webnovel

Sebab Akibat

Ibra POV - Sebab Akibat -

_________________________________________

"Mas Baim, ini ada kiriman dokumen dari vendor buat Koko Briel, boleh minta tolong titip di mejanya nggak?" ujar Lita menghadangku saat ingin masuk ke dalam ruangan dimana aku pernah menggenjot Gabriel. Maksudku ruangan kerjaku bersama Gabriel dan juga Mba Melanie, tapi aku memang lebih mengingat bagian menggenjotnya daripada bagian kerjanya, padahal cuma sekali tapi terkenang sampai saat ini.

Lita adalah bagian admin marketing regional export import, yang tak lain dan tak bukan adalah bawahan langsung Gabriel.

Kuambil Dokumen yang dititipkannya padaku, lalu mengerlingkan mata menggoda Lita, "oke, mas bawa."

Cewek berkacamata ini kalau diperhatikan cantik juga, bahkan sangat cantik, seandainya aku masih suka main perempuan seperti dulu, mungkin Lita sudah menjadi korbanku. Tapi sayangnya dibanding setiap hari menggoda Lita, aku lebih tertarik menggoda dan menggenjot atasannya. Bossnya Lita itu lucu saat tertawa, imut saat cemberut, dan menggemaskan saat mendesah, apalagi kalau sudah meracau menyebut namaku, rasanya duniaku lengkap sudah. Setelah akhir-akhir ini aku semakin dekat, semakin akrab dan semakin sering berduaan saat waktu luang, aku makin mengenal kepribadiannya. Ternyata Gabriel suka menonton drama korea, makanan favoritenya adalah Pempek, dan aktor favoritenya adalah aku. Sebenarnya aku tidak tahu juga siapa aktor favoritenya, tapi sepertinya aku bisa dikategorikan sebagai Aktor. Jelas saja, dia bahkan tidak tau kalau akhir akhir ini aku suka berakting menyembunyikan perasaanku yang lebih dari seorang teman dan partner kerja. Tapi permasalahannya, aku juga tidak yakin dengan perasaanku, apa yang aku rasakan ini cinta atau bukan, jujur saja saat aku tidak melihatnya sehari saja, aku dilanda rindu berat, lebih berat dari rindu yang dirasakan Milea untuk Dilan, dan saat melihatnya aku merasa senang bercampur sange juga. Itulah permasalahanku, setiap Gabriel ada di sampingku, Ibra junior tidak dapat dikontrol, maunya ikut- ikutan saja menyentuh ataupun disentuh Gabriel.

Bandel memang si Ibra Junior ini, nggak mau nurut sama tuannya, itulah sebabnya aku masih belum yakin dengan apa yang aku rasakan padanya saat ini. Setiap bisikan cinta datang, aku selalu menepisnya jauh-jauh. Gila! tidak mungkin kalau aku sampai berpacaran dengan laki-laki, tapi dengan TTM seperti ini saja, aku cukup puas, let it flow sajalah, biarkan mengalir seperti air kencing yang menyiram toilet, kalau jodoh tak akan kemana, kalau bukan jodoh, paling kubunuh orang yang menjadi jodohnya, simple bukan. Aku menggelengkan hal gila yang berpusara di kepalaku, tidak mungkin aku mencintai Gabriel, sekali tidak tetap tidak, aku hanya butuh tubuhnya, itu yang harus aku camkan saat ini.

Berbicara soal kesangean duniawiku, tiga hari ini aku belum mencicipi tubuhnya lagi karena sedang sakit, mana sakitnya di bagian pantat, itu bagian favoritku yang ada di tubuhnya, ada-ada saja memang, membuat pusing bagian kepala atas dan bawahku saja, minta hisap pernah, tapi tetap saja kalau kata Pak Sholeh, bapakku yang logatnya berqolqolah itu, rasanya QURANG AFDOL.

Aku sudah masuk ke dalam ruangan, tapi Gabrielku tidak ada di tempatnya bekerja, tidak biasanya jam delapan pagi seperti ini dia belum datang, padahal, biasanya dia paling rajin datang pagi, apa wasirnya makin parah. Sial ! kalau makin parah, kapan aku bisa mencicipi bekas wasirnya, terdengar menggelikan, tapi biar sajalah, memang itu lokasi yang aku jamah.

