webnovel

MCMM 30

Happy Reading Guys❤🥰

Aidan dan Nabila sedang asyik bermain dengan Zahra di teras rumah saat Gladys datang ke rumah mereka.

"Assalaamu'alaykum," sapa Gladys.

"Wa'alaykumussalaam," jawab Aidan dan Nabila berbarengan. Mereka terkejut melihat Gladys datang.

"Eh, kak Gladys. Silahkan masuk kak," Aidan mempersilahkan Gladys masuk. "Kakak sendiri?"

"Iya, kakak sendiri. Ibu ada?" tanya Gladys sambil ikut duduk di lantai terasa bersama Aidan dan Nabila. "Eh, ini anak siapa dek? Lucu banget. Gemeeesh deh."

"Keponakan. Ibu belum pulang, kak. Muungkin sebentar lagi," jawab Nabila yang memangku Zahra sambil membacakan buku cerita.

"Keponakan? Anak mas Banyu?" tanya Gladys terkejut.

"Dek, kamu jangan sembarangan kalau ngomong. Tuh kak Gladys jadi kaget," omel Aidan. "Ini bukan anak mas Banyu. Tapi anaknya Bang Cole, tetangga sebelah rumah. Sudah kayak keponakan sendiri, kak."

"Calon keponakannya mas Aidan, kak." ledek Nabila sambil terkekeh. " Mas Aidan kan lagi pdkt sama Sita, adiknya mbak Fatin."

"Sembarangan kamu." sahut Aidan sambil menimpuk Nabila dengan kacang goreng.

"Lucu banget ya. Namanya siapa dek? Boleh kak Gladys gendong dia?" Gladys mengulurkan tangannya hendak menggendong Zahra yang anehnya langsung mau.

"Namanya Zahra, kak. Wah, kak Gladys hebat. Biasanya Zahra nggak mau digendong sama orang yang baru ketemu satu kali. Ini kok langsung mau ya sama kak Gladys."

"Karena kak Gladys cantik dan wangi. Nggak kayak kamu, dek." ledek Aidan. "Coba kamu cantik kayak kak Gladys, anak kecil pasti langsung nempel sama kamu."

"Dek Nabila cantik kok. Cuma memang kadang anak kecil itu punya naluri yang bisa merasakan dia bisa nyaman dengan siapa." Bela Gladys. "Oh ya, itu kakak bawa sedikit oleh-oleh buat ibu dan kalian. Semoga kalian suka ya."

"Waaah, kakak bawa es krim dan buah-buahan. Ini juga ada klapertart. Waah enak-enak semua nih. Makasih ya kak," ucap Aidan sambil memeriksa bungkusan yang Gladys serahkan.

"Ante tantik namanya ciapa?" tanya Zahra sambil bersandar manja pada Gladys.

"Nama tante, Gladys. Zahra boleh panggil aunty Adis." Sahut Gladys sambil merapikan rambut Zahra. "Kamu kok cantik banget sih."

"Ya cantiklah kak, bapaknya bule." bisik Nabila. "Tuh rumahnya yang pagar hijau itu."

"Oh iya, kak Gladys kesini mau cari ibu atau mas Banyu?"

"Cari siapa aja deh. Kakak lagi bosan di rumah. Nggak ada yang bisa diajak main. Papi sibuk di kantor, mami sibuk urus eyang, Bang Ghif dan bang Gibran juga sibuk dengan bisnisnya. Asisten pribadi kakak lagi kursus."

"Asisten pribadi? Kakak punya Asisten pribadi?" tanya Aidan dan Nabila tak percaya. Gladys mengangguk sambil tertawa.

"Waaah hebat!"

"Kak, boleh nanya sesuatu?" tanya Nabila ragu. Gladys mengangguk. "Kakak serius suka sama mas Banyu? Mas Banyu kan cuma tukang sayur. Kami juga bukan keluarga kaya."

"Dek," tegur Aidan tak enak hati pada Gladys.

"Nggak papa Dan, wajar kok Kalau Nabila pengen tau. Menurut kak Gladys, mas Banyu itu orang bertanggung jawab dan juga baik. Kakak kagum sama mas Banyu. Dia menjalankan perannya sebagai kakak sekaligus sebagai ayah bagi kalian. Dia mau membantu ibu mencari nafkah sejak SMA. Bahkan dia rela menunda kebahagiaannya demi menjalankan tanggung jawabnya sebagai kakak."

"Kak Gladys tau darimana kalau mas Banyu sudah jualan sejak SMA?"

