None Wen tersenyum melihat layar laptop. Matanya berbinar seakan menunjukkan kepuasan. Sedangkan terlihat anak-anak masih menunjukkan wajah tegang, kaku, sedih dan ketakutan. semua terlihat lelah dan derasnya cucuran keringat.
"Nona, apakah kita bisa memulai babak selanjutnya?" tanya seorang pengawal yang berseragam rapi dengan jas hitamnya.
"Tunggu dulu, biarlah mereka beristirahat. Aku masih menikmati apa yang sedangku lihat. Penampakan ini begitu menarik, namun aku masih punya hati. Biarlah mereka beristirahat sebentar," ucap Nona Wen dengan gaya elegannya.
Pengawal itu menurun dan kembali berdiri dengan posisi siaga di samping Nona Wen. Sesekali ia melirik ke arah laptop dengan tatapan takjub. Ia tak menyangka semua siswa harus melewati rintangan yang begitu berat. Terlebih saat ia tahu, efek dari sebuah kesalahan adalah kematian yang menakutkan.
Jauh di balik dinding sekolah Riki dan Riko masih sibuk mengatur siasat. Mereka tak berani melangkah masuk, terlebih saat mengetahui ada banyak tentara yang berjaga dengan senjata lengkap. Berdiri di banyak area menjaga pintu masuk. Hal ini disadari Riko yang sudah lebih dulu mmanjat dinding tertinggi dan mengintip dari balik pecahan dinding. Ia begitu lihai memanjat dinding yang nyaris tak ada pijakan.
"Aku tak menyangka kau bisa melakukan ini. Aku pikir, kau hanya sekedar bergaya layaknya preman. Ingin terlihat jago dan menakutkan. Sampai-sampai merayu Ibu untuk mengizinkannya memasang tato. Namun, sepertinya aku salah. Yah, kebandalan yang selama ini kau perlihatkan justru bermanfaat di saat seperti ini," gumam Riki yang hanya bisa bersembunyi di balik dinding sembari memperhatikan aksi nekad Riko.
"Hei! Sepertinya ada seseorang di gudang kosong yang ada di samping aula. Kulihat ada beberapa tentara berjaga di sana," ucap Riko setelah balik dari aksinya.
"Apakah mungkin itu tempat disekapnya para Guru?" tanya Riki yang mulai menyadari bahwa hanya ada siswa di ruangan aula. "Bagaimana caranya kita melihat ke ruangan itu?" sambung Riki kembali.
Riko terdiam cukup lama dengan dahi mengernyit. Ia sepertinya tengah berpikir keras untuk memastikan siapa yang berada di ruangan itu.
"Ikut aku!" ajak Riko dengan senyuman di bibir. Ini pertanda bahwa ia sudah memiliki rencana akan apa yang dipertanyakan kembarannya.
Riki menurut dan kini mereka berdua menyelinap masuk melalui balik dinding. Berjalan dengan mengendap-endap secara membungkuk agar tidak diketahui keberadaannya. Perlahan Riko berhenti lalu dengan menggunakan kedua tangannya ia kembali mencoba memanjat dinding untuk memastikan bahwa mereka telah tiba di tempat yang seharusnya. Namun, Riko salah dan mereka kembali berjalan mengendap dalam beberapa langkah.
Kini mereka tiba di ruang yang menjadi tujuan mereka. Riko membuka seragamnya dan menutupi area kepala. Semua ini ia lakukan agar wajahnya tak segera terekam jika ada seseorang yang melihatnya.
Riki hanya bisa diam melihat segala tingkah aneh Riko. Namun, kini ia merasa yakin dan begitu setuju dengan segala tindakan yang diperbuat kembarannya.
"Aku harus mengakui kecekatanmu, semua yang aku lihat saat ini membuatku merasa malu telah menyelepekan dirimu," guamm Riki yang masih siaga menunggu di bawah. Sedangkan Riko telah berada di ujung tembok dan melihat seseorang berada di dalam ruangan. Pria Tua yang kini terduduk di kursi dengan sikap tubuh tak berdaya.
"Kepala Yayasan. Dia yang berada di sana seorang diri," ucap Riko yang kini kembali turun mendekati Riki.
"Apakah kau melihat penjaga di dalam ruangan?" tanya Riki dengan tatapan serius.
Riko menggeleng, tatapannya tajam dan dipenuhi ambisi.
"Aku tahu kemana kita harus melangkah. Sekarang giliran kau yang mengikuti," ucap Riki diikuti gerakan alis mata yang turun naik.
Riko menurut, ia mengangguk dan kemudian mengikuti langkah Riki yang berada di depannya. Keduanya berjalan maju hingga kembali ke titik asal. Lalu Riki melepas satu per satu batu bata yang ternyata membentuk bolongan besar.
