Ya Allah, aku ingin bertemu mereka. Setidaknya berikan aku kesempatan memeluk mereka untuk terakhir kalinya. Dada Gladys terasa sakit saat ia memikirkan hal tersebut.
⭐⭐⭐⭐
"Princess... Princess... Sayang, bangun sayang." Gladys mendengar suara dari kejauhan memanggil namanya, namun ia tak melihat siapapun. Itu suara mas Banyu. Tapi kenapa aku nggak bisa lihat dia. Apakah dia ada di luar kamar? Walaupun suaranya terdengar jauh tapi aku bisa merasakan kehadirannya di dekatku.
"Mas... mas Banyu... mas .... !" Gladys berusaha berteriak memanggil Banyu namun hanya bisikan yang mampu bibirnya keluarkan.
"Ndhuk... " Terdengar suara eyang Tari menyapanya.
"Eyang?" Terlihat eyang Tari tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Eyang, maafin Adis. Maafin Adis!" Gladys ingin menjelaskan kenapa ia tak bisa pulang menghadiri pemakaman eyang Tari namun tak ada kata-kata lain yang sanggup ia ucapkan.
"Ssstt.. Rapopo ndhuk. Eyang mengerti dan eyang tidak marah sama kamu."
Gladys hanya mampu menangis sambil terus meminta maaf. Gladys dapat merasakan tepukan di punggungnya. Rupanya Pramudya yang melakukan itu.
"Om Pram.. maafin Adis .."
"Kamu nggak usah minta maaf. Walau membutuhkan waktu dan om nggak bisa menghadiri pernikahan kalian, setidaknya kalian telah mewujudkan impian om. Ingat, aku ini ayah mertuamu. Jangan lagi menyebutku om."
"Om.. A-ayah?" Pramudya mengangguk dan memeluk Gladys dengan hangat.
"Ndhuk, kami bahagia melihatmu dan Banyu akhirnya bersatu."
"Eyang dan ayah nggak marah karena Adis tidak hadir saat kalian..... " Keduanya menggeleng sambil tersenyum. Bahkan bayi dalam pelukan eyang Tari pun seolah mengerti kehadiran Gladys. Bayi itu tak lagi menangis. Bayi cantik itu tertidur lelap dalam dekapan eyang Tari.
"Eyang, bolehkah Adis memeluknya sebentar saja?" Suara Gladys tersendat saat melihat bayi mungil itu. Eyang menyerahkan bayi itu pada Gladys. Seolah mengetahui dirinya berada dalam dekapan sang bunda, bayi mungil berparas cantik dengan bulu mata yang lentik itu tersenyum bahkan terlihat nyaman bersandar dalam pelukan Gladys. Air mata Gladys menetes saat memeluk erat malaikat ciliknya.
"Maafkan bunda tak bisa menjagamu, nak. Maafkan kami tak sempat menjadi orang tua yang baik untukmu, Princess Mifra Afsari," Gladys terisak saat membisikkan nama itu di telinga malaikat ciliknya. "Allah lebih menyayangimu. CintaNya kepadamu melebihi cinta kami padamu."
Hati Gladys diliputi kebahagiaan sekaligus kesedihan saat memeluk erat tubuh putri mungilnya. Ada rasa tak rela saat eyang Tari mengulurkan tangan hendak mengambil bayi itu.
"Eyang... biarkan Adis memeluknya sebentar lagi. Adis masih ingin menjaganya sebentar saja."
"Ndhuk, semakin lama kamu memeluknya semakin berat kamu melepaskannya. Kamu harus ikhlas. Biarkan dia berada dalam dekapanNya."
"Kalau begitu biarkan Adis ikut bersama kalian. Adis tak ingin dia sendirian."
"Nak Adis, putri mungilmu ini takkan sendirian. Ada Allah yang menjaganya."
"Tapi ayah, bagaimana kalau nanti dia menangis, bagaimana kalau dia lapar atau haus. Tak bisakah dia bersama kami? Adis yakin mas Banyu pasti juga ingin memeluknya."
"Ndhuk, ini adalah ketetapan Allah. Kamu tak perlu mencemaskan hal-hal seperti itu karena Allah yang akan menjaganya. Putri mungilmu ini akan menanti kalian di pintu surga bila saatnya nanti tiba."
