Barra sedang berdiri di halte, ini pertama kalinya dia berdiri di keramaian manusia. Walau mereka tidak dapat melihatnya, dia tetap saja merasa risih dengan semuanya.
Dia sudah mempertimbangkan keputusanya untuk mulai menabung poin kecil kejahatan. Hanya tinggal sembilan puluh empat kejahatan lagi, itu tidak sulit pikirnya.
Dia melihat seorang perempuan membawa tas dengan resleting yang sedikit terbuka menampakkan isinya yang berupa dompet dan beberapa barang penting lainnya. Dia mulai membisikan kejahatan pada seorang pria yang berdiri di dekat perempuan tersebut. Barra komat kamit, menyampaikan pesannya pada jiwa pria itu untuk mengambil semua barang si tas perempuan itu.
Namun sayang, misi gagal. Seorang perempuan muda datang dan memberitahu si pemilik tas untuk segera menutupnya karena itu bahaya.
"Wah ternyata ini rusak. Terimakasih ya mba, hampir saja." Perempuan tadi segera memindah posisi tas ranselnya itu menjadi di depan tubuhnya.
Lelaki itu hanya berdecak kesal, sama seperti yang baru dilakukan Barra. Hanya poin satu, namun itu cukup menyulitkan bagi Barra.
Tidak lama setelahnya, sebuah bis datang dan segera membawa semua penumpangnya. Barra hendak ikut naik namun dia mengurungkan niatnya itu saat melihat banyaknya penumpang bis itu.
Huhh .…
Barra kembali meyakinkan diri untuk fokus menyelesaikan hukumannya.
Sepi. Hanya tinggal dirinya sendiri di halte.
Namun telinganya samar mendengar seorang perempun sedang berbicara dengan ponselnya, duduk di halte dekat dengan tempatnya berdiri. Dia mengacuhkannya, tidak berminat sama sekali untuk menggoda perempuan itu untuk melakukan kejahatan.
Jaket universitas, penampilan sangat menunjukkan kalau dirinya adalah manusia yang baik. Dia sama sekali tidak masuk ke kriteria sasaran Barra untuk menjalankan misinya.
"Permisi, Tuan."
Barra menengadah, ia berharap matahari menjadi semakin terik dan menambah energinya untuk hari ini. Cuaca mendung beberapa terakhir membuatnya cukup resah. Walau ada banyak kesempatan untuknya untuk menggoda manusia berbuat kejahatan, namun energinya sangat mudah berkurang karena dia kekurangan api.
"Permisi, Tuan."
Barra kembali mendengar suara itu. Dia memutuskan untuk menoleh. Betapa terkejutnya dia saat mendapati perempuan tadi, si mahasiswi yang tidak termasuk kategori sasarannya, sedang berdiri di sampingnya dengan senyum yang merekah.
Apa ini? Bisiknya dalam hati. Dia berkedip beberapa kali untuk memastikan kalau pandangannya tak salah, namun perempuan itu mengangguk perlahan dan kembali tersenyum padanya.
"Kamu bicara denganku?" tanyanya ragu. Kembali mengedipkan matanya berkali-kali, sosok perempuan itu tetap berdiri di depannya. Ini nyata, pikirnya lagi.
"Tentu," sahut perempuan itu, Ameera.
"Anda yang meminjamkanku payung kemarin malam, kan? Aku mengingatnya karena anda mengatakan untuk mengembalikannya di halte," kata perempuan itu tadi. Barra masih mengernyitkan dahi, ekspresinya sungguh sedang tidak baik, dia bingung dengan dirinya sendiri.
Dia sungguh dapat melihatku? Apa dia seorang cenayang? Atau penyihir?
"Maaf, tuan. Aku sedang tidak membawanya sekarang. Jika tidak keberatan, aku akan mengembalikannya nanti malam sepulang kerja. Apa anda akan ke halte di jam sepuluh atau sebelas malam?" tanya perempuan itu dengan senyum yang menampakkan lesung pipinya yang kecil.
Eghemm … Barra berdiri tegap, segera merapikan setelan hitamnya agar nampak berkarakter. "Kurasa begitu," sahutnya dengan tak begitu minat.
"Ehm, kalau begitu sampai jumpa nanti malam. Oiya, kalau boleh tahu nanti malam anda berada di halte mana? Disini atau di halte yang kemarin malam, di dekat lampu merah tengah kota?"