Aku meletakkan dokumen yang dititipkan Lita di atas meja kerja Gabriel, meja kerja yang pernah menjadi saksi percintaan yang kami lakukan, aku mengendus mejanya, ternyata sudah tidak beraroma cairannya yang muncrat di meja, Aku pikir masih. Aku melihat tas laptop Gabriel sudah ada di kursinya, jadi Gabrielku sudah datang, tapi kemana gerangan pria berwajah oriental itu, kupandangi bingkai foto Gabriel yang ada di meja, dia memang menggemaskan sekali, seharusnya dia memajang fotoku juga disini, pasti lebih semangat kerjanya, kuputuskan untuk mencium saja fotonya, sebelum nanti mencium empunya foto. Aduh! Fotonya saja membuatku horny, coliin aja apa ya.

Sepertinya aku harus mengurungkan niatku untuk menjadikan foto Gabriel sebagai bacol, karena si Baron ketua kebersihan lingkungan kantor atau nama lainnya adalah OB, tanpa permisi masuk ke dalam ruangan kami.

"Selamat pagi Pak Baim, saya pikir bapak belum datang, ini saya cuma bawakan teh manis untuk Pak Gabriel"

ujarnya dengan membawa nampan yang di atasnya ada segelas teh manis.

"Kaku banget kamu, Ron, masih aja panggil bapak, samain aja kayak yang lain, Mas Baim, inget! jangan salah panggilnya mas Baim, kalo mas Ibra, itu cuma buat Gabriel" ujarku terkekeh.

Jelas aku memang tidak pernah mau dipanggil bapak, sama seperti Mba Melanie, yang tidak pernah mau dipanggil ibu, baginya atasan harus mengayomi bawahan, bawahan harus menghormati atasan, harus saling menyayangi, dengan begitu terciptalah sebuah lingkungan kerja yang nyaman, rasa kekeluargaan yang tinggi dapat menimbulkan semangat bekerja yang efeknya juga untuk kepentingan perusahaan, itu kata Mba Mel, aku hanya mengulangnya saja, pria Arab selengean sepertiku mana bisa membuat kata-kata sok bijak seperti itu.

Ngomong-ngomong tadi Baron mengatakan Gabriel minta dibuatkan teh manis, itu artinya Gabriel sudah datang, lebih baik coba tanyakan saja pada Baron yang bergoyang "eh Ron, ini Gabriel udah dateng? dia dimana?"

"Sudah Pak Baim, eh Mas, tadi saya lihat Pak Gabriel ke toilet."

Kepalaku manggut-manggut, tapi otakku penasaran, apa yang dilakukan Gabriel di kamar mandi, apa wasirnya benar-benar makin parah,

"Permisi Pak Baim, eh Mas Baim, saya mau tarok tehnya Pak Gabriel" ujar Baron membuyarkan lamunanku, aku akhirnya sedikit menyingkir dari meja kerja Gabriel.

Baron masih berdiri disamping meja Gabriel, ia menatapku cukup tajam, mau apalagi OB ini, jangan dikira aku akan menggantikan dirinya dengan posisi Gabriel, tidak akan pernah.

"Ngapain lagi, udah sana ke pantry!" hardikku sedikit kasar, bukan bermaksud kasar juga, tapi aku tidak suka dipandangi lekat seperti itu, kecuali yang melakukannya adalah Gabriel.

"A--a ... anu Pak Baim, eh Mas Baim, itu fotonya Pak Gabriel, boleh dikembalikan tidak Mas, saya takut nanti saya disalahkan, soalnya tadi agak berdebu dan Pak Gabriel minta saya yang bersihkan" Baron menunduk.

Ah iya, sial, malu sekali rasanya, mana tadi aku sedikit membentak si Baron, bodoh sekali aku ini, bisa-bisanya masih memegang foto Gabriel, dan parahnya foto Gabriel kudekatkan menutupi selangkanganku, bikin tengsin aja.

"Ooh ... ini, iya nih, tadi saya liat masih ada debu dikit, jadi ... yaaah, saya bantu bersihin dikit pake celana soalnya gak ada lap sama tissue, kalo pake baju nanti baju saya kotor, ya kan?"

Baron mengambil foto Gabriel dan mengembalikan ke asalnya.

"Nggak apa-apa kan saya bantu bersihin, ya dong? ya kan? nggak masalah kan?"

