webnovel

Diomelin

"Kalau kamu membantah, saya akan potong 50 persen!" ketua Benny dengan tegas. Lalu ia melangkah pergi meninggalkan Bianca yang masih uring-uringan ketika mendengar ucapannya.

Bianca menatap kepergian Benny dengan tatapan tajam sampai membuatnya mengeraskan rahangnya sembari bergumam. "Duh ... kalau ceritanya jadi begini mendingan aku enggak usah calonkan diri jadi istrinya. Mana udah galak lagi, pakai ancam potong gaji lagi, rugi tampan galaknya ngalahin dosen killer!"

Ia terus saja menggerutu sampai dirinya ingin kembali ke kamar bayi kecil pun wajahnya sama sekali tidak terlihat senang. Tiba di dalam kamar itu, rasa kantuk pun menghampiri dirinya, namun ketika ia membuka pintu justru Bianca melihat Bibi Lena yang sudah ikut tertidur pulas bersama anak itu. Alhasil membuat dirinya bertambah rasa kesal.

"Udah tadi malah di omelin terus sekarang tempat tidurku malah di sita lagi, mana ini malam pertama. Dimana-mana malam pertama uwu-uwuan sama suami lah ini boro-boro ah." Bianca mengomel dengan suara sedikit pelan. Ia berniat untuk mengambil ponselnya itu, tapi dirinya begitu terkejut ketika melihat panggilan video dari Nick yang belum juga dimatikan.

Saat ia kembali mengambil ponselnya, Nick yang sudah begitu lama menunggunya itu terheran ketika melihat kepergian Bianca dengan tiba-tiba, sampai akhirnya Nick berkata dari dalam ponselnya. "Lagi ngapain sih? Dari tadi aku panggil-panggil malah kamu ngilang lagi."

"Huus kecilkan suaramu, nanti bisa-bisa aku di omelin lagi. Ya udahlah di luar nanti kita lanjut ngobrol ya aku mau keluar dari kamar dulu."

"Loh, keluar dari kamar? Lah ngapain kan kita bisa video call di kamar aja enggak harus kamu keluar. Udah tengah malam juga, mendingan sekarang rebahan terus nanti bisa langsung tidur deh kalau ngantuk," ucap Nick yang semakin kebingungan ketika melihat Bianca.

"Udah diem dulu nanti aku cerita," jawab Bianca sembari keluar dari kamar itu.

Dirinya terpaksa memilih tidur di sofa ruang tamu karena sudah tidak memiliki kasur untuk ia tempati. Meskipun kediaman itu memiliki banyak kamar tetapi dirinya tidak berani akan hal itu. Ketika sudah sampai, Bianca kembali menghidupkan kameranya, sebab tadi sudah ia matikan di saat ia berjalan ke sana.

Nick tidak berkata apapun justru ia sedang mengamati tempat yang sekarang Bianca duduki.

"Eh, bentar deh kamu kok di ruang tamu? Kalau emang karena kita video call terus takut ketahuan sama suamimu itu ya udah aku bisa pahami, Bianca. Tapi bentar deh, enggak mungkin kan kalian satu kamar?" Raut wajah Nick terlihat cemas.

Bianca berkali-kali menggelengkan kepalanya sembari berkata. "Enggak sama sekali, mana mungkin bos yang terhormat itu mau tidur sama office girl kaya aku, yang ada dia nanti jadi alergi. Apalagi barusan aku abis di omelin tahu."

"Lah emangnya kamu buat apa? Baru juga tadi nikah," ejek Nick dengan menahan senyumnya.

"Ihh ... jangan ketawain! Tadi itu aku enggak sadar tuh pas kita ngobrol suaraku besar banget, ya deh anaknya jadi bangun terus nangis, dan sekarang aku harus tidur di sofa. Emang sih ini kemauan ku cuma kan enggak mungkin juga aku tidur di lantai," curhat Bianca. Kebiasaannya yang sering curhat dengan memanyunkan bibirnya itu sungguh membuat Nick di dalam ponsel terlihat gemas, dan berasa ingin lanjut mencubitnya.

