webnovel

Kabar Buruk dari Rang Rang Merah

Max tahu betapa berharganya para binatang bagi para Rang Rang. Mereka adalah kawan bermain. Terutama Merah yang memimpin Angin Utara, artinya dia juga menjaga Hutan Bagian Paling Utara. Para kesayangannya yang hidup di sana sedang dalam bahaya saat ini. Merah mungkin merasa telah gagal menjalankan tugasnya. Max tidak ingin Merah berubah menjadi elemen berbahaya nantinya untuk alam semesta, maka dia perlu dengan sigap menyeimbangkan emosi Merah dan satu-satunya cara yang berlaku dalam situasi ini adalah seandainya tak bisa menyelamatkan semuanya, dia harus bisa membawa sebanyak mungkin para binatang kesayangan Merah ke tempat yang aman.

"Nah, area mana yang jadi pintu masuk mereka?"

"Sebagian besar masuk melalui Bambu Gila," mata Merah semakin merah karena air mata yang bercucuran. "Dalam waktu singkat mereka bisa kehilangan kewarasan lalu jadi ganas," kalimat Merah tak terdengar jelas karena dia bicara sambil sesenggukan, tapi Max telah menangkap intinya dan itu tidak menyenangkan.

"Apa yang akan Anda lakukan?" Koko bertanya. "Kami merasa tak berguna jika tak bisa membantu. Kami juga merasa tak berguna karena begitu lemah di hadapan api buatan manusia."

Max sangat tahu batasan para Rang Rang.

"Setiap makhluk hidup punya kelemahan. Kalian tak perlu menyesalinya."

"Lalu apakah kami hanya harus menunggu Anda kembali dari Hutan Terlarang? benarkah tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membantu?" Koko merangsek ke depan hidung Max.

Max berpikir. Dia tahu tidak mungkin membuat Rang Rang mengikutinya sampai Hutan Terlarang. Kekuatan mereka bisa langsung lumpuh jika masuk hutan itu.

"Kami tahu jika masuk hutan itu kekuatan kami bisa langsung lumpuh, tapi ....tidak adakah hal yang bisa kami lakukan?" Xixi menyuarakan pikiran Max.

Pada saat itu air mata Merah semakin deras. Terace menghampirinya dan memeluknya. Merah bicara lirih dengan rasa bersalah yang dalam, "Maafkan aku, aku gagal memberi peringatan pada mereka."

Para Rang Rang lalu menghiburnya. Persaudaraan mereka membuat Max tertegun.

"Begini saja," Max akhirnya membuat keputusan. "Bagaimana kalau kalian membantuku menyimpan barang-barang ini?" Max menurunkan tas carrier di punggungnya. Dia membuka dan memperlihatkan isinya pada Rang Rang. Mereka yang tadinya sibuk menenangkan Merah kemudian tertarik pada permintaan Max. Merah juga lekas berhenti menangis.

"Dengan bantuan kalian aku bisa menghemat waktu. Aku harus menyimpan semua ini. Kalau aku pergi dulu ke tempat penyimpanan itu akan memakan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk menyelamatkan kesayangan kalian akan semakin menipis," Max menjelaskan maksudnya dengan hati-hati.

Rang Rang saling berpandangan. Mereka dapat mengenali benda-benda yang ada di dalam tas itu bukan benda sembarangan.

"Aku mengerti!" Terace berseru. "Kalau kami yang mengurus para pusaka, Anda bisa pergi sekarang ke Hutan Terlarang dan kesempatan menyelamatkan kesayangan kami juga semakin tinggi, begitu kan?"

Max mengangguk.

"Kalau begitu, tunggu apalagi teman-teman? ayo kita ambil para pusaka dan membawa mereka ke tempat masing-masing. Kita harus berkelompok karena tak bisa membawa satu benda sendiri-sendiri!" Terace seperti koordinator untuk semua Rang Rang. Bermula dari ajakan Terace, yang lainnya segera memahami arti penting kerjasama di antara mereka.

"Tunggu! Sebelum itu, kupikir ada yang bisa kita lakukan untuknya teman-teman," Merah terbang ke depan Max. "Ijinkan saya dan teman-teman memberikan bubuk petunjuk arah," kata Merah.

"Merah benar, dengan itu Anda bisa dengan mudah menemukan jalan kembali ke Pegunungan Sakral dari Hutan Terlarang lewat titik manapun nantinya," Terace menimpali. Tanpa menunggu persetujuan dari Max, Terace mengajak teman-temannya mengumpulkan bubuk mereka. Melihat dukungan mereka yang begitu tulus, Max tak menolak. Lagi pula dia memang gampang tersesat.

