webnovel

Raka Kamandaka

Saat ini hari menunjukkan tengah malam. Kelelawar berdecit riang bersama yang lainnya. Suara lolongan serigala dan lolongan anjing terdengar di hutan kejauhan sana. Suara jangkrik memecah kesunyian.

Angin malam berhembus. Membawa harum bunga-bunga yang sedang mekar. Bau bunga Mawar tercium lembut, membawa perasaan nyaman dan perasaan tenteram.

Kota Kawasen, adalah sebuah kota yang sudah ada sejak zaman dahulu. Kehidupan di sini terbilang makmur. Masyarakatnya banyak yang menjadi seorang petani. Sawah dan ladang menghijau sejauh mata memandang.

Bukit hijau di tengah malam seperti seorang pertapa yang sedang duduk. Semua kehidupan alam di sini masih terjaga. Udara yang sejuk memberikan perasaan nyaman dan ketenangan jiwa kepada setiap orang yang ada di sana.

Kehidupan di perkotaan sudah terbilang cukup maju. Apalagi Kota Kawasen berdekatan dengan Kotaraja.

Banyak orang dari luar daerah sengaja berkunjung ke sini hanya untuk sekedar menikmati keindahan alam yang sudah disediakan oleh Tuhan.

Kota ini memang terkenal dengan pemandangan alamnya. Selain itu, Kota Kawasen juga terkenal sebagai tempat dibuatnya senjata pusaka yang memiliki kualitas nomor satu di Tanah Pasundan.

Setiap tahun, para pelancong yang sengaja datang ke sini akan selalu bertambah. Para pedagang dari luar daerah juga bertambah.

Jika malam hari, kota ini menjadi lebih indah lagi. Siapapun orangnya, pasti akan mengakui tentang keindahan tersebut.

Sayangnya, semua keindahan itu sekarang tidak bisa dirasakan oleh seorang pemuda bernama Raka Kamandaka. Saat ini hatinya sedang murung. Pikirannya tidak karuan, sebab dirinya sedang menghadapi suatu persoalan yang sulit untuk dihadapi.

Raka Kamandaka, dia merupakan seorang pemuda bertubuh tinggi kekar. Dadanya bidang, ototnya menonjol, rambutnya sebahu dibiarkan terurai begitu saja. Dia memakai ikat kepala sutera berwarna putih, sama seperti pakaian yang selalu dia kenakan.

Dia memang menyukai warna putih. Sehingga semua pakaian yang dimilikinya, pasti berwarna putih. Belum pernah dia memakai pakaian selain warna putih.

Alis matanya tebal membentuk golok yang melengkung. Matanya tajam dan jernih. Bola matanya berwarna hitam legam, pertanda bahwa tenaga dalamnya sudah tidak terukur lagi.

Setiap orang yang memandang matanya, pasti akan merasakan ada sesuatu yang sukar untuk dilukiskan.

Bagi para gadis, mata itu mengandung daya pikat yang luar biasa. Seperti sebuah magnet, dia akan selalu menarik magnet-magnet lainnya. Namun bagi musuh-musuhnya, mata itu seperti sebuah mata pisau yang setiap saat bisa menembus jantungnya.

Di punggung Raka Kamandaka terdapat sebilah pedang. Sebilah pedang pusaka yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Pedang itu berwarna hitam legam. Di seluruh bagian sarung pedangnya terdapat ukiran batik. Gagang pedangnya sendiri mempunyai ukiran yang sama.

Sekilas pedang tersebut tidak memiliki keistimewaan. Tetapi bagi siapapun yang tahu, pasti akan merasa tubuhnya bergetar jika pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya.

Alasannya karena pedang itu bukanlah sembarang pedang. Itu adalah sebuah pedang mustika, entah sudah berapa banyak nyawa yang tewas di ujung pedang tersebut.

Pedang Pencabut Nyawa.

Seperti juga namanya, pedang itu memang selalu digunakan untuk mencabut nyawa orang. Menurut kabar angin, bahkan pedang tersebut disamakan dengan Malaikat Maut.

Karena setiap Pedang Pencabut Nyawa keluar dari sarungnya, sudah pasti akan ada nyawa manusia yang melayang. Pedang itu tidak akan kembali ke sarung jika belum mencabut nyawa sasaran tuannya.

Karena alasan itulah, setiap orang-orang dunia persilatan akan merasa tubuhnya gemetar jika melihat pedang tersebut dicabut.