"Adis mau ikut kalian," pinta Gladys sambil terus terisak dan memeluk erat bayi mungil itu. "Mas Banyu pasti bisa mengerti."
"Ndhuk kamu lupa, bukan hanya Banyu yang menunggumu. Masih ada jagoan cilikmu yang pasti merindukan dekapanmu. Jagoan cilik yang menginginkan kasih sayangmu." Eyang Tari membelai kepala Gladys dengan penuh kasih sayang. "Kembalilah pada mereka yang mencintaimu. Biarkan putri mungilmu ini dicintai dan berada dalam dekapanNya."
Gladys seolah tertampar saat eyang menyebutkan jagoan cilik yang menunggunya. Sesaat tadi Gladys seolah terlupa bahwa ia masih memiliki satu anak lagi.
"Jagoan cilik?" tanya Gladys seolah tak percaya. "Aku memiliki jagoan cilik?"
"Iya sayang. Ada Banyu dan jagoan cilik yang menantimu. Mereka sangat mencintaimu. Mereka pasti sedih bila kamu tak kembali."
"Berdoalah kepadaNya setiap kali kamu teringat dan kangen pada putri cilikmu ini. Jadilah ibu yang baik untuk jagoan cilik dan anak-anakmu kelak. Kini, biarkan kami pergi bersama putri mungil ini." Dengan berat hati Gladys menyerahkan malaikat ciliknya pada eyang Tari setelah ia puas menciumi wajah cantik putrinya.
"Ikhlaskan dia. Bila saatnya tiba, kita akan berkumpul kembali." Setelah Pramudya mengatakan hal itu, Gladys merasa dunianya berputar. Tubuhnya terasa dingin dan lemah. Seluruh tubuhnya menggigil. Dadanya kembali terasa sakit.
"Sweetie bertahanlah, kamu harus kuat."
"Princess, tolong jangan tinggalkan kami."
"Dys, jangan tinggalkan mami."
"Nak Adis, bangunlah nak. Lihat jagoan cilikmu menanti dekapan bundanya."
Semua kata-kata itu berulang-ulang terdengar di telinga Gladys, menyebabkan dadanya semakin sakit dan kepalanya pusing. Gladys ingin berteriak namun tak mampu.
"Princess, I love you so much. Tolong jangan tinggalkan aku lagi. Aku belum sanggup kehilangan dirimu. Kembalilah sayang." Gladys merasa sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirnya. Tubuhnya perlahan tak lagi merasa sakit dan ada rasa hangat yang terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasa hangat yang selalu i rasakan saat berada dalam pelukan Banyu.
⭐⭐⭐⭐
"Dokter Ayu, apa yang terjadi?" tanya Lukas sambil menyiapkan diri untuk memasuki ruang operasi.
"Saat operasi tadi semuanya baik-baik saja dok. Saat saya hendak menjahit perutnya, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan detak jantungnya semakin melemah."
"Setahuku, Gladys tak memiliki riwayat penyakit jantung. Kenapa ini bisa terjadi?"
Lukas masuk ke ruang operasi dan benarlah apa yang dikatakan dokter Ayu. Monitor menunjukkan detak jantung Gladys semakin melemah. Tidak, ya Allah jangan ambil dia. Jangan pisahkan dia dari kami. Kembalikan dia pada kami ya Allah. Tak putus-putus Lukas mengucapkan doa itu dalam hatinya saat memberi pertolongan pada Gladys. Berikan kesempatan padaku untuk menunjukkan kalau aku bisa mencintai Geraldine dan anakku dengan tulus, seperti permintaannya dulu. Biarkan dia melihatku menjadi orang yang baik. Ya Allah tolong jangan ambil dia. Aku sangat mencintainya namun biarkan dia kembali pada mereka yang sangat mencintainya, suami dan anaknya.
Setelah beberapa saat kemudian, sepertinya Allah mendengar jeritan hati Lukas. Tak berapa lama detak jantung Gladys perlahan meningkat. Demikian dengan tekanan darahnya kembali normal. Lukas, para dokter dan perawat berpandangan dengan penuh rasa syukur. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana perasaan Banyu bila harus kehilangan dua orang yang sangat dicintainya sekaligus.
"Alhamdulillah," bisik Lukas. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Dokter Ayu yang mengetahui jalan ceritanya dulu dengan Gladys menepuk-nepuk punggung Lukas.
