webnovel

MCMM 38

Happy Reading ❤

"Dys, nanti pulang dari butik jangan terlalu sore ya. Kita ke salonnya Hans dulu," Cecile mengingatkan sebelum Gladys berangkat ke butik.

"Mami ke butik aja. Dari situ kita ke salon."

"Nggak bisa sayang. Eyang kan mau ikut acara makan malam ini."

"Ngapain eyang ikut mi?"

"Mau lihat Lukas."

"Gimana kalau Gladys langsung berangkat dari butik?"

"Kamu nggak ke salon dulu?" tanya Cecile heran. Gladys menggeleng sambil menggigit sandwich yang disediakan untuk sarapan.

"Ndaaaah.. jusnya sudah dibikin belum?" panggil Gladys. Dengan tergopoh-gopoh Endah muncul membawa segelas jus.

"Ini kak. Maaf agak terlambat bikinnya. Tadi Endah lagi bantuin mbok Siti bikin sarapan." jelas Endah dengan takut-takut. Ia khawatir majikannya akan marah akibat kelalaiannya. Seharusnya semua sarapan Gladys sudah siap sebelum Gladys sampai di ruang makan.

"Nggak papa. Tadi kalau memang belum siap aku mau batalin minum jusnya. Oh ya, hari ini kamu nggak usah ikut ke butik."

"Lho kenapa dek? Biasanya dia kan harus selalu ikut kemana kamu pergi." tanya Gibran yang sedang asyik sarapan nasi goreng.

"Hari ini dia ada ujian di tempat kursusnya, bang. Jadi biarin aja dia mempersiapkan diri di rumah. Oh iya, nanti kamu berangkatnya gimana Ndah?"

"Nanti saya naik angkutan umum aja, kak."

"Jangan, kamu naik ojek atau taksi online. Biar nggak deg-degan. Berangkatnya jangan terlalu mepet waktunya."

"Baik kak. Oh iya, baju untuk pertemuan nanti malam sudah siap. Kak Gladys mau tukar atau nggak? Kalau nggak ada perubahan, biar Endah masukkan ke dalam mobil."

"Tukar dengan yang lebih casual aja. Aku nggak mau pake dress yang itu. Terlalu ketat dan pendek. Potongannya juga terlalu terbuka. Coba kamu siapkan setelan saja." Semua mata memandang Gladys heran. Ini permintaan yang agak aneh. Karena biasanya Gladys tidak terlalu suka baju-baju yang tertutup. Padahal Papi dan abang-abangnya sudah berulang kali mengingatkan tentang hal itu.

"Tumben dek. Biasanya baju kamu kekurangan bahan," celetuk Gibran.

"Giliran adek pilih baju yang lebih sopan dan tertutup kok dikomenin. Abang labil nih." sahut Gladys setelah menghabiskan jusnya. "Ndah, nanti tolong siapkan bekal untuk makan siang ya. Sekalian dengan buah untuk cemilan."

"Lho, tumben banget. Biasanya kamu lebih memilih makan siang di resto bareng sahabat-sahabat kamu." Lagi-lagi Gibran mengomentari permintaan Gladys.

"Belajar hemat bang."

"Dys, kamu baik-baik saja kan?" tanya Cecile penasaran. "Kamu nggak ke salon sebelum makan malam, pilihan baju kamu berbeda dari biasanya, dan kamu lebih memilih membawa bekal daripada jajan."

"Ya nggak papa dong, diajeng. Malahan bagus tho," bela Praditho. "Lebih hemat kan kalau dia nggak nyalon dan mau bawa bekal."

"Iya schatz, tapi aneh aja melihat adek seperti ini. Kamu sehat kan, Dys?"

"Ih mami, anaknya berubah kok malah bingung. Sudah ah, Adis mau ke kamar dulu. Mau nyiapin tas yang mau dibawa."

Gladys meninggalkan ruang makan setelah mencium pipi mami papinya.

"Dek, nggak cium pipi abang?" tanya Gibran yang juga sudah berdiri dari kursinya.

"Ih, ogah banget." Gladys meninggalkan ruang makan diikuti oleh Gibran. Bahkan Gibran ikut masuk ke kamar Gladys.

"Dek, gue mau ngomong sama elo."

"Ya ngomong aja. Dari tadi abang juga sudah ngomong. Ngapain sekarang minta ijin sama adek?" sahut Gladys sambil sibuk mondar mandir menyiapkan tasnya.

"Dek, elo beneran memilih Banyu menjadi calon suami yang akan lo kenalin ke eyang?"

"Nggak tahu bang. Mungkin," sahut Gladys singkat.

"Kenapa elo bisa segitu yakinnya memilih dia?"

"Gue kagum sama dia, bang. Gue digedein oleh mami papi di lingkungan yang nyaman. Segalanya tersedia. Demikian juga circle pertemanan juga kurang lebih sama dengan gue. Baru kali ini gue ketemu orang seperti dia. Demikian juga dengan adik-adiknya."