"Disini," jawab Barra tanpa pikir panjang.
"Baiklah, Tuan. Aku sekali lagi berterimakasih karena telah memberiku bantuan, mungkin itu tidak seberapa bagi anda tapi aku sangat menghargainya."
Dia cerewet sekali, pikir Barra mulai geram. Dia hanya melirik perempuan itu tak tertarik.
"Ah dia ini …," perempuan itu mendapat sebuah telpon, membuatnya segera undur diri dan meninggalkan Barra dengan sedikit lambaian tangan.
Huhh!
Barra mehelakan napas panjang dan dalam. Dia masih termenung. Kesalahan apa lagi yang dia perbuat dulu? Hukuman macam apa lagi ini?
Bagaimana bisa dia dapat dilihat oleh manusia bahkan di tengah hari yang sangat terik?
Barra menggaruk tengkuknya yang sama seali tidak gatal. Ia juga memijat keningnya beberapa saat sebelum menyeberang untuk pergi mencari sasaran yang lain.
Sementara itu, Ameera baru selesai menelpon seorang calon kliennya yang hendak menyewanya selama dua hari di akhir pekan. Seorang pengusaha muda pemula yang hendak membawa calon istri untuk diperkenalkan pada keluarganya.
"Ah dia ini cukup merepotkan. Bagaimana bisa dua hari penuh begitu. Mana dia minta diskon, padahal seharusnya aku mendapat bonus untuk ini," gerutunya sesaat setelah telpon itu mati.
Sejenak dia menyadari kalau sosok pria berpakaian serba hitam yan ia ajak bicara tadi telah pergi.
"Yah padahal belum sempat berkenalan," gumamnya. Seketika dia tersenyum. "Dia manis. Tapi auranya sangat berbeda. Jika saja dia menyewaku, aku akan bersedia walau aku tidak tahu tentang latar belakangnya, hihihi," imajinasi Ameera mulai tidak terarah.
Segera saja dia memukul keningnya untuk menyadarkan diri. Dia terus saja bergumam kesal karena kini terlalu mudah menilai seorang pria tampan. Walaupun dia sama sekali tidak tertarik, namun dia masih berkesempatan untuk menarik perhatiannya, siapa tahu dia membutuhkan kekasih sewaan. Begitu pikiran Ameera.
Ameera melihati jam tangannya memastikan kalau dirinya tidak akan terlambat menuju kafe karena dia akan bertemu dengan seseorang yang selama ini dia tunggu-tunggu. Wah hanya dengan membayagkannya saja Ameera sudah girang.
Sementara itu di lain tempat, yaitu di kafe milik keluarga pak Deehan. Seorang lelaki sipit dengan tubuh yang tidak lebih tinggi dari Neandro, potongan rambutnya undercut dengan bagian depan sedikit lebih panjang dan berwarna pirang, sedang duduk menikmati smootie yang dibikinkan oleh si pemilik kafe.
Dia mengenaan kemeja berwarna abu dengan kedua lengannya yang digulung, menampakkan lengannya yang kuat karena dia cukup rajin berolah raga akhir-akhir ini.
Teza Tristan.
Ia masih merasakan sedikit pusing karena kurang tidur. Setelah tiba di bandara pukul sembilan malam kemarin, dia kembali menjemput seseorang yang menyusul sekitar pukul sebelas malam. Bukan kejutan, hanya saja mereka memiliki jadwal kerja yang sama-sama padat hingga harus pergi di jam dari kota keberangkatan yang berbeda.
Hanya tidur beberapa jam, dia kembali terjaga saat dini hari untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Paginya, dia pergi ke panti asuhan dengan ditemani oleh Neandro sebelum masuk jam kuliah. Lalu sekarang, dia telah berada di kafe duduk manis sebagai seorang pelanggan yang spesial.
Teza membuka ponselnya, untuk beberapa saat dia memandangi kembali jam yang tergantung di dinding dekat lukisan abstrak di dekat pintu masuk.
Neandro yang mengetahui kegelisahan kakaknya itu hanya tertawa kecil. "Kamu menunggunya?" tanyanya.
"Hemm, bukannya ini sudah jamnya masuk kerja? Kenapa dia sangat terlambat?" ujarnya kembali menikmati smootienya.
"Dia akan datang sebentar lagi. Dia sedang mampir ke suatu tempat."
***