Pria berumur hampir enam puluh tahun itu membaca dokumen yang ada di tangannya dengan teliti. Matanya meneliti satu per satu kalimat yang tertera di sana. Selama hampir empat puluh tahun menjabat sebagai direktur utama, ini pertama kalinya ia membaca sebuah proposal hingga membuatnya berdecak kagum.
"Ayah kenapa?" tanya anak perempuan dari pria tersebut yang duduk di hadapannya.
Mata pria bernama Felix Winata itu menghangat sambil menatap putri semata wayangnya. "Kau tahu ayahmu ini sudah tua."
"Aku tahu, Ayah," sahut sang putri. "Karena itu sekarang aku berusaha keras agar bisa segera menggantikan posisi ayah untuk memimpin perusahaan ini."
"Tapi ayah khawatir padamu, Ella," balas sang ayah. "Kalau bisa ayah ingin agar suamimu saja yang mengurus perusahaan ini, jadi kamu bisa hidup lebih santai. Ayah tidak mau kau terbebani."
Gadis bernama Fredella Winata itu memutar bola matanya bosan. "Jangan membicarakan hal ini lagi, Yah. Aku bosan mendengarnya."
Sejak lima tahun yang lalu, ayahnya ini selalu mendesaknya untuk menikah dengan segala cara. Bahkan ia beberapa kali pernah hampir dijodohkan dengan anak dari teman ayahnya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil membuat Fredella menyukainya. Fredella bukanlah tipe gadis yang hanya suka dengan wajah tampan saja. Tapi ia juga menyukai laki-laki yang pandai dan berwawasan luas.
"Baiklah, baiklah," ayahnya menyerah kemudian menyerahkan proposal yang ada di tangannya kepada Fredella. "Baca proposal itu. Buatlah janji dengan direktur utama Prameswari Group untuk membahas proposal itu."
Mata Fredella membaca sekilas judul proposal itu sebelum kembali menatap sang ayah. "Prameswari Group? Kalau tidak salah perusahaan itu dipegang oleh menantu mendiang Tuan Prameswari, kan?"
"Ya," sahut Felix kemudian menyandarkan punggungnya. "Ada rumor yang bilang kalau anak itu sangat pandai mengatur perusahaan. Terbukti semenjak ia menjabat sebagai direktur utama, saham Prameswari Group terus meroket tajam. Dan sepertinya itu benar, proposal yang kau pegang itu buktinya, Ella."
Fredella membuka halaman pertama proposal tersebut, tapi kembali menatap ayahnya setelah mengingat sesuatu. "Bukannya tiga bulan yang lalu istrinya baru saja meninggal?"
Felix menghela napas, ikut merasa kasihan. "Nasibnya benar-benar malang. Harus ditinggalkan istrinya dengan cara seperti itu."
"Tapi sepertinya ia sudah bangkit, melihat proposal yang ia tawarkan kepada perusahaan kita ini," balas Fredella.
"Hati orang siapa yang tahu." Felix mengedikkan kedua bahunya.
Sejenak Fredella merasa tertarik dengan direktur utama Prameswari Group tersebut. "Baiklah, aku akan segera membuat janji dengannya," ucap Fredella pada akhirnya kemudian keluar dari ruang kerja ayahnya.
.
.
.
Seminggu kemudian Fredella sudah berada di hadapan direktur utama Prameswari Group. Pria yang bernama lengkap Ezra Putra Kalingga itu terlihat sangat ramah dan wajahnya juga rupawan. Setelah perkenalan singkat, kedua orang itu mulai membahas proposal yang ditawarkan Prameswari Group kepada perusahaan Winata Corporation.
Pembahasan antara dua orang itu berjalan cukup alot. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan Fredella mampu dijawab dengan sangat lihai oleh Ezra, seakan-akan sudah memprediksinya. Fredella sejenak dibuat kagum dengan laki-laki yang umurnya lebih muda tiga tahun dari dirinya itu.
"Jadi, kapan kira-kira aku bisa bertemu dengan ayahmu?" tanya Ezra setelah satu jam lebih membahas proposalnya.
Fredella meminum tehnya sejenak sebelum menatap mata jernih Ezra. "Aku akan mengaturnya secepat mungkin. Sebenarnya ayahku juga menyukai proposalmu."
"Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong aku boleh memanggilmu Della? Agar lebih akrab. Sebentar lagi kita akan menjadi partner kerja, kan?"
"Wah, percaya diri sekali," balas Fredella bercanda tapi selanjutnya mengiyakan permintaan Ezra. "Tentu saja, Ezra."
