webnovel

Impian Arya

"Jam setengah delapan, emangnya kenapa?" Arya bertanya balik.

"Kalau mau besok berangkat bareng. Sekalian aku ceritain apa yang dibahas nanti," kata Zia memberi saran.

"Sepenting itukah sampai harus berangkat bareng? Lain kali aja juga gakpapa. Lagian kau bisa memberitahuku lewat chat, gak harus ketemu mulu." Namun Arya menolak tawarannya karena ia tahu Zia mempunyai niat terselubung."

Berulang kali Zia memaksa, namun Arya dengan santainya menolak seakan ia sudah terbiasa dipaksa oleh temannya.

"Baiklah, terserah kau saja. Kalau aku gak ngasih tahu, baru tahu rasa," balas Zia langsung menutup panggilan itu.

"Buset, mainnya mengancam gini dah," kata Arya sembari menatap layar handphone-nya. Ia sama sekali tak keberatan jika Zia tak segan-segan berniat mengancam, tak akan memberitahu rencana mereka. Arya bisa langsung bertanya pada Salsabilla jika ia mau. Entah lewat chat atau ketemu langsung karena jarak rumah mereka hanya sekitar 10-15 menit.

Membahas Salsabilla, Arya penasaran apakah dugaannya benar jika ia mengechat karena mengajaknya kumpul malam ini. Dan ternyata dugaannya benar. Hanya saja tak seperti Zia, yang hanya memanggil namanya, Salsabilla lebih detail alasannya mengajak Arya kumpul malam ini. Bahkan sampai memberi ucapan selamat malam pada Arya.

[Halo Arya, selamat malam. Ini Fajar sama teman-teman lain ngajak kumpul di kafe kemarin, nih. Katanya mau membahas kegiatan main gitu di tempat wisata. Kamu luang gak?"] kata Salsa melalui pesan yang ia sampaikan pada Arya.

Di sisi lain, Arya juga menduga jika Zia pasti telah memberitahu teman-teman lainnya jika ia tak bisa hadir dalam acara itu. Meski begitu, tak sopan jika hanya membaca saja. Arya juga membalas pesan dari Salsabilla, karena tak ingin terjadinya salah paham.

[Maaf ya, Salsa. Aku habis latihan basket dari kampus, terus lanjut latihan di rumah. Ini baru aja megang handphone] ketik Arya lalu dikirim pada Salsa. Tak sampai 30 detik, Salsabilla langsung membalas dan mengirimkan kembali pada Arya.

[Oh, pantas aja. Pasti kamu capek. Ya udah gakpapa. Nanti kalau misalnya Zia gak mau ngasih tahu kamu, kamu bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu semuanya]

[Hahaha, terima kasih, Salsa,] balas Arya sembari memberikan emote tersenyum lebar. Selepas itu pesannya tak lagi dibalas.

Arya melentangkan tubuhnya di atas kasur dengan tenang. Setelah handphone-nya ia tinggal di kamar, ia pikir ada tugas kuliah dari dosen atau tambahan jam latihan dari pelatihnya. Ternyata hanya ajakan kumpul yang bagi Arya tak terlalu penting.

Meski ia punya cita-cita menjadi pemain basket, bukan berarti Arya menghabiskan waktunya untuk latihan sampai melupakan teman-temannya. Hanya saja untuk sekarang Arya lebih memprioritaskan basket daripada teman-temannya. Ia tak mau terlalu banyak membuang waktu untuk bermain-main hingga ia kehilangan kesempatan untuk meraih cita-citanya.

Arya sering melihat berita mengenai kegagalan banyak pemuda seumurannya yang berusaha mencapai cita-citanya. Dan salah satunya adalah temannya sendiri saat SMA. Ia selalu bercerita pada Arya dan teman-teman lainnya saat besar nanti ingin menjadi seorang ilmuwan dan sejenisnya.

Tetapi sejauh ini yang Arya lihat, tak ada usaha yang benar-benar membuktikan jika ia ingin menjadi ilmuwan. Faktanya, temannya itu lebih sering bermain game di handphone daripada membaca buku pengetahuan. Ia juga sering menghabiskan waktunya untuk berfoya-foya daripada pergi ke perpustakaan untuk mencari suatu artikel atau jurnal sebagai tahap awal pencapaian cita-citanya.

