webnovel

Sadness

Christian baru melepaskan tangannya dari lengan Elena saat mereka tiba di depan kamar Elena, dengan kasar Christian mendorong Elena ke pintu kamarnya. Menahan kedua pundak gadis itu menggunakan kedua tangannya.

"Lain kali gunakan matamu untuk melihat jalan," ucap Christian dingin. "Jangan buat aku malu lagi."

Tanpa menunggu reaksi Elena, Christian langsung melepaskan cengkraman di pundak Elena dan pergi meninggalkannya begitu saja menuju kamarnya yang berada tepat di depan kamar Elena. Kainer yang berdiri tidak jauh dari kamar Elena menghela nafas panjang, perlahan dia melangkahkan kakinya mendekati Elena.

"Sebenarnya apa yang sudah kau lakukan, Elena?"

"Aku tidak sengaja menabrak orang itu, Kainer," ucap Elena lirih. "Aku juga tidak membawa apa-apa ditanganku, entah kenapa tiba-tiba saja lelaki itu melepas jas yang dipakainya dan mulai memaki-maki aku padahal aku sudah minta maaf kepadanya."

Kainer menaikkan satu alisnya. "Kau sudah minta maaf dan laki-laki itu masih marah-marah seperti itu?"

Elena mengangguk pelan, wine yang masih tersisa di kepalanya Kembali menetes membasahi bajunya. Melihat betapa kacau kondisi Elena saat ini, Kainer memutuskan menyudahi percakapannya.

"Baiklah sekarang kau masuk ke kamarmu dan bersihkan dirimu, kau benar-benar kacau, Elena."

Pipi Elena memerah mendengar perkataan Kainer, malam ini Elena benar-benar sukses menjadi bahan tertawaan banyak orang. Tanpa berani mengangkat wajahnya, Elena membalik tubuhnya dan menempelkan kunci kamarnya pada sensor. Ketika akan masuk, Kainer tiba-tiba menahan pintu kamarnya.

"Ada apa lagi?" tanya Elena lirih.

"Apa kau ingat siapa nama lelaki tadi?"

Elena mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat nama pria yang baru saja mempermalukannya. Sangat sulit rasanya, mengingat betapa kasarnya lelaki itu. Cara bicaranya sungguh tidak menunjukkan kalau dia sedang marah pada seorang wanita.

"Kalau tidak ingat tidak usah dipaksa, Elena. Aku hanya…"

"Areez." Elena memotong perkataan Kainer. "Tadi pria berkacamata yang berdiri dibelakang lelaki pemarah itu memanggilnya dengan nama Areez."

Kedua alis Kainer terangkat. "Areez."

Elena mengangguk pelan. "Iya, hanya itu yang aku ingat."

Bibir Kainer menipis. "Baiklah kalau begitu, kau boleh istirahat, Elena. Tapi, sebelum itu kau harus membersihkan tubuhmu terlebih dahulu. Kau benar-benar terlihat…"

"Menjijikan?"

Kainer langsung menggerakkan kedua tangannya, panik. "Tidak, siapa bilang? Kau masih cantik meskipun sedikit berantakan, tapi percayalah Elena, saat ini kau…"

"Terima kasih Kainer, terima kasih masih mau menghiburku," ucap Elena serak memotong perkataan Kainer dengan air mata yang sudah berkumpul di kedua matanya. "Aku masuk sekarang, selamat malam."

Kainer tidak berkata apa-apa, dia masih menatap pintu kamar Elena yang baru saja ditutup tepat didepan matanya. Kainer tidak bermaksud untuk menambah luka pada Elena, karena sadar tidak bisa melakukan apa-apa Kainer pun memutuskan untuk Kembali ke kamarnya. Hari ini benar-benar menjadi hari panjang yang melelahkan.

Begitu menutup pintu kamarnya dengan kasar, Elena tidak langsung pergi ke kamar mandi. Dia masih berdiri dibalik pintu yang baru ditutupnya itu dengan kepala tertunduk, Elena bisa melihat jelas tetesan wine turun dari rambut panjangnya yang saat ini sudah mirip seperti kain pel. Lengket dan sangat bau, pantas jika sebelumnya Christian menyebutnya kacau. Dada Elena terasa sangat sesak.

Setelah merasa lebih baik, Elena lantas menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Ketika sampai di depan kaca besar, Elena menghentikan langkahnya. Kedua mata coklatnya menatap nanar ke arah kaca yang menampilkan keadaannya yang berantakan. Dipermalukan didepan umum, dihina dan direndahkan. Malam ini akan menjadi malam yang tidak terlupakan untuk Elena.

Menggunakan kedua tangannya, Elena menyeka air mata yang baru saja membasahi wajahnya yang sedikit pucat. Beruntung Elena menggunakan make up waterproof, kalau tidak mungkin saja keadaannya akan lebih kacau dari saat ini karena make up-nya luntur. Saat akan melangkah menuju shower, secara tidak sengaja Elena melihat gunting didekat tumpukkan handuk bersih yang disiapkan petugas hotel. Tanpa pikir panjang Elena segera meraih gunting itu dan membawanya menuju shower, Elena membiarkan seluruh tubuhnya basah dengan air hangat yang turun bak hujan dari shower yang berada diatasnya.