"Baiklah, letakkan bubuk kalian di sini," Max mengeluarkan sebuah kantong kecil dari tas carrier nya. Kantong itu merupakan salah satu benda pusaka, berfungsi khusus untuk menyimpan bubuk gaib. Saat itu, kantong itu kosong, jadi bisa digunakannya. Max jadi merasa heran dengan kebetulan yang berlangsung pada saat itu. Bibi bisa mengumpulkan benda-benda aneh yang kini sangat berguna. Apa dia menemukannya kebetulan saja? Waktu itu, dia bilang membeli benda ini di pasar barang antik, harganya pun sangat murah. Max tersenyum mengingat salah satu kenangannya dengan Bibi dan pada saat yang sama dia juga bangga dengan ketulusan dari Rang Rang.

"Semoga ini cukup membantu," kata Merah sambil menyerahkan kembali sebuah kantong berwarna hijau dengan tali pengikat berwarna keemasan pada Max.

"Pasti," kata Max sambil menyimpannya di tas carriernya lagi. "Nah, sekarang, bawalah mereka ke tempat penyimpanan," Max berkata dengan nada meminta tolong.

Merah mengangguk hangat. Dia mengambil sebuah benda pusaka, begitu pula dengan yang lain. Jutaan Rang Rang kini terlihat terbagi dalam bebrapa kelompok berdasarkan benda yang mereka bawa.

"Aku harus ke arah Utara, kalian bisa pergi dulu," pinta Max.

"Kami akan melihat Anda pergi lebih dulu," kata Terace yang memegangi sebuah tusuk konde bersama enam orang temannya.

Max tersenyum. "Baiklah, kalian juga berhati-hatilah."

Setelah mengatakannya, Max menggunakan kecepatan penuh menuju arah utara. Dia mengatupkan rahang sampai mengeras. Pikirannya bertanya-tanya, apalagi yang diinginkan manusia, kenapa membakar hutan?

Belum puaskah mereka dengan lahan yang mereka miliki?

Mereka terus mengambil sumber daya alam, tidakkah mereka menyadari kalau keseimbangan alam semesta semakin goyah?

Kenapa mereka tidak pernah belajar dari sejarah. Kenapa manusia terus berpikir kalau bumi ini milik mereka?

Sembari berpikir, max terus berlari. Tas carrier di punggungnya sudah kempes, beban yang berkurang banyak itu membuatnya bisa bergerak seperti roket yang melesat rendah di atas tanah.

Dalam sekejab, Max sudah sampai di kawasan Hutan Paling Utara. Dia berdiri di bibir tebing. Dari sana, dia dapat melihat lahan yang sudah terbuka. Ada bekas pohon-pohon terbakar di mana-mana. Beberapa manusia terlihat sedang menjarah batang-batang pohon besar. Mereka memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. Ketika sekelompok manusia sedang mencoba memotong pohon dari pokoknya, sebagian lagi sedang membelah, dan sebagian yang lainnya lagi memanggul potongan - potongan batang pohon itu kemudian menumpuknya. Ada truk-truk besar yang sudah siap menampung. Batang-batang pohon itu jadi terlihat seperti irisan wortel untuk kimbab yang ditumpuk.

Melihat semua itu, Max menghela nafas. Max lalu memperhitungkan skala api yang diperintah manusia menghabisi pepohonan. Api buatan manusia serakah tidak memiliki roh, jadi tidak bisa merasakan kehidupan di depannya. Max juga memikirkan bagaimana para penghuni Hutan Paling Utara itu melarikan diri.

Senja merah yang muncul sore itu seperti mengisahkan kembali kejadian yang disaksikan oleh Kelompok Rang Rang Merah di depan mata Max. Max menelan ludah yang menggumpal pahit di mulutnya. Dia lalu mencium aroma angin yang datang dari arah lahan gosong karena ulah manusia itu. Kedua mata Max berkedut karena aroma itu mengabarkan padanya puluhan binatang dari berbagai spesies telah mati terpanggang. Max meninju pohon di dekatnya sampai rubuh. Tatapan matanya liar ke sekelompok manusia yang tengah sibuk mengumpulkan kayu. Mereka tidak menyadari, di atas bukit berketinggian 900 meter di atas permukaan laut, ada dirinya yang sedang menahan amarah.

Haruskah ku bunuh saja mereka?

Karya ini mungkin tak seperti yang kamu harapkan. Akan tetapi, saya memiliki tujuan khusus pada unsur intrinsiknya. Semoga kamu dapat menikmatinya satu per satu dan membedah maknanya satu per satu.

Terima kasih.

Mutayacreators' thoughts
次の章へ