webnovel

BAHAGIA

Malam ini Abian sholat berjamaah di masjid bersama mang Ade dan Asep. Sudah lama sekali dia tidak sholat bersama dengan Asep. Padahal dulu hampir setiap malam mereka sholat maghrib dan isya bersama di masjid.

Saat pulang, Abian kembali mendapati Ayla sedang menangis di kamar. Apa dia masih sedih karena Daniel? Entahlah, Abian tak tau. Abian dengan keberanian seperti harimau baru lahir duduk di samping Ayla.

"Kenapa lagi, Kak?" tanya Abian.

Ayla yang semula duduk dengan posisi menyamping, kini berubah jadi menghadap Abian. Matanya menatap intens kedua bola mata coklat Abian. Membuat Abian menelan ludah dengan susah payah.

"Aku sedih, Bian," ucap Ayla dengan suara serak. Abian merasa kalau istrinya itu habis menangis. Atau mungkin menangis seharian.

"Sedih kenapa?"

"Pertama aku gagal nikah sama Daniel, dan malah nikah sama kamu. Kedua, aku tinggal di rumah kecil sama orang yang sama sekali gak aku cinta, dan yang paling membuat aku sedih, karena ..." Ayla menggantung ucapannya.

"Karena apa?"

Ayla menarik napas panjang. Berat sekali rasanya ingin mengeluarkan unek-unek yang mengganggu. Sedangkan Abian masih diam, menunggu Ayla bicara.

"Kamu!" tukas Ayla cepat.

"Karena aku?" tanya Abian heran.

"Iya, karena kamu." Ayla cemberut menatap Abian.

Tentu saja Ayla kesal. Ia bahkan jengkelnya benar-benar tidak tertahan. Ayla mengusap air matanya kasar dan mendengus. Abian itu suaminya, Ayla kesal karena Abian selalu bersikap dingin padanya. Kenapa dia begitu? Ayla juga tidak tahu. Dan yang membuat Ayla lebih kesal lagi, Abian tidak pernah menanyakan tentang kepribadiannya, memangnya dia tidak ingin tahu tentang Ayla.

"Aku beneran gak ngerti, coba Kak Ay jelasin," pinta Abian.

"Kamu suami aku kan? Seharusnya kamu bisa buat aku bahagia, tapi sudah satu minggu lebih kita nikah, aku sama sekali merasa bahagia," kata Ayla kesal.

"Mama bilang, aku harus mulai nerima kamu. Oke, aku mau nerima kamu. Tapi kenapa kamu selalu dingin sama aku? Apa kamu benci sama aku? Kamu gak suka nikah sama aku?" Ayla terus nyerocos, menanyakan hal yang membuat Abian tersentak.

"Bukan gitu, Kak. Aku suka kok nikah sama Kak Ay, aku terima pernikahan kita. Aku—"

"Kamu bohong! Kamu pasti benci sama aku, makanya kamu bersikap dingin supaya aku tersiksa, iya kan? Kamu mau nyiksa aku secara batin!" dengus Ayla lagi.

Mumpung Abin menanyakan ini, sekalian saja Ayla keluarkan semua perasaan yang selama ini ia pendam. Biar dia tau semuanya, biar plong.

"Aku gak benci sama Kak Ay," kilah Abian.

"Beneran kamu gak benci?" Abian menggeleng sebagai jawaban.

"Kalo kamu gak benci sama aku, kenapa kamu bikin aku sedih terus? Kamu gak mau bikin aku bahagia?"

Gantian sekarang Abian yang menghela napas panjang. Benci? Ya Allah, kata itu saja tidak pernah terbesit dalam pikiran Abian. Abian memang pengantin dadakan, tapi dia menerima pernikahan ini secara lahir dan batin. Ia sama sekali tidak pernah membenci Ayla.

Kalo soal tidak bisa membuat Ayla bahagia, ya wajar saja. Karena Abian tidak tau sama sekali tentang seluk-beluk membahagiakan wanita. Lagipula, Ayla tidak pernah cerita tentang apa yang bisa membuatnya bahagia, jadi Abian tidak tau.

"Aku gak benci sama Kak Ay, beneran! Maaf kalo aku gak bisa bikin kak Ay bahagia, aku memang gak bisa bikin siapapun bahagia. Termasuk ayah dan bibik," ucap Abian yang kali ini wajahnya berubah murung.

"Lagian Kak Ay gak pernah bilang maunya apa, mana aku tahu apa yang bikin Kak Ay bahagia," celetuk Abian lagi dengan polosnya.

Mata Ayla menyipit. Harus di kasih tau dulu, gitu? Lagi pula, Abian itu pendiam. Ayla jadi ikut diam, mana bisa ia asal bicara dan menyebutkan apa maunya. Jaga emage kali.

"Ya kamu harus peka, dong! Masa iya aku harus ngomong dulu, suami macam apa kamu?!" omel Ayla. Kenapa jadi dia yang salah?

"Maaf, aku gak peka," sesal Abian, menunduk sambil memainkan ujung baju seperti anak murid yang di marahi gurunya.