Ezra tersenyum lebar. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita cukupkan sampai di sini? Aku tidak mau mengganggumu lebih lama."
Melihat Ezra berdiri dari posisinya, Fredella juga ikut berdiri. Matanya tak bisa lepas dari Ezra. Ini pertama kalinya ia merasa tertarik dengan seseorang di pertemuan pertama. Bukan hanya wajahnya yang tampan, tapi otaknya juga sangat pintar.
"Sampai bertemu lagi, Della," ucap Ezra sambil mengulurkan tangannya.
Fredella menjabat tangan Ezra. Ada sengatan aneh menjalar saat tangannya bertemu dengan Ezra. "Y-ya, Ezra."
Ezra kemudian mengantar Fredella sampai keluar ruangannya. Lelaki itu menoleh ke bilik sekretarisnya. "Vania, tolong antar Fredella ke bawah."
Mendengar namanya dipanggil, Vania segera berdiri dari tempat duduknya. "Baik, Tuan," sahut Vania kemudian berjalan di samping Fredella. "Mari saya antar, Nona."
Mata Fredella kemudian menatap wajah sekretaris Ezra. Kedua alisnya sedikit mengkerut melihat wajahnya yang agak pucat. "Tidak perlu, Ezra," tolak Fredella. Ia menoleh cepat ke arah Ezra. "Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu ya? Sampai tidak sadar dengan wajah pucat sekretarismu? Seharusnya kau menyuruhnya beristirahat."
Vania sedikit berjengit saat tiba-tiba Fredella menggenggam tangannya. "Pasti melelahkan ya punya atasan yang gila kerja? Beristirahatlah hari ini."
Mata Vania mengerjap beberapa kali sebelum menganggguk. "Terima kasih, Nona."
Setelah itu, Fredella segera berlalu dan turun ke lantai dasar, menyisakan Ezra dan Vania di sana. "Masuk ke dalam, Vania."
Vania tidak menyahut dan segera mengekori Ezra kemudian mengunci pintu ruangan direktur utama tersebut.
"Benar yang dikatakan Fredella, kau pucat, Sayang," ucap Ezra sembari mengelus wajah Vania lembut.
"Hmm..." Vania memejamkan matanya saat tangan hangat Ezra menyentuhnya.
"Apa semalam aku bermain terlalu kasar?" tanya Ezra.
Vania menggeleng. "Tidak. Aku hanya sedikit mual, mungkin masuk angin?" ucap Vania tidak yakin. "Atau karena obat pencegah kehamilannya?"
"Ah, benar, efek samping obat itu membuat menstruasi menjadi tidak teratur, bahkan bisa menghentikan menstruasi juga," ucap Ezra menambahkan. Yang tentu saja semua perkataan Ezra itu kebohongan yang dulu ia katakan kepada Vania.
Mendadak kepala Vania terasa pusing kembali. Ia segera memeluk Ezra dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidangnya. "Perutku jadi agak begah karena belum menstruasi, Ezra."
Sudut bibir Ezra berkedut mendengarnya. Salah satu tangannya yang tidak memeluk Vania beralih ke atas perut wanita itu. Memang perutnya terasa agak sedikit membesar. 'Dasar bodoh, kau itu hamil, Vania,' ucap Ezra dalam hati.
"Kalau begitu sekarang kau pulang saja."
Vania melepaskan pelukannya agar bisa memandang mata Ezra. "Bolehkah?"
"Ya, boleh. Nanti malam aku akan menemuimu, Sayang," balas Ezra kemudian mengecup bibir Vania yang berakhir pada lumatan hingga remasan di kedua payudara Vania.
"Ahhnn..." desah Vania tertahan saat kecupan Ezra turun ke lehernya. Disedotnya salah satu titik di sana hingga membuat Vania menggelinjang geli.
Napas Ezra semakin menderu saat mendengar desahan erotis Vania. Ezra mempertemukan dahinya dengan dahi Vania dan kembali mengemut bibir wanitanya itu. "Nanti malam, kau harus menyambutku dengan vaginamu. Mengerti Sayang?" titah Ezra sembari meremas kencang salah satu payudara Vania.
"Engghh... iyahh..."
"Sekarang kau pulang lebih dulu."
Vania tersenyum manis kemudian berjalan keluar setelah sebelumnya mengecup bibir Ezra sebentar.
Setelah Vania pergi, Ezra tertawa kecil. "Lihat saja, Vania, aku akan membuatmu berakhir sama seperti Myesha. Aku sudah tidak sabar melihatnya."