webnovel

Perjanjian Antara Max dan Perempuan Lelembut

Halimun semakin tebal di atas permukaan tanah Hutan Bambu Gila. Max menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulutnya. Proses yang berlangsung secara intens itu menciptakan reinkarnasi energi di dalam dirinya. Tubuhnya menghangat dan pikirannya lebih tenang sekalipun sedang menghadapi Perempuan Lelembut.

"Kau harus menepati janjimu," kata Perempuan Lelembut itu. Kedua telapak tangannya menempel di kedua pipi Max. Tangannya putih melebihi mayat dan dingin sedingin es. Kombinasi terburuknya adalah tiap nafas yang dihembuskan oleh perempuan itu sama dinginnya dengan hembusan salju. Butir-butir es menempel pada Max. Dia merasakan berat pundaknya sudah seperti diduduki lebih dari dua Perempuan Lelembut. Wajah dan bibir Max dipenuhi gumpalan es karena Perempuan Lelembut menciuminya sedemikian rupa. Kepala Max sudah hampir berubah menjadi patung es.

"Kamu hangat, bicaramu apa adanya, kau bahkan tidak menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya pada Prith dariku. Aku tidak suka padanya, kami berbeda dunia, dia berada di antara bayang-bayang kekuatan tiga dunia, dia menanggung banyak irisan, sepertimu, sementara aku sangat jelas, di dunia bawah, satu dunia, satu tempat, satu kekuatan," Perempuan Lelembut menghela nafas, "aku jadi ingin sekali memutus ikatan di antara kalian, aku mengerti kenapa kamu lebih memilihnya meskipun membuat janji denganku di sini, hatimu miliknya bukan? Prith atau Melianor itu," Perempuan Lelembut tertawa kecil, dia sudah nyaris mengejek Melianor, "julukan yang diberikan manusia padanya bahkan sangat berbeda dengan yang diberikan manusia padaku, bukankah kedua nama itu terdengar hangat sekalipun ganjil? Padaku, manusia menyematkan julukan Halimun. Aku adalah Halimun, kau pikir nama itu cocok untukku?" Perempuan Lelembut memikirkan julukannya, dia menatap Max dalam-dalam, seolah dengan begitu, dia akan segera mendapatkan julukan yang lebih manis, "Halimun," dia mengeja dengan hati-hati, "Bukankah itu terasa sangat dingin? kekuatanku seperti akan selalu menyesatkan mereka. Apa boleh buat, begitulah diriku, jadi aku menerima sebutan itu. Setidaknya itulah ekspresi penerimaan mereka atas keberadaanku, itu lebih baik daripada tidak dianggap sama sekali. Terdengar nyaman juga ditelingaku, kau tahu, setiap kali aku datang, orang-orang bersikap dingin, berharap aku segera pergi, mereka mengusirku, rasanya sakit, tapi aku terbiasa sampai sekarang. Aku bertanya-tanya kenapa alam semesta membutuhkan makhluk sepertiku, yang dingin, yang menimbulkan rasa takut pada orang-orang, anehnya aku menyukai tugasku," katanya sambil terus memegangi Max.

"Karena aku menyadari tugasku, aku menyadari wujudku, aku juga menyadari kekuatanku, dan karena aku menyukai taman ini, makanya aku mengabaikan semua perkataan, manusia juga bagian dari taman ini, jadi aku menerima keberadaan mereka, sambil ku teruskan keberadaanku sebagai diriku sendiri. Nah, karena aku sudah bekerja keras, aku ingin kamu jadi hadiahku setahun sekali. Datanglah ke tempatku dan bercengkeramalah denganku," pinta Perempuan Lelembut itu dengan halus lalu menempelkan bibirnya ke bibir Max yang sudah nyaris jadi es.

Pada saat itu, dengan kekuatan kesadaran yang ada, Max menarik nafas. Dia bisa merasakan bibir Perempuan Lelembut di bibirnya. Tak terhindarkan lagi, dia merasakan bibir sedingin es, tapi dia tak mau goyah.

Perempuan Lelembut itu menarik bibirnya dan masih dengan tatapan lembutnya pada Max, dia menatap kedua mata Max yang masih terpejam. "Kau sangat tahu cara menghadapiku. Aku akan melepasmu sekarang dan membiarkanmu melakukan tugasmu kalau sudah membuat jawaban yang kuinginkan. Kau pasti tak ingin buang-buang waktu di sini bukan? kau juga tahu, kalau aku terlalu lama di permukaan tanah, seluruh permukaan tanah di bumi bisa terselimuti oleh Halimun, olehku, dan kau tahu pasti apa akibatnya pada kehidupan. Itu juga bukan pemandangan yang menyenangkan. Aku tak suka kehilangan sesuatu yang membuatku senang."

Max memikirkan perkataan Perempuan Lelembut dengan hati-hati. Hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menyetujui kemauannya. Jika tidak, dia tidak akan melepaskanku, meskipun suatu saat dia lelah dan melepaskanku tapi entah kapan itu terjadi dan bisa saja keadaan sudah menjadi sangat buruk. Apalagi jika Melianor sampai keluar dari Mansion. Di saat yang sama kalau Halimun terus berada di permukaan tanah seperti ini dan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh pegunungan, pada akhirnya juga akan menimbulkan masalah. Melianor pasti akan mengerti jika aku menjelaskannya nanti, tapi kalau dia murka, bisa terjadi hal fatal lainnya. Tidak, aku percaya dia akan memilih untuk menyetujui keputusanku.