"Lebay banget suamimu gitu aja langsung marah. Udahlah, Bianca. Mendingan kamu minta cerai aja sama dia terus nanti ikut kerja bareng aku di club. Jadinya lumayan kita bisa curhat kapan aja, meskipun emang sih gajinya enggak segede sama suamimu," ucap Nick memberikan solusi yang tidak menguntungkan menurut Bianca sendiri.

"Enggak ah, kayaknya aku harus bertahan deh di sini sampai lima tahun mendatang, soalnya gaji di sini lumayan. Supaya aku bisa jalan-jalan dan memanjakan diriku. Lagian cuma lima tahun, jadi umurku enggak tua-tua banget lah buat mikirin jodoh yang pasti," sahut Bianca dengan ceria sembari menghayal apa yang ia inginkan.

Namun hal itu membuat Nick sedih lantaran Nick berpikir jika waktu lima tahun itu bukanlah waktu yang singkat, raut wajah Nick sampai berubah total, lalu ia menjawab dengan mencoba tersenyum seikhlasnya. "Ya sudah aku ikut senang kalau memang kamu bahagia dengan gaji mu, tapi kalau nantinya kamu mau ikut aku kerja di sini, aku bakalan siap menerimanya."

"Iya, Nick. Kamu tenang saja yang penting aku selalu mau curhat sama sahabatku yang satu ini, ya udah ah aku ngantuk nih. Aku tutup ya video call nya."

"Okay cantik, selamat tidur ...."

Bianca merasa lebih tenang setelah ia mengutarakan apa yang dirinya rasakan kepada sahabatnya itu. Lalu ketika ia ingin bangkit menuju ke kamar mandi yang berada di dapur, betapa ia terkejut saat melihat Benny yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Um ... Pak! Kok dibelakang sih? Jangan nakut-nakutin ah udah malem tahu," tanya Bianca yang masih mencoba untuk mengatur nafasnya.

"Kamu yang di sini ngapain? Asyik pacaran aja ... apa tadi saya suruh jagain anak saya kan? Terus ngapain di ruang tamu bukannya masuk ke kamar," ketus Benny seraya melipatkan kedua tangan di dadanya.

"A-anu, Pak. I ... itu sebenarnya saya mau masuk ke kamar cuma enggak tahu tidurnya di mana karena Bibi Lena udah ketiduran sama Berlin," jawab Bianca dengan gelagapan.

"Oh ... begitu, ya sudah terserah kamu mau tidur di mana di sini pun enggak apa-apa," sahut Benny. Tanpa mengajak untuk tidur bersama, Benny langsung melangkah pergi meskipun Bianca belum menyahut ucapannya.

Ketika melihat Benny pergi dari hadapannya, Bianca menghentakkan kakinya dengan perlahan. Ia begitu kesal ketika menatap pria itu berlalu pergi begitu saja tanpa mengajaknya untuk tidur bersama. Hal itu membuat batinnya berkata. 'Tahan ... Bianca, tahan. Demi uang ingat demi uang.'

Kemudian, Bianca mengambil posisi untuk segera tertidur, tapi sialnya sudah semalaman ia tidak bisa tertidur pulas, pertama karena dirinya tidak memeluk bantal guling yang selama ini menemaninya ketika tertidur. Kedua, dirinya tidak begitu bisa tidur di tempat yang sempit meskipun memang tempat tidurnya tidak begitu besar, hanya saja tidak sekecil sofa. Lalu ketiga, lampu ruang tamu yang masih menyala di tempat itu benar-benar membuatnya kesusahan, sebab ia sudah terbiasa tidur dalam kegelapan.

Hampir jam tujuh pagi pun ia masih membolak-balikkan tubuhnya, lalu tiba-tiba siraman air berhasil membuatnya terkejut.

"Jam segini masih tidur. Bianca, bangun! Kau tahu kan saya harus kerja cepat, dan sekarang anak saya itu sedang menangis ya. Kamu ini gimana sih katanya bisa ngurus anak, tapi bangun aja kesiangan begini. Coba aja kalau enggak ada Bi Lena enggak tahu jadinya saya," ketus Benny sembari memegangi segelas air di tangannya.

次の章へ