Riko terperangah, ia yang terkenal bandal dan ahli dalam hal cabut sekolah merasa malu. Ia benar-benar tak menyangka kalau kembarannya memiliki jalan rahasia tanpa harus memanjat dinding seperti yang biasa Riko lakukan.
"Kenapa?" tanya Riki dengan senyuman penuh kebanggaan. "Mungkin aku tak ahli memanjat seperti dirimu. Tapi bukan berarti aku tak memiliki jalan untuk cabut," ucapnya yang kemudian merangkak masuk hingga kini mereka tiba di area sekolah.
Sekolah benar-benar sepi karena hanya anak kelas XV yang diminta datang untuk pelatihan ujian akhir nasional. Tak heran semua kelas menjadi sepi. Meskipun ada banyak penjaga, namun mereka tidak menjaga seluruh area sekolah, melainkan hanya ruangan tertentu yang berisi siswa.
Keduanya melangkah mendekati ruang kelas, berjalan merunduk agar tak diketahui penjaga. Sesaat Riko menaikkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Namun, ruang kelas terlihat tenang. Tak ada tanda-tanda kekerasan. Ruangan terlihat rapi dengan banyak tas bergelatakan di atas meja.
"Sepertinya mereka tidak dipaksa untuk keluar. Aku melihat ruang kelas masih rapi," bisik Riko.
Ucapan Riko membuat langkah Riki terhenti. Kini giliran Riki yang menaikkan kepala guna melihat langsung keadaan kelas. Kemudian kembali menatap Riko diikuti anggukan kepala.
"Jangan bilang ini salah satu ujian kita," ucap Riki yang kini menunjukkan wajah bingung.
"Jangan berpikiran aneh-aneh. Sekarang kita hanya perlu menemui ketua yayasan dan bertanya langsung dengannya," ucap Riko yang berhasil menggerakkan Riki kembali.
Akhirnya mereka tiba di ruangan tempat di mana ketua yayasan berada. Namun, mereka terlihat bingung karena tak ada sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk memanjat dinding.
"Biar aku yang menjadi pijakan," ucap Riki dengan wajah yakin.
"Kau yakin? Kau janji tak akan membalasnya padaku?" tanya Riko dengan wajah tak percaya.
"Ini bukan saatnya berdebat. Kita tidak sedang bercanda, Ko," ucap Riki dengan gigi merapat.
"Baiklah, oke, aku percaya. Sekarang merunduklah!" pinta Riko dengan wajah cengengesan.
"Awas saja kau mempermainkanku!"
"Hei, bukannya kau yang menyarankan ide ini. Mengapa sekarang kau justru curiga kepadaku?" tanya Riko yang menjadi bingung akan sikap kembarannya. "Benar kata orang, kau seperti perempuan yang bisa berubah mood dalam beberapa detik saja."
"Diam dan naiklah!" ucap Riki yang kini sudah membungkuk dan bersiap menjadi pijakan Riko.
Sesuai yang terlihat, tak ada penjaga di dalam ruangan. Dengan tiga kali ketukan Riko berhasil membuat Ketua Yayasan melihat ke arahnya. Dengan wajah cemas dan sesekali melirik ke arah pintu Ketu Yayasan mendekati jendela.
"Pak, apa yang terjadi? Mengapa anda di sini?" tanya Riko yang tak ingin berlama-lama menindih saudara kembarnya.
"Apa yang kalian lakukan? Sebaiknya kalian pergi sebelum tertangkap!" ucap Ketua Yayasan dengan wajah cemas.
"Akan kami hubungi polisi," ucap Riko kembali.
"Jangan! Itu akan membahayakan nyawa teman-temanmu," jelas Ketua Yayasan.
"Jadi, apa yang harus kami lakukan?" tanya Riko dengan wajah bingung diikuti kekesalan karena Ketua Yayasan tak segera memberitahukan mereka apa yang sebenarnya terjadi.
Sesaat Ketua Yayasan terdiam. Ia berpikir keras akan keberadan Riko dan Riki untuk menolong mereka semua.
"Kau hanya perlu tertangkap dan ikut dalam permainan. Jika kalian tidak bisa menolong siswa lainnya, maka kemungkinan kami semua akan mati!"
Penjelasan Ketua Yayasan membuat Riko semakin kesal. Baginya itu hanyalah ide gila yang berdampak memperburuk keadaan. Seketika pintu terbuka, dua orang tentara memasuki ruangan Ketua Yayasan. Syukurnya Riko sempat menunduk, hingga ia tidak ketahuan. Namun, saat ia kembali melihat ke arah jendela, Ketua Yayasan sudah tidak berada di sana.