"Aku bisa tahu kalau kamu sudah memutuskan dari wajahmu," bisik Perempuan Lelembut di telinga Max. "Aku senang mengetahuinya. Baiklah ... aku tunggu kedatanganmu tahun depan," katanya sambil membelai wajah Max.

Perempuan Lelembut itu melepaskan Max. Perlahan Max menarik nafas dalam-dalam kemudian menahannya di paru-paru selama proses Halimun meninggalkan permukaan tanah. Max mendengar suara sayup dari Perempuan Lelembut itu sebelum menghilang, "Terima kasih atas kehangatan yang kau berikan hari ini .... Matsyendra."

Max menghembuskan nafasnya perlahan sambil membuka mata. Wajah dan bibirnya yang membeku perlahan kembali normal. Energi hangat dari dalam dirinya membuat jantungnya tetap dapat memompa darah, sehingga sekalipun Halimun tadi membuat permukaan tubuhnya sedingin es, hal itu tidak terjadi di tubuh bagian dalamnya. Max tersenyum saat mendengar nama kecilnya disebut oleh Halimun.

Ketika sudah bisa dengan bebas membuka mata, Max mengamati sekitarnya. Hutan Bambu Gila terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Setidaknya cahaya matahari dapat menerobos di antara sela-sela kecilnya. Area sekitar jadi terasa lebih ramah. Kehidupan suram seperti sedang meninggalkan tempat itu. Max menoleh terkejut ketika mendengar desis seekor ular keluar dari goanya.

"Oh, Tuan Pertapa," seru Max sambil memutar tubuhnya.

Ular bertubuh cincin merah menyala itu berhenti di depan Max.

"Kau berhasil menyenangkan hatinya. Selamat."

"Apa yang terjadi di sini sebenarnya?"

"Dia juga saksi, makhluk yang menyaksikan bagaimana Hutan Paling Utara dibakar dan dibuka menjadi lahan seperti itu oleh manusia. Dia sedang berjalan-jalan saat itu, ketika api mulai dibuat oleh manusia, dia berusaha menghalangi dengan menurunkan kabut tebal, tapi gagal. Beberapa hari ini dia masih bersedih, sehingga turun setiap hari dan meratapi keadaan. Dia bernyanyi sampai membuat makhluk lain tersayat kesedihan. Kurasa hari ini dia melihat adanya harapan darimu."

Max mengingat lagi semua pertemuannya dengan Perempuan Lelembut. Saat itu dia juga merasakan kesedihan. Pantas Rang Rang mendesaknya untuk segera melakukan penyelamatan. "Kenapa dia tidak memaki-makiku saja? dia bisa mengekspresikan kemarahannya seperti itu"

"Kau bodoh? kau masih tak mengenalinya!"

"Ah, bukan begitu... saya hanya...." Max tak bisa menjelaskan gumamannya yang dilakukan tanpa sengaja.

"Dia tak punya amarah," Tuan Pertapa melanjutkan tanpa memberi Max kesempatan untuk menjelaskan reaksinya tadi. "Dia hanya punya welas asih dan ketika sesuatu yang mendapatkan welas asihnya dilukai, dia terluka, kalau itu sampai berlarut-larut...."

"Sistem alam semesta akan terkoreksi," Max menyimpulkan perkataan Tuan Pertapa yang terhenti dan itu menjadi sebuah klarifikasi kalau dia sangat memahami karakter Halimun.

Tuan Pertapa bergumam. "Kau sudah belajar banyak rupanya," Tuan Pertapa memuji dan pujiannya yang itba-tiba itu membuat Max merasa bangga pada dirinya sendiri.

"Sekarang saya harus membawa mereka. Di mana mereka saat ini?"

"Dia tidak memberitahumu?"

Max menggeleng.

"Pergilah ke pusat Hutan Terlarang, aku mendengar banyak aktivitas dari jejak kaki mereka di area itu."

Max bergegas setelah mengucapkan terima kasih.

"Semoga kau beruntung," kata Tuan Pertapa dengan tulus untuk mengiringi kepergian Max.

Hutan Terlarang disebut sebagai Hutan Perburuan dalam perspektif manusia dan merupakan kawasan yang mendapatkan sedikit sinar matahari. Seperti namanya, kawasan Hutan Terlarang kerap menjadi area perburuan oleh manusia karena bagi manusia kawasan itu memiliki tantangan yang cocok untuk mereka. Areanya yang terjal dan misterius menjadi daya tarik untuk manusia tertentu. Di sana pemburu bisa bersembunyi di beberapa area untuk membidik sasarannya dengan aman.

Sambil melanjutkan perjalanan ke Pusat Hutan Terlarang, Max memikirkan kemungkinan-kemungkinan tantangan yang harus dihadapinya. Pertama, para binatang sudah tidak bisa mendengar suaranya. Jika sudah tidak bisa mendengarnya, berarti mereka juga tidak bisa mengenalinya. Mereka tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Kalau begitu, para binatang akan menganggapnya sebagai musuh. Masalah kedua yang bisa timbul, pertemuan tak terduga dengan pemburu. Melindungi binatang yang sedang kehilangan kewarasan dari pemburu akan semakin sulit.

Semoga tidak bertemu pemburu, pinta Max dalam hati.

Saat menulit ini, saya merasakan keajaiban alam semesta. Semoga kamu juga merasakan hal yang sama.

Terima kasih sudah membaca sampai bab ini dan memberikan dukungan.

Salam

Mutayacreators' thoughts
次の章へ