webnovel

The Guilt That Eat You

"Ven, Kakak rasa Kakak udah memperkosa seorang perempuan," ucap Rei lalu menundukkan kepalanya. Ia menarik napas panjang dan mendengus dengan ekspresi yang begitu menyesal.

Venus terpaku seperti patung tak bisa bicara pada pernyataan yang baru saja diberikan oleh kakaknya. Ia benar-benar kaget dan tak menyangka jika Rei bisa berbuat hal seperti itu.

"A-Apa ..."

"Kakak rasa Kakak sedang dihukum Tuhan. Kakak benar-benar stres menghadapi masalah ini. Gosip itu buat Kakak gak bisa berpikir sehat," sambung Rei lagi. Kini pandangannya lurus tertuju pada sofa di depan ranjang milik Venus. Venus makin mendekat dan memegang lengan Rei yang bertumpu pada kedua lututnya yang terlipat ke atas.

"Apa yang terjadi?" tanya Venus nyaris berbisik dengan lembut. Rei mulai meneteskan air matanya dan terisak. Rei tak pernah menangis lagi semenjak ayah mereka pergi meninggalkan rumah. Dia jadi seperti batu. Namun kali ini, sifat manusianya akhirnya keluar. Sifat rapuh, ketakutan dan nyaris putus asa.

"Kakak cerita sama aku, biar perasaan Kakak lebih lega," tambah Venus makin mengelus lengan Rei yang terisak pelan. Rei menyeka air matanya dengan cepat.

"Saat gosip soal gay itu mulai menyebar, awalnya Kakak berusaha untuk tidak peduli. Tapi kamu tahu persis bagaimana rasanya hidup di dunia hiburan, kan? Semua orang membangun kredibilitasnya dengan kepura-puraan dan kesempurnaan semu. Tapi tetap saja, gosip bisa sangat menyakitkan." Rei berhenti sejenak memilin tangannya.

"Saat Kakak ke Boston untuk melihat jalannya audisi, Kakak memergoki Christina bercinta dengan Ethan di kamar mandi hotel, Kakak marah dan kecewa lalu langsung memutuskan dia. Setelah itu Kakak ke klub dan mencoba untuk melupakan rasa sakit itu. Tapi gosip itu terus mendengung di telinga membuat Kakak marah dan ingin membuktikan jika Kakak bukan gay." Venus mulai memperhatikan dan keningnya agak sedikit mengernyit.

"Apa yang Kakak lakukan?" Rei menoleh pada Venus dan sedikit menundukkan pandangan.

"Dalton Curt menawarkan seorang gadis untuk membuktikan kebenaran bahwa Kakak bukan gay dan Kakak mengambilnya." Venus makin menaikkan alisnya saat menatap Rei. Rei mengangguk pelan tanda itu memang benar.

"Yang terjadi ... aku adalah seorang monster, Venus. Gadis itu dalam pengaruh obat dan Kakak tau dia sedang gak berdaya. Tapi Kakak ... mengambil miliknya yang paling berharga. Dia masih perawan, Venus. Itu artinya Kakak uda memperkosa dia!" Rei makin menunduk dan menangis. Venus sampai menutup mulut dengan kedua tangannya.

Venus tak tahan mendengar isakan Kakaknya yang menyesali perbuatannya. Ia menjulurkan kedua tangan dan memeluk Rei untuk menenangkannya.

"Dengan bodohnya Kakak bahkan kasih cek sebesar 10 ribu dolar untuk dia, Kakak bahkan gak memastikan apa dia mengambil uang itu atau gak. Kakak pikir dia gadis panggilan. Tapi rupanya bukan. Kakak begitu bersalah ..." Rei makin terisak dalam pelukan Venus yang terus mengelus pundaknya.

Setelah Rei sedikit lebih tenang, Venus menegakkan kembali tubuh Rei dan menyeka air matanya.

"Kakak jangan putus asa, Kakak harus cari dia. Apa dia salah satu peserta audisi?" Rei mengangguk.

"Selama ini, Kakak mencari dia. Ares, Jupiter bahkan Aldrich ikut mencari dia. Tapi setiap kali Kakak sedikit lagi bertemu dan tau siapa dia, jalan seketika tertutup. Tuhan seperti benci sama Kakak, dia gak memberi jalan sama sekali!" rutuk Rei dengan kesal.

"Jangan bicara seperti itu, Tuhan gak pernah ninggalin Kakak!" Rei menggelengkan kepalanya. Ia membuang pandangannya ke arah lain.

"Tuhan sudah lama meninggalkan rumah ini, Sayang. Kamu lupa?" Venus hanya menarik napas dan tak mau menanggapi Rei yang bahkan tak pernah lagi mau datang ke gereja.

"Sekarang apa yang akan Kakak lakukan? Apa Kakak akan terus cari dia?" Rei menundukkan kepalanya.