"Mas Banyu kan sahabatan dengan bang Gibran. Kakaknya kak Gladys."

"Ooh gitu."

"Kakak nggak keberatan dengan itu? Kakak nggak malu kalau nanti punya suami tukang sayur?" Gladys menggeleng.

"Tapi kakak kan cantik, anak orang kaya. Kayaknya nggak cocok deh kak. Belum lagi nanti orang tua kak Gladys nggak akan setuju dengan pekerjaan mas Banyu." Gladys tersenyum mendengar ucapan Aidan.

"Buat kakak, harta dan jabatan itu buka hal terpenting dalam hidup. Semua itu nggak ada artinya di mata Allah. Kalian nggak usah khawatir tentang hal itu. Yang penting buat kakak adalah, kalian mau menerima kakak."

"'Bukannya yang terpenting adalah mas Banyu mau menerima kakak?" tanya Nabila.

"Kalau kalian mendukung dan menerima kakak, maka kakak nggak akan ragu berjuang supaya mas Banyu mau menerima kak Gladys." Jawab Gladys yakin.

"Kak, mas Banyu pernah trauma dengan hubungannya dulu. Makanya mungkin perjuangan kak Gladys nggak akan mudah." Nabila mengingatkan. Gladys terdiam mendengar ucapan Nabila.

"Hush adek.. jangan suka bongkar rahasia orang, ah." Tegur Aidan.

"Siapa yang bongkar rahasia mas Banyu. Adek kan cuma mengingatkan kak Gladys kalau perjuangannya mendapatkan mas Banyu mungkin akan berat. Lebih baik dikasih tau dari sekarang, biar kak Gladys bisa mempertimbangkan ulang rencananya."

"Maafin Bila ya, kak. Dia kalau ngomong memang suka asal. Maklum masih kecil, kak. Lulus SMP juga belum."

"Anti tantik pacal om Banyu?" tiba-tiba Zahra nyeletuk. Mereka tergelak melihat milik serius Zahra saat menanyakan hal tersebut. Dengan gemas Gladys mencium pipi Zahra.

⭐⭐⭐⭐

"Dan, ibu kok belum pulang ya? Biasanya ibu pulang jam berapa? Kalau ibu pulang agak malam, siapa yang masak makan malam kalian? Ini sudah lewat maghrib lho."

"Ibu menjenguk ayah dulu kak," bisik Nabila "Eh, kakak jangan bilang sama mas Banyu ya soal ini."

"Ibu dan ayah sudah pisah sejak mas Banyu kelas 11. Sejak itulah mas Banyu bekerja menjadi tukang sayur. Kami nggak tau kenapa ayah dan ibu pisah. Mas Banyu melarang kami membicarakan bahkan menyebut ayah di rumah ini." jelas Aidan sambil menghidangkan bihun goreng di meja makan.

"Ini kamu yang masak?" tanya Gladys tak percaya.

"Iya kak. Aidan dan Nabila sudah biasa masak dan membereskan rumah. Kami kan juga harus membantu ibu."

"Kalian disuruh mas Banyu?" Aidan dan Nabila menggeleng.

"Nggak kak. Ini kesadaran kami sendiri. Kami kasihan melihat mas Banyu dan ibu bekerja keras demi kami. Cuma ini yang kami bisa lakukan untuk membantu mereka."

Gladys tercenung mendengar penjelasan Aidan. Ya tuhan, aku hidup nyaman, memiliki pelayan pribadi, tapi kadang aku lupa bersyukur, batin Gladys. Sementara mereka di usia semuda ini sudah memiliki kesadaran membantu orang tua.

"Kamu belajar masak dari siapa?"

"Dari ibu dan mas Banyu."

"Mas Banyu bisa masak?"

"Bisa mbak. Dulu sebelum kuliah, selain jadi tukang sayur mas Banyu pernah bekerja di restauran China milik koh Aping. Gara-gara mas Banyu kerja disitu, koh Aping dan keluarganya jadi mualaf. Mereka sering melihat mas Banyu shalat dan membaca Al Qur'an saat sedang jam istirahat. Nah, koh Aping dan Ci Lina yang mengajari mas Banyu masak. Malah tadinya mas Banyu mau diangkat jadi koki, tapi mas Banyu tolak karena dia mau kuliah." jelas Aidan

"Jalan hidup mas Banyu kayak dalam buku cerita ya, kak. Itulah sebabnya kami sebisa mungkin membantu meringankan beban ibu dan mas Banyu." Gladys tersenyum mendengar cerita Nabila dan Aidan.

"Aidan mau ajarin kak Gladys masak?"