Elena yang masih menunduk bisa melihat jelas sisa-sisa wine yang menempel di tubuhnya tersapu air, begitu merasa rambutnya bersih dari wine mahal yang disiramkan Areez kepadanya perlahan Elena mengangkat tangannya yang menggenggam gunting ke udara. Elena terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Maafkan aku Mom, Dad."

****

Mansion Areez, Auckland.

"Nona…Nona Mira..bangun Nona.."

"Nona Mira…"

Sudah hampir sepuluh menit suara para pelayan di depan kamar Suri mencoba membangunkan Suri yang sebenarnya belum tidur, malam pertama tanpa Areez membuat Suri bahagia. Karena itu sejak sore dia menghias kukunya dengan cat beraneka warna seorang diri tanpa bantuan siapapun.

"Nona…"

Kedua alis Suri terangkat, kesabarannya habis. Setelah melempar bantalnya ke ujung ranjang, Suri segera bangun dari ranjang besarnya dan segera berjalan ke arah pintu.

"Ada apa lagi? Tidak bisakah aku merasakan kedamaian dirumah ini?" bentak Suri dengan keras tepat di depan wajah empat orang pelayan yang wajahnya terlihat pucat.

Salah satu pelayan yang tertua melangkah kedepan, mendekati Suri. "T-tuan Areez ingin berbicara dengan anda, Nona." Dengan tangan sedikit bergetar pelayan itu mengangkat sebuah benda berbentuk persegi Panjang dengan logo buah apel tergigit. Sebuah ponsel!

Kedua mata Suri berbinar, terlihat senang. Setelah tiga tahun akhirnya kesempatan itu dating, namun belum sempat Suri mengambil ponsel itu secara mengejutkan terdengar suara batuk seorang pria yang berasal dari ponsel yang tengah dipegang pelayan itu. Ketika Suri mencoba melihat lebih teliti tiba-tiba terdengar suara tawa dari ponsel itu, suara tawa seorang pria yang sangat Suri benci Areez Floyen. Si monster tanpa hati yang sudah mengurungnya bertahun-tahun tanpa ada alasan yang jelas.

"Jangan berharap terlalu besar, Mira. Begitu aku selesai bicara denganmu, ponsel itu tidak akan bisa digunakan karena aku sudah mengaturnya dari sini," ucap Areez lantang dari ponsel yang masih berada ditangan pelayan.

Suri menyipitkan matanya, terdiam tanpa melakukan apa hingga akhirnya secara tiba-tiba Suri meraih ponsel berwarna hitam itu dari tangan sang pelayan.

"Aku membencimu Areez Floyen, lebih baik kau pergi dan tidak usah menunjukkan wajahmu lagi dihadapanku! Pergilah kau ke ujung dunia berteman dengan pinguin dan plankton di kutub utara." Karena terlalu marah Suri sampai salah bicara, pinguin hidup di kutub selatan bukan di kutub utara.

Prank…

Suri membanting ponsel itu ke lantai penuh emosi, dalam sekejap ponsel mahal itu terlihat seperti sampah karena tidak bisa digunakan lagi. Dada Suri naik turun, menunjukkan betapa marah dirinya saat ini. Areez, meskipun laki-laki itu tidak disampingnya tapi tetap saja dia masih bisa membuatnya begitu marah.

"Pergi kalian dan jangan ganggu aku sampai besok," bentak Suri keras pada pelayan yang tidak bersalah itu. "Jika besok si beruang kutub itu menelfonku lagi katakan padanya aku sudah mati!"

"Nona.."

"Jangan bicara begitu Nona, itu tidak baik."

Pipi Suri memerah, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Tidak, dirinya tidak boleh mati sekarang. Dia harus pulang bertemu dengan keluarganya di Jenewa, Suri yakin sekali saat ini ibunya pasti sangat menderita karena kepergiannya.

"Nona…"

"Pergi!! Cepat pergi dari hadapanku dan jangan menggangguku lagi!" jerit Suri kembali dengan air mata yang sudah mengucur deras dari kedua mata birunya, setiap mengingat ibunya di rumah Suri pasti menangis. Suri benar-benar merindukan ibunya, wanita anggun yang sudah mewariskan kecantikan luar biasa kepadanya. Kecantikan yang membuatnya harus terpenjara dalam kekuasaan Areez Floyen.

Tanpa diperintah dua kali para pelayan itu segera pergi dari hadapan Suri, setelah tidak ada siapa-siapa didekatnya Suri menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Membiarkan air matanya keluar dengan deras, Suri menangis keras di tengah malam yang mencekam di mansion Areez yang dingin seperti pemiliknya yang tidak memiliki nurani.

Bersambung

次の章へ