Aku berusaha menutupi diri dari kegugupanku yang dipergoki Baron, bisa rusak reputasiku kalau Baron sampai tahu bahwa tadi aku menempelkan foto Gabriel di gundukan selangkanganku, aku jadi bicara ngelantur, ikut-ikutan gagap seperti Baron pula, mati aku.

"I--iya Pak, eh Mas Baim, t--tapi Pak, itu tissue sudah saya siapin di meja Bapak, eh Mas, dan di ujung meja Pak Gabriel"

"Oh iya ... ada yaaa, t ... tapi kalo pake tissue katanya bikin kacanya burem Ron, jadi pake celana bahan lebih bagus" aku berkilah, alasan macam apa ini.

"Ya sudah Pak, eh Mas Baim, saya permisi dulu."

Baron pergi meninggalkanku, "huuuuuh" aku mengehela nafas lega, OB itu hampir saja membuat jantungku copot.

Daripada menjadikan foto Gabriel bahan colian, lebih baik aku menyusulnya saja ke toilet, siapa tahu bisa mendapat jatah sarapan, sarapan sehisap dua hisap kan lumayan.

"Attention ladies, kalau nanti Mba Mel udah dateng, bilang aja Mas Baim lagi ke kamar mandi ya, mau setor tunai" ujarku memberi pengumuman saat ke luar ruangan, itu memang kebiasaanku, karena memang bawahanku dan bawahan Gabriel 99% adalah wanita, 1% nya pria yang memiliki hati keibuan di pojokan sana, yang sering dipanggil eceu oleh yang lainnya.

"Siapp mas" ujar para Ladies termasuk si eceu dengan kompak.

Aku bergegas menuju toilet umum yang terletak di pojok Gedung, sesekali bertegur sapa saat bertemu dengan orang orang dari Departement dan Divisi lain yang kukenal. Aku mendapati toilet dalam keadaan kosong, dimana boboboiku yang menggemaskan itu, ah ... aku melihat satu pintu toilet yang tertutup di pojokan, apa yang sedang dilakukannya disana, kenapa kakiku malah melangkah penasaran, kan bisa saja dia sedang BAB, bukankah malah sesuatu yang jorok jika aku memergokinya.

Tapi sekali lagi, Ibra Junior tak sejalan dengan otakku, aku mengendap menaiki tong sampah yang terbuat dari besi berdiri di sisi toilet, apa-apaan aku ini, kenapa aku malah ingin mengintip Gabriel, bukankah sudah biasa bagiku melihat Gabriel telanjang bulat di depanku, kenapa tanganku malah menggapai bagian atas sekat toilet yang menganga, dan kenapa kepalaku melongo ke toilet tertutup yang kuyakini ada Gabriel di dalamnya, bodohnya Ibra.

Aku terperanjat, hampir saja kehilangan keseimbangan dan terjatuh, kenapa boboboiku memakai headset, celananya juga tidak turun sampai ke lutut, itu artinya dia tidak sedang boker ataupun kencing, dia sedang menonton video yang tidak jelas kulihat, dan kenapa dia mengocok kemaluannya, ya salam ... boboboiku sedang coli di toilet, bodohnya dia, dia kan bisa menyuruhku, kenapa harus coli. Aku turun dari pijakanku, lalu segera keluar mengetuk toilet yang ada Gabrielnya.

"Riel, buka!" perintahku, pasti aku membuatnya terkejut, syukurin, emang enak diintip Ibrahim.

Flushhhhhhh

Gabriel melakukan trick basi, berpura pura memencet tombol closet. Yang benar saja, mau membodohi Ibrahim, tidak akan bisa.

"Kenapa sih, ganggu orang boker aja!" bentaknya padaku, padahal wajahnya memerah, dasar tukang bohong.

"Boker dari mana, dasar tukang boong, orang jelas-jelas !ku liat kamu lagi coli, ngapain!?" bentakku tak mau kalah.

"Dih ... kamu tau dari mana? kamu ngintip ya? dasar tukang ngintip" Gabriel menunjukkan jarinya tepat mengenai hidung bangirku.

"Ya ... enggaklah, ma ... mana mungkin, feeeling aja tadi" jawabku mengelak. Bodoh sekali, kenapa aku malah keceplosan.