"Terima kasih dok sudah membantu kami menyelamatkan nyonya Gladys. Entahlah apa yang terjadi seandainya tadi anda tak ada di depan ruang operasi. Mungkin...."
"Ini semua kuasa Allah. Bukan karena aku. Sekarang silahkan dokter Ayu yang menjelaskan pada keluarga pasien. Saya mau cepat-cepat pulang menemui istri dan anak." Dokter Ayu tersenyum maklum. Akhirnya, bisik dokter Ayu dalam hati. Ia tahu bagaimana sikap dan perasaan Lukas terhadap Geraldine selama ini.
⭐⭐⭐⭐
"Nyu, gimana kondisi Gladys? Apa kata dokter Lukas?" tanya Aminah saat sore itu berkunjung ke rumah sakit. Selama dua minggu ini Banyu tak pernah meninggalkan rumah sakit. Dengan setia Banyu terus mendampingi Gladys yang masih belum juga sadar. Semua pekerjaan ia serahkan pada Agus.
"Kondisinya masih sama, bu. Sesekali Banyu seolah mendengar Gladys bergumam. Lukas bilang semua tanda vitalnya dalam keadaan bagus. Diapun tak bisa menjelaskan mengapa hingga saat ini Gladys belum terbangun."
"Kamu terus mengajaknya bicara kan? Ibu pernah dengar orang dalam kondisi seperti Gladys, alam bawah sadarnya bisa mendengar suara orang-orang yang mencintainya."
"Iya bu, setiap ada kesempatan Banyu mengajaknya bicara. Bahkan sesekali Banyu membawa Bagas ke sini dan meletakkannya di atas dada Gladys. Banyu melakukan itu dengan harapan Gladys mengetahui keberadaan Bagas yang menantinya."
"Nyu, lebih baik kamu pulang dan berisitirahat di rumah."
"Untuk apa Banyu pulang ke rumah kalau tidak ada Gladys. Banyu ingin berada disini dan menjadi orang pertama yang dilihat Gladys saat dia membuka mata."
"Kalau kamu tidak mau pulang, setidaknya makanlah dengan teratur. Selama dua minggu ini makan dan istirahatmu tudak teratur. Ibu khawatir kamu jatuh sakit."
"Insyaa Allah, Banyu baik-baik saja. Kehadiran baby B membuat Banyu selalu berpikir positif tentang keadaan Gladys. Banyu yakin tak lama lagi princess akan terbangun."
"Nyu, coba elo cium dia seperti pangeran dalam dongeng yang mencium tuan putri yang terlelap," celetuk Gibran yang baru saja datang bersama Cecile dan Praditho. "Siapa tau adik gue itu memang menunggu pangeran kodok menciumnya."
"Bang, jangan menggoda Banyu. Kamu itu dalam situasi seperti ini kok ya masih bisa bercanda," tegur Cecile.
"Bercanda itu perlu, mi. Tuh liat muka Banyu ditekuk melulu kayak jemuran belum disetrika. Kasihan kan Gladys kalau melek lihat wajah suaminya kayak gitu. Jangan-jangan Gladys lebih memilih tidur daripada melihat wajah ditekuk kayak gitu."
"Benar apa kata nak Gibran. Banyu ini perlu diajak bercanda," Aminah membela Gibran. "Kalau kamu jarang tersenyum, hilang image tukang sayur ganteng penakluk hati ibu-ibu komplek."
Mau tak mau Banyu tersenyum mendengar candaan Gibran dan Aminah, ibunya.
"Nah, gitu dong Nyu. Banyak-banyak senyum dan tertawa. Supaya wajah si tukang sayur ganteng tetap ganteng, walau masih di bawah gue sih level gantengnya." Semuanya tertawa mendengar candaan Gibran.
"Thank you bro, elo sudah membuat gue tertawa. gue sendiri nggak tau apakah gue bisa tertawa seperti ini kalau adik lo nggak bangun-bangun."
"Nyu, kamu harus positif thinking dan ber-husnuzhon pada Allah. Serahkan semua kepada Allah. Papi yakin, Gladys membutuhkan istirahat dari segala hiruk pikuk dunia, sebelum akhirnya nanti dia kembali dan disibukkan oleh baby B." Praditho menenangkan Banyu.