Malam semakin larut. Malam ini rembulan bersinar sepenuhnya. Bulan purnama, bagi sebagian orang, menikmati bulan purnama tentu sangat menyenangkan. Apalagi jika dilewatkan bersama dengan seorang kekasih pujaan hati.

Raka Kamandaka juga pemuda yang menyukai bulan purnama. Setiap datang saat itu, dia pasti akan menikmatinya dengan seguci tuak.

Sayangnya, untuk saat ini dia tidak bisa menikmatinya. Walaupun ada seorang gadis cantik di pinggirnya, dia tetap tidak akan menikmati.

Hatinya sedang dipenuhi sebuah dendam. Dendam membara yang lebih dalam dari pada lautan. Lebih tinggi dari pada gunung.

Keluarganya dibunuh oleh orang secara sadis. Ayahnya, ibunya, seorang adiknya yang wanita dan pria, semuanya tewas tanpa kepala.

Kejadian tersebut berlangsung dua hari yang lalu. Tepatnya tengah malam setelah dia pulang dari kediaman gurunya. Begitu pulang ke rumah, seluruh rumahnya telah berubah menjadi genangan darah.

Semua pembantunya, tukang kuda dan tukang potong rumput, semuanya tewas dalam kondisi yang sama.

Padahal ayahnya sendiri seorang pendekar ternama di Tanah Pasundan. Tak disangka, dia bisa tewas secara mengenaskan.

Anak mana yang tidak akan menaruh dendam jika seluruh keluarganya dibantai tanpa alasan jelas? Siapapun pasti akan merasakan hal yang sama.

Mungkinkah si pembunuh tersebut mempunyai dendam dengan ayahnya? Ataukah mereka juga mengincar hartanya yang berlimpah?

Untuk diketahui, keluarga Kamandaka adalah sebuah keluarga besar yang kaya raya. Tanahnya di mana-mana. Usahanya berlimpah. Ayahnya seorang tokoh dunia persilatan.

Namun semua itu tidak membuat mereka sombong dan merasa tinggi. Justru sebaliknya, semua keluarga itu hidup sederhana. Mereka tidak segan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan uluran tangannya.

Semua tetangganya mengakui kebaikan dan kemurahan hati keluarga Kamandaka.

Masihkah ada orang yang menaruh dendam kesumat kepadanya?

Tentu saja, mungkin orang itu adalah orang-orang dunia persilatan. Namun siapa pastinya, tidak ada yang mengetahuinya.

Kejadian tragis tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, barusan, sebelum dia tiba di kediaman gurunya, ternyata orang tua itu sudah mendapat malapetaka juga.

Gurunya tewas. Dia tewas terkena sebuah racun ganas yang tiada tandingannya. Selain itu, ditambah lagi seluruh tubuhnya penuh dengan luka tusukan berbagai macam senjata.

Kematian gurunya, tidak kalau mengenaskannya dengan kematian keluarganya.

Gurunya juga tokoh tua yang dihormati dan disegani. Siapa yang tidak kenal dengan nama Eyang Pancala Sukma? Semua orang pasti kenal. Baik itu orang-orang dunia persilatan angkatan tua ataupun angkatan muda, mereka pasti mengenalnya.

Apalagi gurunya seorang datuk rimba hijau. Sudah pasti namanya terkenal ke seantero negeri. Lagi-lagi tak disangka, beliau juga tewas di tangan seseorang. Padahal ilmunya sudah tidak bisa dilukiskan lagi.

Raka Kamandaka benar-benar tidak habis pikir kepada orang-orang yang merenggut kebahagiaannya. Kehidupan yang tenteram dan penuh kebahagiaan, seketika harus lenyap menjadi kehidupan yang penuh dengan penderitaan.

Tadinya dia berniat untuk mencari seorang wanita yang pantas untuk menjadi isterinya. Sayang, sekarang niat itu harus dikubur dalam-dalam.

Yang pertama harus dia lakukan adalah membalaskan dendam semua keluarga dan dendam gurunya.

Dia sudah bertekad untuk terjun ke dunia persilatan sekarang juga. Dia akan menempuh jalan darah demi mencari tahu di balik semua kejadian ini.

Dengan seluruh bekal dari Eyang Pancala Sukma, ditemani dengan Pedang Pencabut Nyawa, dia akan memulai pengembaraannya di dunia yang penuh dengan darah.

Raka Kamandaka akan mempersembahkan seluruh hidupnya untuk membalaskan dendam ini. Dengan selembar nyawanya, dia akan menggetarkan dunia persilatan.

次の章へ