, ibu Veronica terlihat sedang ragu-ragu membuka sebuah amplop besar berwarna cokelat.

Amplop itu berisi dokumen, hasil diagnosis yang dikirim dokter beberapa hari yang lalu. Sampai hari ini ibu Veronica belum berani melihat hasilnya. Rasa cemas tergambar jelas di raut wajahnya.

"Bu... ibu... ibu...!"

Suara salah seorang assisten rumah tangga membuat ibu Veronica tersentak, dan menggalkan niatnya membuka amplop besar itu.

"Ada apa Wati, ngagetin aja?" Tegur ibu Veronica ketika pembantunya sudah berdiri di dekatnya sambil memeluk buku besar, seperti sebuah majalah.

"Mas Pandu sudah jadi artis ya bu," jawab wanita parubaya, yang berasal dari jawa tengah itu.

"Artis apa?" Ibu Veronica menatap heran ke arah pembantunya, "ngaco kamu."

"Ini bu, tadi pas saya disuruh ibu belanja ke emol, saya liat majalah yang ada gambar mas Pandunya." Jelas Wati sambil menyodorkan majalah yang dari tadi ia peluk. "Terus karena penasaran jadi saya beli pake uang sisah belanja."

Dengan kening yang berkerut, ibu Veronica menerima majalah itu. Kemudian ia mulai membuka lembar demi lembar, isi majalah... "mana?" Tanya ibu Veronica karena belum menemukan gambar Pandu, seperti yang dikatakan pembantunya.

"Di halaman tengah bu." Jelas pembantunya.

Ibu Veronica langsung membuka halaman bagian tengah majalah itu. Dan anehnya tidak ada raut kegembiraan saat ia sudah melihat foto Pandu berada di majalah itu.

"Itu bener mas Pandu kan bu?"

Ibu Veronica tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil terus menatap foto anaknya yang sedang berpose ala model.

"Astaga apa-apaan ini!!!?"

Wati tersentak saat ibu Veronica mengumpat dengan nada tinggi."lho kok marah bu? Bukannya seneng mas Pandu jadi artis?"

Kemudian ibu Veronica berdiri dari duduknya, berhadapan dengan pembantunya.

"Seneng apanya? Kamu pikir saya sudah nggak mampu buat menghidupi anak saya. Saya nggak pernah nyuruh dia kerja. Kamu nggak tau apa-apa. Emang kamu kira aku kekurangan uang apa?"

Wati hanya bisa merunduk, ia sama sekali tidak menyangka akan menjadi korban kemarahan majikannya. Mulanya Wati kira ibu Veronica akan senang, tapi ternyata di luar dugaan. Ibu Veronica justru terlihat marah besar.

"Kasih tahu Parmin, suruh dia cari kosan Pandu di mana?"

"Ii... iya bu."

Karena tidak ingin mendengar ocehan majikannya, Wati langsung buru-buru meninggalkan tempat itu untuk mencari Parmin, supir pribadi Pandu.

Sementara ibu Veronica terlihat sedang memijat keningnya sendiri, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Apa-apan anak itu, bikin malu orang tua saja, untung papi nya masih di luar negeri, harus ngomong apa nanti kalo papinya? pulang." Gumam ibu Veronica.

次の章へ