"Mau dong. Kakak mau belajar masak apa?"

"Mas Aidan ini pengen banget jadi Chef terkenal, kak." ucap Nabila.

"Oh ya? Wah hebat tuh cita-cita kamu. Kamu bisa kuliah di jurusan Perhotelan atau Tata Boga untuk mewujudkan cita-cita kamu." Wajah Aidan menggelap mendengar ucapan Gladys. "Lho kenapa tiba-tiba murung?"

"Kalau sudah lulus, Aidan pengen kerja aja kak."

"Kenapa nggak kuliah?"

"Kasihan mas Banyu yang harus kerja keras untuk membiayai kami. Biarlah Aidan yang mengalah, supaya dek Bila bisa masuk pesantren. Aidan bisa bekerja dulu seperti mas Banyu untuk mengumpulkan uang kuliah." Hati Gladys terenyuh mendengar hal tersebut. Di kala dirinya bergelimang kemewahan tanpa memiliki tujuan hidup yang jelas, hanya ingin bersenang-senang, ada anak manusia yang harus menekan keinginan dan cita-citanya.

"Bagaimana kalau kak Gladys bantu membiayai kuliah kamu?"

"'Nggak usah kak. Mas Banyu dan ibu selalu menekankan kepada kami untuk tidak bergantung kepada orang lain." Tolak Aidan.

"Hmm... bagaimana dengan mencari beasiswa untuk kuliah? Kalau kamu mau mencari pasti ada yayasan atau bahkan perusahaan yang menyediakan beasiswa macam itu." Aidan terlihat berpikir keras. "Nanti kakak akan bantu mencari info tentang itu."

"Tapi kak, apakah kakak akan tetap membantu mas Aidan seandainya mas Banyu menolak kakak?" tanya Nabila.

"Insyaa Allah, kakak akan tetap membantu Aidan walau seandainya mas Banyu menolak menjadi suami kak Gladys." Jawab Gladys tulus. "Tapi seperti tadi kakak bilang, kakak akan berjuang untuk mendapatkan hati mas Banyu. Yang kakak khawatirkan justru kalian tidak mau menerima kakak."

"Kak Gladys jadi atau tidak dengan mas Banyu, aku akan tetap menganggap kakak sebagai kakak perempuan Bila," ucap Nabila. "Itu pun kalau kakak nggak keberatan punya adik seperti Bila."

"Dan seperti Aidan." Aidan ikut angkat bicara. "Kami ingin sekali punya kakak perempuan. Apalagi kalau cantik seperti kak Gladys."

"Kak, kita kasih surprise buat ibu dan mas Banyu yuk." Ajak Nabila.

"Kita bikinin capcay aja gimana? Kak Gladys yang masak ya. Hitung-hitung sebagai awal mencuri hati mas Banyu," usul Aidan.

"Kakak nggak bisa masak capcay."

"Hmm.. gimana kalau tumis kangkung?" Gladys menggeleng.

"Ayam goreng mentega?" Gladys kembali menggeleng.

"Tempe goreng? Tahu Goreng? Sambal? Nasi goreng? Nasi putih?" Semua dijawab Gladys dengan gelengan kepala.

"'Kakak benar-benar nggak bisa masak?" Kali ini Gladys mengangguk. Aidan dan Nabila saling berpandangan lalu tergelak.

"Kak Gladys gimana mau ambil hati mas Banyu dan ibu, kalau nggak bisa masak. Kalau masak air buat bikin teh atau kopi pasti bisa kan?" Gladys menggeleng kembali. "Masak mie rebus?"

"Di rumah Kakak ada pelayan yang urus itu semua. Bahkan masuk ke dapur saja hampir nggak pernah."

"Astagaaa... berat nih," gumam Aidan dan Nabila kompak.

"Oke, kita malam ini masak capcay, tahu tempe goreng dan sambal. Kak Gladys dan adek bantu siapin bahan-bahannya ya. Nanti Kak Gladys bantu aku mengulek sambal ya." Ajak Aidan.

"Nnnggh.. nggak bisa," jawab Gladys ragu. Aidan dan Nabila langsung geleng-geleng kepala.

"Ya sudah, nanti kakak ikutin aja perintah dari kak Aidan. Nanti Bila ajarin harus gimana." Nabila berusaha menenangkan.

Tak lama ketiganya sudah asyik di dapur mungil rumah Aminah.

"Kak, tolong kupas wortelnya ya. Pakai peeler aja biar gampang." ucap Aidan. "Dek, ajarin kak Gladys ya."