"Selamat malam semua," sapa Lukas yang sore itu menyempatkan diri menjenguk Gladys. Setelah mencium tangan para orang tua, dan menyalami Banyu serta Gibran, Lukas memeriksa status Gladys.
"Gimana nak Lukas?" tanya Cecile penasaran.
"Status vitalnya stabil semua tante. Lukas yakin dalam waktu dekat Gladys akan terbangun."
"Tapi kapan? Tiga hari lalu kamu juga bilang begitu," omel Cecile tak sabar. Aminah menepuk-nepuk punggung tangan Cecile.
"Sabar jeng. Allah sedang menguji kita semua. Insyaa Allah kita semua bisa melewatinya."
Banyu melangkah mendekati ranjang Gladys. Dibelainya kepala Gladys yang tertutup jilbab. Perlahan Banyu mendekatkan bibirnya ke telinga Gladys dan berbisik, "Princess, I love you so much. Tolong jangan tinggalkan aku lagi. Aku belum sanggup kehilangan dirimu. Kembalilah sayang."
Lalu Banyu mencium lembut bibir Gladys. Dicicipinya semua rasa manis bibir Gladys seolah ini adalah kali pertama ia merasakan bibir istrinya. Setelah ciuman lembut yang lama, akhirnya Banyu dengan enggan melepaskan bibirnya.
"Nyu, gila lo!"
"Lho, bukannya tadi kamu yang menyuruh Banyu mencium adikmu?" tanya Cecile bingung.
"I-iya sih," Gibran menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tapi ya jangan di depan kita gitu lho. Mana lama lagi."
"Kenapa? Bikin kepengen ya?" ledek Praditho. Gibran hanya nyengir mendengar ucapan papinya.
"Hehehe.. iya pi. Haduuh, mana hari ini Vanya tugas malam lagi, nggak bisa minta jatah deh. Tanggung jawab lo, Nyu."
Di saat yang lain menertawakan Gibran, pandangan Banyu dan Lukas tak pernah lepas dari Gladys.
"Allahu akbar... i-itu jari Gladys bergerak." Lukas langsung mendekati Gladys dan memeriksa kondisinya. Senyumnya mengembang.
"Nyu, coba kamu sekali lagi kamu cium Gladys. Kuharap kali ini ia bereaksi dan membalas. Bukan sekedar reaksi refleks, tapi reaksi yang biasa Gladys berikan saat kamu menciumnya." perintah Lukas. Dengan senang hati Banyu mengulangi ciumannya. Kali ini sedikit lebih panas dari yang sebelumnya. Benarlah apa yang Lukas katakan. Gladys membalas ciumannya walau terasa lemah.
"Masyaa Allah, bangun sayang. Bangun." Banyu membelai lembut pipi Gladys. Perlahan mata Gladys membuka. Selama beberapa saat ia mengerjapkan mata, mencoba beradaptasi.
"M-mas Banyu?" Suara Gladys terdengar lemah.
"I-iya sayang. Ini aku. Alhamdulillah..." Hanya itu yang Banyu sanggup katakan. Air mata menetes membasahi pipinya. Dikecupnya tangan Gladys yang sedari tadi digenggamnya. Jemari Gladys bergerak menghapus air mata Banyu.
"Mas, a-aku mau ke makam Mifra." Semuanya menatap Banyu dan Gladys bergantian. Mifra? Siapa dia? Namun rupanya Banyu sepertinya mengerti permintaan Gladys.
"Nanti kalau kamu sudah kuat kita sama-sama mengunjungi makamnya."
"Dys, ini mami nak. Ya ampuun, kamu membuat mami takut. Maafkan mami ya karena selama ini sering mengajak kamu berdebat. Maafkan mami yang sering mencampuri urusan pribadimu." Cecile terisak seraya menggenggam tangan Gladys yang satu lagi.
"Ma-mi? Pa-pi? I-ibu?" Semua mendekati ranjang Gladys. Lukas cukup tahu diri, perlahan ia beranjak hendak keluar kamar. Tiba-tiba ....
"Mas.. Lukas...? Terima kasih," ucap Gladys perlahan. Senyum mengembang di wajahnya. Lukas membalas senyuman Gladys, kemudian ia meninggalkan kamar. Hatinya tiba-tiba merasa sangat merindukan Geraldine.
⭐⭐⭐⭐