"Dasar tukang ngintip, kayak nggak pernah liat aku telanjang aja" ujarnya cemberut berdiri di pintu toilet.

"Ya kamu juga, kayak nggak ada Aku aja, pake coli segala."

Wajah Gabriel tertunduk, pelan pelan mulutnya mengatakan, "aku pikir kamu datengnya siang, tadi mba mel bilang mau dateng siangan, soalnya langsung ketemu vendor, kamu kan kebiasaannya gitu" ujarnya lirih.

Sialan juga si Mbak Melanie, kenapa dia tidak memberi tahu aku kalau datang siang, tahu gitu aku tidak perlu terburu-buru berangkat ke kantor.

"Emang, wasir kamu udah sembuh?" tanyaku memiliki niat mencurigakan.

Gabriel mengangguk.

Ahayy ... pucuk dicinta ulampun tiba, ketiban durian runtuh juga aku pagi ini.

"Ya udah, lanjutin, aku bantu ya?"

aku menarik tangan Gabriel dan kembali masuk ke dalam bilik toilet.

"Aku kan belum bilang iya" Gabriel memprotesku.

"Emangnya aku minta persetujuan?"

"Tapi itu ada tanda tanyanya" protesnya lagi

"Anggep aja typo, udah jangan berisik, ini toilet umum, tanggung jawab, siapa suruh 3 hari pantatnya sakit."

"2 hari, jangan nambah-nambahin" ralat Gabriel.

"Loh ... jadi udah sembuh dari kemaren?" tanyaku melotot.

Gabriel kembali menjawab dengan anggukan.

Waah, bener-bener, jadi kemarin dia sudah sembuh, harus diberi pelajaran kenikmatan sama Mas Ibrahim. Aku langsung mencium bibir Gabriel, bibir yang tak pernah menyentuh nikotin, minuman keras ataupun barang berbahaya lainnya, hanya penisku saja yang dikategorikan sebagai barang berbahaya yang pernah disentuhnya.

Aku merindukan bibirnya, kupagut dan kulumat, sepertinya Gabriel memang lagi sange, dia langsung mengikuti ritme ciumanku, aku terbuai oleh ciumannya sehingga tak menyadari jika jari tangan Gabriel sudah melonggarkan dasi dan kancing kemejaku, tak lupa juga ikat pinggang dan juga celanaku ia pelorotkan setengah tiang. Aku terus melumat bibirnya yang memabukkan, tangan Gabriel sudah bergerilya di senapan angin di selangkanganku, memijitnya, memutarnya dan menarik pelatuknya, oh tuhan nikmatnya. Pagutan di bibir kami disudahi Gabriel, dengan buas ia menjilati putingku, ahh ... rakus sekali boboboiku pagi ini, dia menjilati putingku dan meremas dadaku yang tak sebesar ochobot, lidahnya terus menerus bermain disana, menggelitik dengan manja.

Sedang asyik bercinta, terdengar ada beberapa suara di luar sana, suara itu bercengkrama, sangat lama, bodoh, apa yang dilakukan orang orang di luar bilik toilet, menganggu saja.

Gabriel menempelkan jari telunjuknya di bibirku, ia membisikkan kalimat yang dulu sempat kubisikkan juga di telinganya, "jangan berisik" ujarnya, lalu berlutut menghisap batangku.

Oh fuck, bagaimana bisa aku tidak meracau, ini sebuah kenikmatan yang harusnya aku utarakan pada dunia, tapi sepertinya harus kutunda terlebih dahulu, karena suara suara di luar sana masih terdengar jelas di telinga, ah ... manusia terkutuk, ganggu kegiatan ngentotku saja. Aku membekap mulutku sendiri, bahkan kugigit dasiku demi mengurangi erangan dan desahanku akibat menahan nikmat saat mulut kecil Gabriel melumat batang penisku, lidahnya menjulur seperti seekor kucing yang menjilat susu di dalam mangkok, lidah Gabriel berputar mengelilingi setiap inchi kejantananku, ohhh ghost ... emppphhhh.

Mulutnya terus bergerilya di bawah sana, dengan gerakan maju mundur, menghisap dan melumat, lalu menyedot kejantananku membuat pipinya mengempot dan sengaja melepaskan kejantananku dengan sedikit menariknya, aahh ... apa-apaan ini, kenapa dia semakin lihai, apa ia kuliah lagi dengan jurusan manajemen administrasi perkontolan, bukannya jurusan itu tidak ada, yang sering kudengar manajemen perkantoran.