Dengan telaten Aidan dan Nabila mengajari hal-hal mendasar tentang memasak. Gladys benar-benar buta tentang hal tersebut. Kadang Aidan dan Nabila tertawa melihat betapa kikuknya Gladys bekerja di dapur. Ada satu insiden dimana jari Gladys sedikit teriris saat dia mencoba memotong wortel. Kejadian kecil namun cukup heboh. Sehingga akhirnya Aidan menugaskan Gladys untuk menggoreng tahu tempe. Itupun hasilnya kurang memuaskan alias warnanya tidak rata.

Setelah satu jam berkutat di dapur, mereka menyiapkan meja makan. Wajah Gladys terlihat lelah. Dia terduduk lesu di kursi.

"Kak, ini diminum dulu es teh manisnya biar segar. Kalau kak Gladys capek, rebahan aja dulu di kamar ibu. Nanti kalau mas Banyu pulang, Bila bangunin."

"Nggak usah dek. Kakak duduk di kursi itu aja sambil nonton TV." Gladys pindah ke sofa sederhana di depan TV. Tapi rupanya ia benar-benar kelelahan. Tak lama ia tertidur dalam posisi duduk dengan kepala bersandar di sofa.

Tak lama Aminah pulang dengan wajah lelah. Sungguh terkejut saat dilihatnya Gladys tertidur di sofa rumahnya.

"Dan, kok ada nak Gladys? Kapan dia datang? Kok nggak disuruh rebahan di kamar ibu?"

"Ba'da ashar tadi bu. Tadi sudah ditawarkan tapi kak Gladys nggak mau, " jawab Aidan sambil mengambil tas kerja yang dibawa Aminah. "Ibu kok malam banget."

"Tadi ketemu dengan dokter dulu. Mas mu mana?"

"Belum pulang bu. Ibu mau dibuatin wedang uwuh?" Nabila menawarkan.

"Boleh. Ibu mandi dulu ya. Setelah itu kita makan malam bareng."

Belum lama Aminah masuk kamar, Banyu pulang. Ia pun tak kalah terkejut saat dilihatnya Gladys tertidur di depan TV. Astaga... aku lupa kalau dia mau datang ba'da ashar tadi.

"Baru pulang mas?" tanya Nabila yang membawa wedang uwuh untuk Aminah.

"Iya dek. Tadi mendadak disuruh ngajar di bimbel. Menggantikan teman yang sakit."

"Ooh pantesan. Kak Gladys sudah nungguin dari tadi sore lho, mas."

"Kok nggak disuruh rebahan di dalam kamar?"

"Tadi sudah ditawarin tapi nggak mau. Malu mungkin."

Setelah menaruh tas ranselnya, Banyu mendekati dan duduk di samping Gladys yang masih terlelap. Diperhatikannya wajah Gladys yang tampak lelah. Lalu matanya melihat jari telunjuk Gladys yang terbungkus plester bergambar kartun. Kening Banyu berkerut melihatnya.

"Dys, bangun." Banyu menyentuh perlahan lengan Gladys. Untunglah hari itu Gladys mengenakan kaos lengan panjang sehingga Banyu tak harus melihat lengan mulusnya. Bukannya terjaga, Gladys malah bersandar ke bahu Banyu. Sekali lagi Banyu menxoba membangunkan Gladys, namun gadis itu malah semakin nyaman bersandar bahkan kini tangannya memeluk lengan Banyu

"Mas, kok ngga dibangunin?" tanya Nabila. Tak lama Aminah keluar dari kamar.

"Susah banguninnya. Cantik-cantik ngebo." omel Banyu.

"Ya sudah, sana kamu angkat dan pindahkan dia ke kamar ibu. Bukan ke kamar kamu ya." Banyu hanya nyengir mendengar ucapan ibunya. "Habis itu kamu langsung mandi. Setelah mandi bangunkan lagi nak Gladys dan ajak makan malam."

Dengan patuh Banyu menuruti perintah Aminah. Diangkatnya tubuh mungil Gladys ke dalam kamar Aminah. Dengan hati-hati diletakkan di atas ranjang. Begitu menyentuh bantal, Gladys terbangun. Sungguh ia sangat terkejut saat dilihatnya wajah seorang pria berada sangat dekat dengannya dan posisinya dalam keadaan rebahan.

"Aaah.. siapa kamu? Mau apa kamu?" jerit Gladys sambil mendorong pria tersebut. Jeritan yang membuat semja orang kaget dan langsung merangsek masuk ke kamar

⭐⭐⭐⭐

次の章へ