"Elo sudah ketemu keluarganya Banyu?" tanya Gibran nggak percaya. Gladys mengangguk lalu ia duduk di sofa, di sebelah Gibran. "Elo main ke rumah dia? Elo bergaul dengan adik-adiknya? Wow, unbelievable."

"Apanya yang aneh? Abang kalau pdkt sama cewek juga gitu kan?"

"Jadi kali ini elo yang pdkt ke Banyu?" tanya Gibran tak percaya.

"Bida dikatakan seperti itu. Atau lebih tepatnya gue yang mengejar dia."

"Dia juga yang membuat elo berubah?" Gladys mengangguk.

"Kenapa? Abang nggak suka adek berubah?"

"Gila... gue nggak percaya. Elo kenal sama dia kan belum lama."

"Kurang lebih hampir 6 bulan, bang."

"Dalam waktu kurang dari 6 bulan dia bisa merubah elo? Waaah... hebat teman gue yang satu itu. Patut diacungi jempol."

"Bang, adek sadar kalau selama ini gue kurang bersyukur dengan segala yang sudah Allah kasih ke gue. Orang tua yang baik, serba berkecukupan, sehat..."

"Abang-abang yang ganteng," celetuk Gibran.

"Idih narsisnya kumat!" sahut Gladys sambil mencubit pinggang Gibran.

"Jangan-jangan kalau elo beneran jadian sama Banyu, elo berubah kayak Wina. Langsung bercadar."

"Ya nggak gitu juga bang. Itu perlu proseslah. Kalau Wina dari sebelum menikah kan memang sudah syar'i penampilannya. Pergaulannya juga di lingkungan seperti itu. Makanya dulu sama bang Jihad cuma ta'aruf."

"Elo mulai berubah karena Banyu?" tanya Gibran hati-hati. "Abang khawatir kalau perubahan yang baik itu nggak akan bertahan lama kalau hanya didasari dengan keinginan agar dipuji orang atau memenuhi keinginan orang lain. Kalau seandainya elo nggak bisa jadian sama dia, apakah perubahan yang baik ini akan terus melekat pada diri lo?"

"Entahlah bang. Gue nggak bisa menjamin apapun."

"Dek, mendingan lo perbaiki niat. Niatkan semua karena Allah dan demi kebaikan diri lo sendiri. Bukan karena orang lain. Entah itu Banyu atau bahkan mami papi. Abang yakin perubahan itu akan lebih mudah dijalani kalau elo meniatkan itu semua karena Allah."

"Ih, abang sok tua deh. Eh, abang emang sudah dewasa. Sama kayak mas Banyu."

"Ih, geli banget gue dengar elo manggil dia mas Banyu. Sok mesra lo, Dys!" ledek Gibran.

"Sialan lo bang." Gladys langsung merajuk akibat ledekan Gibran. "Kalau abang cuma mau meledek, mendingan abang keluar gih. Memangnya abang nggak ke kantor? Jam segini kok masih di rumah?"

"Abang sudah ijin berangkat agak siang. Tadi malam kan abang lembur buat persiapan dokumen merger."

"Bang, kenapa mas Banyu nggak mau kerja kantoran? Padahal kalau dia mau, dia kan bisa minta pekerjaan ke sahabat-sahabatnya."

"Kamu keberatan dia hanya menjadi tukang sayur?"

"Nggak juga. Misalnya adek jadian sama dia, nggak masalah kalau dia cuma tukang sayur. Toh adik juga kerja. Walaupun dia pernah bilang kalau dia nggak akan mau mempergunakan fasilitas yang dimiliki oleh istri atau mertuanya."

"Pertanyaan lo sudah terjawab, dek. Itulah Banyu. Dia nggak mau menggantungkan diri pada orang lain. Elo tau kalau ayahnya Banyu memiliki perusahaan trading yang cukup lumayan, walaupun nggak sebesar perusahaan papi. Bukan sekali dua kali kita menawarkan pekerjaan kantoran ke dia. Bahkan Mila, sepupu mantannya, sampai sekarang masih menawarkan posisi di kantor dia."

"Mila, dosen pembimbing mas Banyu?"

"Iya. Elo kenal sama Mila?"

"Gue sudah dua kali ketemu sama mbak Mila. Dia cerita sama gue kalau dia itu sepupunya Senja, mantannya mas Banyu."

"Berarti lo sudah tau mengenai hubungan Banyu dengan Senja?" Gladys mengangguk.

"Sebelum Senja dijodohkan dengan Awan, Mila sudah menawarkan pekerjaan kantoran kepada Banyu. Namun Banyu menolaknya. Saat kami mengusulkan agar dia berbaikan dengan ayahnya, Banyu juga menolak. Pada akhirnya keluarga Senja menolak memiliki menantu seorang tukang sayur. Mereka lebih memilih Awan, anak seorang konglomerat yang hidupnya nebeng kekayaan orang tua. Buat ayah Senja, itu lebih bergengsi daripada memiliki menantu tukang sayur."

