Di kafe.
Jam telah menunjukkan pukul 22.00 waktunya untuk tutup kafe dan pulang. Ameera sedang menggeletakkan kepalanya di meja kasir sambil memainkan ponsel dan menggumamkan sebuah lagu dari artis lokal kesukaannya.
Neandro telah membereskan semua meja, dia juga telah memasang label 'Tutup' di pintu mereka. Neandro tidak mengganggu Ameera, dia menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa banyak bicara.
"Ayo! Aku akan mengantarmu pulang." Neandro mengenakan jaket kulitnya dan memungut helm di atas meja.
"Ah tidak usah. Aku sudah memesan ojek online. Kakak pulang saja duluan, aku hanya perlu menunggu sebentar." Ameera menunjukkan ponselnya pada Neandro. Dia juga telah bersiap untuk pulang sekarang.
"Kakak ada janji kan sama Raina, mendingan kakak cepet temui dia karena ini sudah malam."
Neandro memandangi jam tangannya, 22.15.
Ragu sejenak, Neandro berpamitan dengan Ameera dan menyuruhnya untuk jaga diri baik-baik. Dia segera melaju menuju rumah kekasihnya dan pergi ke department store untuk makan dan kencan.
Daisy yang sudah menunggu cukup lama hanya cemberut saat Neandro tiba di depan rumahnya. Tanpa berbasa-basi, Neandro memasangkan helm untuk kekasihnya itu. Dia sempat memandangi wajah Daisy beberapa saat sebelum menepuk helm yang kenakannya membuat Daisy semakin cemberut dan kesal.
"Beruntung papa sedang sibuk di luar kota, mama juga sedang di rumah kakek. Mereka akan melarangku pergi jika di rumah," gerutu Daisy.
"Apa kamu meminta ijin kepada mereka?" tanya Neandro yang telah kembali melaju di jalanan.
"Tentu! Tapi ini sudah terlalu larut, mereka bilang mereka akan menggantungmu jika kembali mengajakku keluar di jam malam seperti ini!"
Neandro tertawa, namun Daisy tidak dapat melihatnya. Dia hanya sedikit mengelus tangan kekasihnya yang memeluknya dari belakang.
Sementara itu, Ameera telah pulang ke rumah. Dia hendak merebahkan tubuh setelah minum air mineral, namun pandangannya terarah pada sebuah payung yang tersandar di dekat meja di dapur membuatnya mengingat sesuatu.
Segera dilihatnya jam dinding, dia merasa waktunya sangat sesuai dengan kemarin saat mereka bertemu di halte. Ameera kembali memesan ojek online menuju halte karena jaraknya yang cukup membuatnya lelah jika hanya berjalan kaki.
Belum sempat berganti pakaian, perempuan itu hanya mengganti jaket yang ia kenakan sebelumnya. Kini dia mengenakan yang warna maroon, warna kesukaannya setelah hitam, putih, dan navy.
Dia berjalan dengan bertongkat payung, sesekali dia memainkannya seperti sedang berperang dengan pedang. Dia tidak berhenti tepat di halte, masih perlu berjalan beberapa meter untuk menujunya.
Dari kejauhan dia dapat melihat seorang lelaki yang mengenakan celana pendek dan hoodie dengan ukuran besar berwarna kuning sedang berdiri di halte. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong, kini dia tidak mengenakan topi juga tidak memasang tudung hoodienya, sangat jelas rambutnya berwarna coklat yang sedikit mengkilap karena terkena cahaya lampu.
Cukup jelas pula dilihat oleh Ameera kalau lelaki itu baru saja tertawa sebelum menoleh pada arah datangnya. Hal itu membuat Ameera sedikit bingung, namun ia tetap melanjutkan langkahnya mendekat.
"Anda tertawa padaku?" tanyanya saat ia telah tiba di halte.
"Tidak." Ekspresi lelaki itu berubah drastis. Sama sekali tidak ada senyum, bahkan tatapan matanya terlihat sangat tajam.
"Oh kalau begitu apakah ada yang lucu di sekitar sini?" Ameera clingukan, mencari apa yang kemungkinan dapat membuat lelaki itu tertawa. "Hanya jalanan kosong," gumam Ameera. Dia menoleh sedikit kepada lelaki itu, mereka hanya saling bertatap beberapa saat sebelum akhirnya Ameera merasa sangat canggung.
Ameera mengalihkan pandangannya, segera saja dia menyerahkan payung hitam kepada pemiliknya.