Dan sekarang pun temannya itu hanya menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Tak ada kemampuan khas darinya untuk membuktikan keseriusannya. Prestasi apalagi, ia tak pernah mendapat apapun selama hidupnya.

Maka dari itu, Arya tak ingin menjadi seperti temannya. Meski Arya termasuk golongan pemuda penuh ambisius dan tak ingin cita-citanya menjadi khayalan semata, namum ia tak melupakan temannya dan masih mau diajak hangout. Hanya saja sedikit mengurangi waktu bermain-main.

...

Sembari rebahan, Arya membuka media sosial untuk mengikuti trend-trend terbaru. Disela-sela kesibukannya, Arya tetap tak ingin ketinggalan jaman oleh teman-temannya, ia juga mengikuti berita panas belakangan ini, entah luar negeri maupun dalam negeri. Namun dari sekian berita, beritanya yang paling ia ikuti ialah berita mengenai NBA.

NBA bisa dikatakan organisasi basket di amerika yang paling maju dibanding negara-negara lainnya. Hadiah untuk tim yang juara juga tak main-main. Entah darimana semua uang sebanyak itu, Arya tak ingin membayangkannya. Memang tak bisa munafik, salah satu alasan Arya menjadi pemain basket di NBA karena bayarannya sangatlah lebih dari cukup. Namun itu alasan paling terakhir dari sekian banyaknya alasan.

Setelah terus menggeser layar, membaca berita sembari tiduran, tanpa sengaja Arya telah ketiduran dengan kondisi handphone menyala di genggamannya dan belum selesai membaca berita favortinya.

***

Keesokan harinya, Arya bangun dengan keadaan terkejut. Ia baru sadar jika semalam ia ketiduran sembari memegang handphone yang masih menyala. Setelah di tekan tombol 'power', handphone-nya tak merespon sama sekali, menandakan jika baterainya habis tak tersisa. Saat ia melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 5 pagi.

Arya langsung mengisi daya baterainya sembari mengusap rambut pendeknya, menguap lebar. Masih terlalu pagi bagi orang lain untuk bangun jam 5. Namun Arya senang bisa bangun sepagi itu, walau ada sedikit penyesalan karena jam kuliah masih sangat lama.

Memanfaatkan waktu itu, daripada kembali tidur, Arya memilih melakukan peregangan di luar rumah sembari menikmati angin pagi yang belum terkontaminasi dengan polusi. Setelah mencuci muka, Arya pergi ke luar rumah menggunakan pakaian yang cukup terbuka. Bahkan di halaman belakang rumah, ia sempat melepas baju, tak ingin membasahi bajunya. Ia melakukan peregangan layaknya pemanasan sebelum melakukan latihan basket.

Setelah selesai peregangan, ia berlari kecil memutari halaman rumahnya sebanyak 5 kali. Tanpa sengaja ia berpas-pasan dengan kakak sepupunya, Sherla.

Spontan Sherla menutup kedua matanya, meski tak tertutup rapat. "Aaa! Kamu ngapain telanjang gitu, Yak?" kata Sherla, pagi-pagi sudah membuat suara.

Namun Arya sama sekali tak merasa malu dilihat oleh kakak sepupunya. "Aku habis jogging kak. Kak Sherla mau ikut jogging juga?" Arya justru bertanya balik pada kakaknya.

"Gak, gak," suaranya semakin keras. "Ngapain juga olahraga sama adik mesum kayak kamu."

"Haa? Kayak kakak gak pernah lihat cowok telanjang aja. Lagian kita ini saudara, kak. Aku gak ada niatan busuk," jawab Arya, sama sekali tak menjawab pertanyaan dari Sherla.

"Udah, udah, pergi sana. Aku nggak bakal ngomong lagi kalau kamu masih telanjang gitu." Sherla kembali masuk ke rumah, tak ingin melihat Arya yang masih membuka bajunya. Namun Arya sama sekali tak mempedulikan perkataan kakak sepupunya dan melakukan pendinginan sebelum ke masuk ke rumah.

次の章へ