"Apakah itu yang menyebabkan mas Banyu ragu menjalani hubungan denganku?"

"Kita tahu kalau keluarga besar kita tidak terlalu menggadang-gadang kekayaan seseorang. Namun tak bisa dipungkiri circle kita adalah orang-orang seperti itu. Meskipun seandainya papi tidak menolak pilihan lo, apakah menurut lo Banyu akan nyaman? Belum lagi penilaian orang-orang di luar sana yang akan mencap dia benalu atau gold digger. Elo harus mempertimbangkan hal itu, dek." Gladys termenung mendengar ucapan Gibran yang kurang lebih sama dengan yang pernah disampaikan oleh Banyu.

"Bang, menurut lo apakah mami papi dan eyang akan menolak mas Banyu?"

"Abang nggak bisa memastikan apapun. Walaupun abang tahu kalau mami papi bahkan mungkin eyang Tari menyukai sikap Banyu yang penuh tanggung jawab. Tapi entahlah kalau dia sebagai calon suami lo."

"Bagaimana kalau adek yang ikut sama dia dan bukan sebaliknya?"

"Elo yakin bisa hidup dalam kesederhanaan? Nggak ada lagi pelayan pribadi, nggak ada lagi pergi ke salon atau makan di resto mahal kapanpun elo mau. Akan banyak privilege yang hilang bila elo menikah dengan dia. Bukan karena papi menarik segala fasilitas lo. Tapi dia yang akan melarang lo memakai segala fasilitas yang menjamin kenyamanan hidup lo. Elo siap?" Gladys kembali termanggu.

"Adek bisa belajar merubah gaya hidup." jawab Gladys ragu. Gibran tertawa sambil menarik Gladys ke dalam pelukannya.

"Dek, siapapun pilihan lo, selama dia bisa membuat elo bahagia walau dalam kesederhanaan, abang nggak keberatan. Tapi abang harap lo nggak gegabah mengambil keputusan. Apakah Banyu pernah bilang kalau dia menyukai lo?"

"Dia bilang, dia menganggap gue seperti adeknya sendiri. Karena adek adalah adik sahabatnya."

"Dia nggak bilang akan belajar mencintai lo?" Gladys menggeleng perlahan.

"Saran gue mendingan elo mundur, dek. Nggak akan mudah membuat dia jatuh cinta. Gue kenal banget siapa Banyu."

"Nggak bang. Adek nggak akan menyerah. Abang bukan Tuhan. Nggak akan ada yang tahu siapa akan berjodoh dengan siapa. Bahkan adek pun nggak tau apakah akan menikah dengan Banyu atau malah dengan orang lain, Lukas misalnya. Yang adek tahu dan pernah dengar kita bisa meminta seseorang menjadi jodoh kita, dengan cara tidak putus berdoa dan memohon kepada Allah."

"Waaah.. nggak sangka kamu sudah mulai dewasa ya."

"Semua ini karena adek bergaul dengan Nabila dan Aidan. Usia mereka jauh di bawah adek, tapi pemikiran mereka jauh lebih dewasa daripada adek. Jadi atau tidak jadi dengan mas Banyu, adek akan terus belajar dari orang-orang seperti mereka. Belajar langsung dari orang-orang seperti mereka menambah pengalaman hidup adek."

"Masyaa Allah adek gue beneran sudah berubah nih. Hmm.. apakah ini artinya abang harus menyetujui hubungan lo dengan Banyu?"

"Terserah abang. Tapi adek akan bahagia memiliki seseorang yang berpihak pada adek. Minimal abang bisa bantu dengan doa supaya mami papi bisa menerima mas Banyu dan yang terpenting, mas Banyu bisa mencintai adek." Tanpa menjawab Gibran kembali memeluk erat tubuh Gladys.

"Bagaimana abang bisa menolak keinginan adek yang mulai belajar menjadi dewasa."

"Makasih ya, bang. Adek doain rejeki abang tambah lancar dan abang cepat menikah dengan kak Vania."

"Aamiin. Makasih ya adekku yang cantik tapi menyebalkan."

"Iih abang mah gitu. Ujung-ujungnya menjatuhkan Adis."

"Biarin mumpung bodyguard kamu lagi jauh." ledek Gibran.

"Bang, gimana kalau Banyu tetap menolak dan Gladys juga nggak suka dengan Lukas?"

"Kamu kan sudah kenal sama Lukas, dek."

"Itu kan bertahun-tahun lalu, bang. Adek cuma ingat dia orangnya kaku banget, jarang senyum. Adek aja takut kalau mau ngobrol sama dia."

"Orang kan bisa berubah dek. Dulu kamu sebel sama Banyu. Eh sekarang malah klepek-klepek."

"Iih... abang apaan sih. Nggak banget deh!!"

"Lho, memang iya kan kamu sekarang jatuh cinta sama Banyu. Padahal awalnya kalian kayak Tom dan Jerry. Itu bukti sesorang bisa berubah, dek."

⭐⭐⭐⭐

次の章へ