"Ini, Tuan. Terimakasih," ujarnya seraya menyerahkan payung itu.
"Untukmu saja, aku sudah tidak membutuhkannya."
Dingin sekali, pikir Ameera. Bahkan sikap dingin Neandro masih dapat dia hadapi dengan tenang.
"Anda mungkin akan membutuhkannya nanti saat hujan. Sekarang langitnya sedang cerah, jadi anda belum membutuhkannya."
Sial, Ameera merasa lidahnya terbelit hingga mengatakan hal yang agak rumit untuk dicerna.
"Sudah kubilang untukmu saja. Sebentar lagi akan turun hujan," ujar lelaki itu lagi.
Ameera menatapnya tanpa eksresi. Dia kembali memperhatikan langit yang sangat cerah dengan jutaan bintang yang bertabur dengan indahnya. Ia sedikit mengerucutkan bibirnya, menggerutu tidak jelas karena jawaban tidak menyenangkan dari lelaki ber-hoodie kuning.
.
.
Barra memandangi perempuan yang berdiri di sampingnya. Nampak lelah namun tetap ceria seperti saat ia bertemu siang sebelumnya. Masih dipandangi, tingginya tidak lebih dari dagunya, tubuhnya cukup berisi sehingga ia tidak dapat menyebutnya mungil. Sikapnya masih mengenanak, baginya. Namun dia juga melihat ada sisi yang lain, dewasa juga sangat ramah.
Barra sebelumnya sedang bersama dengan Gavin, seniornya. Mereka baru selesai minum di apartemen milik Barra. Mulanya ia menolak kehadiran seniornya itu, namun bukan Gavin namanya jika dia tidak mengeyel dan datang dengan tiba-tiba hingga membuat Barra membatalkan pertemuannya dengan seseorang malam ini.
Gavin datang membawa banyak minuman kaleng juga mie instant. Entah sejak kapan dia menjadi sangat menggemari makanan instant kesukaan manusia itu. Dia bahkan membawa beberapa butir telur juga sebotol saus sambal.
"Apa kamu tahu bagaimana cara memakannya?" tanya Gavin dengan memutar telur dengan porosnya.
"Kakak tidak tahu? Kenapa kamu membawanya kemari?"
"Ah ini, pelayannya bilang kalau ini akan menambah cita rasa jika dimasak bersama dengan mie instant," ujarnya dengan mempraktekan gaya bicara pelayan mini market.
Barra hanya mehela napas panjang, menyebalkan sekali memang jika ada tamu yang merepotkan.
"Kamu tidak bisa memasukannya begitu saja ke dalam cup. Kamu harus memasaknya di kompor, seperti ini." Barra bangkit dari duduknya dan segera menuju dapur untuk menyalakan kompor dan memasak untuknya juga seniornya.
"Oh begitu. Kukira kita dapat memakannya tanpa harus memasak atau semacamnya. Seperti buah namun kulitnya bercangkang." Gavin masih memperhatikan telur itu dengan seksama.
"Hemm," sahut Barra tidak bersemangat. "Kenapa kakak tidak pergi ke tempat Nao saja? Dia adalah pengangguran saat malam."
"Kamu kesal? Kamu tidak menyukai kehadiran kakakmu ini? Apa kamu sudah tidak ingin kubantu? Apa kamu sudah bisa melakukan semuanya sendiri? Hah? Apa kamu pikir kamu sudah cukup mandiri untuk menjalani hukuman ini?"
Huhh
Barra mehela napas berat. Kepalanya mendadak pening saat mendengar ocehan seniornya itu.
Brk
Barra meletakkan piring berisikan mie instant lengkap dengan telurnya di atas meja dengan kasar. Sengaja agar Gavin tidak banyak bicara.
"Whoah apa ini? Kamu marah padaku? Sangat tidak sopan!"
"Ststt … makanlah, ini akan membuatmu merasa baik," Barra menatap seniornya itu dalam-dalam. Dia kemudian memberikan sendok dan garpu untuk Gavin agar segera makan.
"Pintar sekali kamu memberiku ini agar aku tidak marah lagi …," ocehnya. Gavin segera memakan makanannya itu dengan sebelumnya meniup perlahan karena masih sangat panas.
Barra hanya menyaksikan kakaknya itu makan, dia meminum sekaleng minuman berakohol yang tadi dibawa oleh Gavin. Dia tidak minat untuk makan, hanya dengan kehadiran seniornya dia sudah tidak lagi memiliki selera untuk makan.
.
.
***