"Entahlah, rasanya kami gak akan mungkin bisa bertemu." Rei menghela napas kecewa dan sedikit menengadahkan kepalanya.

"Aku yakin keajaiban Tuhan itu ada, Kakak juga harus yakin." Rei tersenyum pada Venus yang menurutnya begitu polos. Meskipun ia sudah menjadi penyanyi terkenal, sifatnya masih tak berubah, cantik dan polos.

"Maafin Kakak jadi datang dan membuat kamu kepikiran dengan cerita ini." Venus mengerucutkan bibirnya dan menggelengkan kepalanya.

"Aku kan udah bilang, aku senang Kakak bisa cerita. Kenapa kita gak minta tolong Daddy? Dia kan punya banyak jaringan ..." Rei mendesis sinis dan menggeleng.

"Jangan sampai Mommy tau apa lagi Daddy. Dia mungkin gak mukul tapi kalo dia tau apa yang Kakak lakukan, dia akan memenggal kepala Kakak. Kamu kan tau kalo Daddy paling benci dengan pria yang mukulin perempuan?" Venus mengangguk dan sedikit tersenyum.

"Memangnya Kakak mukulin gadis itu juga?"

"Apa bedanya? Kakak memaksa dia dalam sebuah hubungan bukankah itu sama aja?" Venus jadi diam dan memilih duduk bersandar di sebelah Rei. Ia lalu menyandarkan sisi kepalanya pada pundak Rei dan itu membuat Rei tersenyum.

"Kakak cerita tentang pelecehan yang Kakak lakukan tapi kamu malah peluk Kakak. Kamu gak takut?" Venus tersenyum dan makin mengeratkan pelukannya.

"Siapa Supermannya Venus selama ini? Namanya Kak Rei. Dia gak akan mungkin nyakitin aku." Rei tersenyum dan sedikit menoleh untuk mencium kening Venus.

"Kenapa kamu pindah lagi kemari?" tanya Rei mulai mengubah topik.

"Apartemenku sedang di renovasi. Kalo aku nikah, aku mau tinggal di sana aja." Venus lalu menaikkan pandangan dan menatap Rei.

"Jadi kamu uda yakin mau menikah dengan Gareth?" Venus tak tersenyum hanya sedikit menaikkan bibirnya saja.

"Entahlah, mungkin." Rei jadi mengernyitkan keningnya. Ia makin menoleh pada Venus.

"Kalo kamu gak yakin, kamu tinggal putusin dia." Venus melepas rangkulannya dan mulai memilin jemarinya.

"Sebenarnya kamu cinta gak sih sama Gareth? Kakak lihat dia kayaknya dingin aja sama kamu. Atau mungkin dia bukan tipikal cowok yang suka ngasih liat kasih sayangnya di depan umum?" Venus hanya tersenyum saja.

"Mungkin ..." jawab Venus singkat penuh misteri. Rei hanya menggeleng pelan.

"Trus ... gimana Mas Dion? Apa dia kerja dengan baik?" senyum Venus kembali mengembang saat Rei menyebut nama pengawal pribadi Venus.

"Dia terlalu teliti, kamar ini aja diperiksa tiga kali sehari padahal gak ada yang masuk kemari. Belum makanan yang harus diperiksa dari dapur sampai ke meja. Aku merasa sedikit terpenjara." Rei terkekeh dan mengangguk.

"Itu artinya dia bekerja melebihi dari ekspektasi yang Daddy berikan. Sampai penguntit kamu tertangkap dan orang yang mengancam kamu masuk penjara, Mas Dion akan terus dampingi kamu, kamu gak keberatan kan?" Venus menganggukkan kepala masih tersenyum.

"Jujur Kakak lebih suka kamu gak nikah sama Gareth. Entahlah, dia agak ... creepy!" Venus sedikit memicingkan mata pada Rei.

"Kakak jauh lebih menakutkan," sindir Venus lalu menekan lesung pipi Rei yang tampak saat ia tersenyum.

"Kayaknya Mas Dion punya satu tugas baru deh."

"Apa?"

"Kalau Gareth macem-macem, aku akan suruh Mas Dion buat menelanjangi dia trus digantung di atas langit-langit, biar dia jera!" Venus spontan memukul lengan Rei yang tergelak bersamanya. Pintu kamar sempat hampir diketuk tapi tak jadi saat terdengar suara Rei dan Venus saling bercengkerama.

Dion mengurungkan niat dan berbalik perlahan lalu menekan earpiece untuk bicara pada seluruh anak buahnya.

"Konfirmasi, tamu adalah Rei Harristian. Kalian bisa beristirahat, tim yang berjaga bisa mulai sekarang. Selamat malam!" ucap Dion dengan nada dingin seperti biasa.

"Selamat malam, Pak!" Dion pun melepaskan alat komunikasinya dan menghela napas. Ia mengambil ponsel dan memeriksa lagi lalu menarik napas kecewa. Kekasihnya belum menghubungi sama sekali.

次の章へ