Pipi Ayla menggembung seperti sedang makan bakso, ia jadi merasa iba pada Abian. Laki-laki itu benar-benar berbeda dari semua laki-laki yang pernah ia kenal. Abian itu unik, lucu, kaku, dan ... Sedikit penakut pada perempuan. Itu yang Ayla tangkap.

Ayla mendekatkan wajahnya ke wajah Abian. Menikmati berapa tampannya suami dadakan-nya itu.

"Ke—kenapa, Kak?" tanya Abian gagap.

"Padahal, gampang lho bikin aku bahagia. Tanya dong, 'apa?' gitu!"

"Apa?" tanya Abian menuruti ucapan Ayla.

"Ajak aku ngobrol."

Kerutan terlihat jelas di kening Abian, pertanda kalau dia benar-benar tidak paham dengan maksud Ayla. Ngobrol, suatu hal yang sudah biasa di lakukan banyak orang. Bagaimana bisa hal sepele seperti itu membuat orang bahagia.

"Ngobrol?"

Ayla mengangguk, "Iya, kamu itu jarang banget ngobrol sama aku. Kalau ada maunya baru mau ngomong. Aku ini cerewet Abian, tapi kamu berhasil bikin aku jadi pendiam sejak nikah sama kamu," jelas Ayla.

Abian terdiam. Duh, rasanya seperti mau pingsan lagi. Ngobrol dua kali sehari saja sudah bisa membuat Abian kejang-kejang. Ini malah di suruh ngobrol tiap hari, tanpa jeda pula. Apa jadinya nanti.

"Kenapa? Gak mau?"

"Iya, aku mau kok." Senyum Abian mengembang sempurna, semakin membuat lelaki lulusan pesantren itu tampan bak pangeran.

Ayla pun turut tersenyum senang. Akhirnya ia bisa membujuk Abian untuk bicara. Segini senangnya kah ia bicara jujur pada suami? Jujur saja kalau Ayla memang ingin di perlakukan layaknya seorang istri. Di ajak bicara, itu sudah membuatnya senang.

Ayla berdiri dan berniat untuk ke dapur mengambil biskuit untuk camilan. Tak lupa juga ia membawa susu coklat kesukaannya.

"Makan," ucap Ayla sambil menyodorkan piring berisi biskuit miliknya.

"Makasih, Kak," jawab Abian. Ia mengambil satu potong biskuit dan memakannya.

"Oh, iya. Satu lagi, tolong jangan panggil aku 'kakak', aku kan istri kamu, masa di panggil kakak, sih?" pinta Ayla dengan suara kumur-kumur mengunyah biskuit.

"Tapi, Kak Ay kan lebih tua dari aku," kilah Abian.

"Se-tua itu aku di mata kamu? Dengerin, ya. Aku ini cuma tua setahun dari kamu, tapi gak terlalu tua juga." Ayla menyeruput susunya dan kembali berkata, "Nih, aku kasih tau ya. Aku Desember, dan kamu Januari, kita cuma beda sebulan Abian," lanjut Ayla.

Abian cuma mengangguk, menuruti ucapan Ayla. Saat dia hendak mengambil biskuit di piring, biskuitnya sudah habis. Abian hanya kebagian satu potong. Sementara sisanya, Ayla yang makan.

"Jadi kamu gak perlu manggil aku 'kakak' lagi, panggil aja Ayla," kata Ayla lagi, sifat cerewetnya sudah mulai kelihatan.

Jadi, seperti ini perempuan cerewet itu. Abian baru tau. Selama ini ia hanya kenal dengan wanita kalem dan bicaranya lemah lembut. Maklum lah, namanya juga anak pesantren, bergaul nya ya tidak jauh-jauh dari anak alim.

"Iya," jawab Abian atas perkataan Ayla tadi.

"Iya apa?"

"Iya, Ay—Ayla," gagap lagi.

Untuk pertama kalinya, Ayla mendengar namanya di sebut oleh sang suami. Sungguh membuatnya bahagia. Beginikah rasanya? Walau hanya mendengar nama kita di sebut suami, tapi itu sudah membuat Ayla senang. Walaupun dengan paksaan.

"Apa? Coba ulang sekali lagi," pinta Ayla, mulai ngelunjak.

"Iya Ayla," ucap Abian tegas dan kali ini kepalanya ikut berputar untuk menatap Ayla. Membuat wanita itu nyengir bahagia.

Ayla bahagia, tapi Abian deg-degan. Seperti orang yang baru jatuh cinta. Cepat-cepat Abian memutus kontak mata antara mereka yang tadi terlihat sangat dekat. Gugup terus kalau menatap Ayla terlalu lama.

"Eh, kalau mau panggil sayang juga boleh," bisik Ayla membuat Abian gelagapan dan langsung keluar kamar menuju kamar mandi.

Sedangkan Ayla tertawa puas. Abian semakin unik saja. Tak pernah ia merasakan tawa bahagia seperti ini, apa dia sudah bisa menerima pernikahan ini. Entahlah, hanya Allah yang tahu.

次の章へ