Aku semakin menahan desahanku dengan membekap mulutku lebih kuat, sial, kenapa semakin hari bukannya bosan, aku malah semakin tergila-gila dengan hisapan Gabriel. Sedikit demi sedikit, kukendorkan tanganku sendiri yang membekap mulutku, suara-suara manusia brengsek di luar sana sudah tak lagi terdengar.

"Ahh ... fuck" akhirnya aku bisa bernafas lega. "Aghh ... kenapa kamu makin jago sih, Riel" pujiku membelai rambutnya.

Gabriel tidak menjawab, ia malah memperlihatkan video di HPnya yang ia silent, disitu ada adegan laki-laki yang sedang mengulum batang laki- laki lain, sama seperti yang dilakukannya padaku, !ku menjadi tersentuh, apa Gabriel sengaja belajar lebih giat untuk memberikan servis yang lebih baik untukku, jika memang benar adanya, aku harus membalasnya dengan servis yang lebih baik pula.

Dengan iseng aku bermaksud merekam dan langsung mengirimkannya ke whatsappku untuk koleksi pribadiku bersama Gabriel. Aku membuka whatsapp Gabriel dan mencari kontakku, namun aku tidak menemukan namaku di kontak whatsapp Gabriel, apa dia tidak menyimpan nomerku, tapi tunggu dulu, aku melihat kontak dengan foto profilku, dan dikontaknya bertuliskan Cintanya Gabriel. Oh no, kenapa jantungku berdegup semakin kencang, kenapa aku malah merasakan cintaku padanya semakin kuat.

Aku tak kuasa melihat Gabriel yang masih dengan penuh perhatian menghisap kejantananku, seorang Ibra akhirnya menitikkan air mata, baru menyadari jika selama ini yang dilakukan Gabriel padaku adalah karena cintanya yang begitu besar, sedangkan aku tega memperlakukannya seperti ini, jahat sekali Ibrahim sialan ini.

Aku mengangkat tubuh Gabriel yang masih menghisap batang kejantananku, kusudahi kegiatannya, aku memeluk tubuhnya erat, sangat erat hingga aku tak ingin melepasnya lagi. Pria ini, pria di depanku ini, ah ... dia pria yang pantas untuk kuberikan cintaku, dia pria yang pantas untuk kuberikan bahagiaku, dia pria yang pantas untuk kuberikan separuh jiwaku, separuh hatiku, separuh hidupku. Oh tuhan, betapa teganya Aku.

Aku menangis di pelukan Gabriel, ia membelai punggungku dengan lembut, ia berusaha menenangkanku, tapi tangis penyesalan yang dipenuhi rasa bersalah tak bisa dengan mudah kuhentikan, apa-apaan aku ini, kenapa aku tak menyadari jika Gabriel melakukan ini bukan semata karena ajakan Teman Tapi Mengentod yang aku tawarkan, aku benar-benar gila, aku benar-benar jahat, aku memberinya rasa yang main-main, sedangkan ia memberiku rasa yang serius.

Aku sudah dibutakan nafsu, hingga tak bisa membedakan mana yang menawarkan cinta, dan mana yang menawarkan kesenangan semata, Ibrahim Yusuf Almuzakky bdoh, bodoh sebodoh-bodohnya orang bodoh, dungu, dan juga tuli, padahal selama ini hati kecilku juga mengatakan aku mencintai sosok yang ada di depanku, tapi kenapa aku malah mengalihkannya, kenapa aku malah mengusir rasa cinta yang kupunya, kenapa aku berusaha untuk menanamkan nafsu dan menepis rasa cinta, aku memang bajingan, Aku pantas disebut sialan.

"Ibra, kamu kenapa? hei, don't cry" tangan Gabriel merengkuh pipiku, jari- jari lembutnya berusaha menghapus air mataku.

"Maafin aku, Riel" lirihku dalam tangis.

"Untuk apa?"

"Karena aku melukai hati kamu" jawabku, "Riel, aku ... cinta sama kamu"

Aku tidak berbohong, dengan mantap dan keyakinan hatiku, aku harus mengatakan itu.

次の章へ