17 Febuari 2018
Saat itu, aku sedang berjalan jalan sekeluarga di luar kota. Aku melakukan banyak hal yang menyenangkan. Aku bermain wahana, makan makan di restoran, menonton film di bioskop, dan belanja barang di mall.
Dari pagi hingga sore sama sekali tidak terasa. Disaat itu aku sangat bahagia. Rasanya seperti rasa itu tidak akan datang kembali. Adikku senyum bahagia. Ayah dan ibu ku juga bahagia melihat kita bahagia.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.37, kita harus pulang agar tidak pulang kemalaman. Kami berjalan bersama menuju stasiun. Namun tidak seterusnya bersama.
Saat kita menuju stasiun. Adikku menarik narik ibuku untuk beli minuman hangat. Karena kita sedang terburu buru, kita akhirnya terpisah dengan ibu.
Aku menoleh ke belakang karena di samping ku, adikku tiba tiba menghilang. Dan ternyata tidak hanya adikku, ibu ku juga ikut menghilang. Aku melambatkan jalan dan mengamati sekitar sambil mencari ibu.
"IBU!! KOSAKI!!" teriak ku dengan lantang.
Tidak ada 1 pun respon suara dari mereka berdua. Aku perlahan lahan mulai gelisah. Aku pun berniat untuk memberi tau ayah tentang mereka berdua hilang.
Namun saat aku menoleh ke depan, ayah sudah tiada. Dia sudah jauh di depan, mungkin sudah di stasiun. Aku pun mulai tambah gelisah.
Berada di kota sebelah pada sore hari itu membuat ku sangat khawatir. Aku sangat takut akan ada yang terjadi pada mereka. Aku juga ingin menanyakan ke polisi namun disini sangat ramai. Tidak 1 pun polisi terlihat.
Orang orang juga sedang buru buru pulang ke rumah. Mereka juga sibuk dengan masalahnya sendiri. Aku tidak ada kesempatan untuk bertanya di mana polisi atau orang tua ku. Rasanya sangat sedih, aku ingin meneteskan air mata ku.
Tapi aku langsung mengusap air mataku sebelum jatuh dari mataku. Aku berniat untuk pergi sendiri ke stasiun yang jaraknya 4km. Disekeliling banyak sekali orang yang sama sekali tidak ku kenal. Dan pastinya juga tidak ada yang mengenalku. Karena aku berada di kota sebelah.
Jarak dari kota ku ke kota ini sangat dekat. Dengan hanya memakai kereta 20-30 menit saja sudah sampai. Namun tidak ada sama sekali yang mengenal ku dan orang tua ku. Muka muka mereka juga sangat asing.
Dengan banyak kekhawatiran, aku terus berlari mencari dimana letak stasiun. Siapa tau di sana, aku bisa mencari ayah lewat pengeras suara.
Aku berfikir, kalau ibu dan ayah bisa bertemu dengan hanya menelpon saja. Namun aku tidak punya alat komunikasi. Walau pun memakai telepon yang berada di pinggir jalan pun aku tidak tau nomor telepon mereka berdua.
Setelah beberapa menit pun akhirnya aku sampai di stasiun. Aku pun masuk ke sana dan melihat sekitar. Dan ternyata...
Aku melihat ayah yang sedang memainkan smartphonenya sambil menunggu kereta datang. Dia sedang bersender di pintu masuk kereta. Dia juga terlihat sedang mencoba menelpon seseorang.
Karena terlalu senang, aku pun berlari kearah ayah.
"AYAH!!" ucapku dengan lantang.
Ayahku yang mendengar teriakkan ku langsung melihat sekitar. Tapi dia sama sekali tidak melihatku diantara para kerumunan orang.
Orang orang sedang berbaris rapat di pintu masuk kereta itu menyebabkan ayah sulit menemukan ku. Karena ayah berada di paling depan pintu masuk kereta.
Aku pun berusaha menerobos orang orang yang sedang berbaris tersebut. Karena di perlukan tenaga, aku menerobos dengan sekuat tenaga.
Saat aku sampai di depan, aku secara tidak sengaja mendorong ayahku sendiri yang sedang bersender. Dan disaat yang bersamaan, kereta datang dengan cepat melaju.
Dengan senang aku memeluk tangan ayahku sambil menutup mata. Namun sayangnya itu hanya tangan saja. Aku tidak melihat badan ayahku.
Smartphone yg sedang di pegang ayah jatuh. Dan disaat jatuh, ibu ku pun menjawab permintaan telepon ayahku.
"Halo? Ayah? Ada apa? Halo! halo!"
Saat aku membuka mata, aku melihat banyak sekali percikan darah. Darah dari tangan yang aku pegang juga menetes terus menerus tanpa henti.
Aku pun menangis dengan sangat kencang.
Aku tidak tau apa yang terjadi. Orang orang menatapku dengan wajah ketakutan.
"lihat anak itu membunuh ayahnya sendiri."
"aku melihat dengan mataku sendiri ayahnya di dorong sama anaknya sendiri.
"dia membunuh ayahnya sendiri, benar benar mirip iblis."
Aku yang mendengar orang orang berkata itu semakin sedih.
"TIDAK!!! AKU TIDAK MEMBUNUH AYAHKU SENDIRI!"
"Dengar tidak kalian?! ANAK ITU TERTAWA!"
Saat mendengar orang berkata itu, aku mulai pusing. Apa maksudnya aku ketawa? Aku sedang nangis tau. Ayahku mati brutal di depan ku. Mana mungkin aku tertawa.
"Oh benar! Dia tertawa!"
"Tapi kenapa dia keluar air mata sangat banyak?"
"Mungkin dia sedang tertawa terbahak bahak."
Suara tangisan ku semakin keras dan membuat orang orang ketakutan. Tanpa aku sadari, suara tangisan ku terdengar seperti tawaan.
Berita tentang kematian ayahku dan tawaan ku pun melebar. Berita itu sampai masuk ke kota ku. Sejak saat itu orang orang sekitar ku banyak memanggil ku dengan panggilan IBLIS.
Teman teman sekolah ku juga demikian.
Tidak ada tempat yang aman bagi ku.
Karena kasus itu melebar luas, aku sampai di interograsi oleh polisi bersama ibuku. Untung saja para polisi mengerti dengan apa yang ibu bicarakan. Aku dilepaskan dari penuduhan karena aku masih anak anak berumur 10 tahun.
Dan sangat tidak mungkin aku memegang dendam dengan ayah ku sendiri.
Kehidupan di sekolah maupun di masyarakat ku sangat hancur. Mereka semua selalu menggosip ku dan mengatakan ku sebagai anak iblis.
Disekolah aku dibully oleh teman teman ku. Dan guru juga tidak ada satupun yang peduli akan ku.
Aku selalu diserang fisik oleh teman teman ku.
Saat istirahat makan, tasku dimasukan kuah ramen yang masih panas.
Sepatuku di buang ke tempat sampah. Aku sama sekali tidak dapat menemuinya hingga sampah di tempat sampah itu diambil oleh petugas.
Kertas kertas di buku ku di robek hingga abis dan dijadikan mainan.
Pensil ku di patahkan semua.
Bahkan meja ku dijauhkan oleh orang orang. Tidak ada yang mau mendukung ku.
"Iblis seharusnya mendapat siksaan yang pedih." begitulah kata mereka.
Orang yang selalu membully ku sampai pulas bernama Tokiwa Oga. Orang itu tidak pernah kulupakan seumur hidup ku. Dia adalah orang yang pernah kucatat dalam daftar orang yang akan kubunuh saking kesalnya.
Pembullyan terhadap ku tidak pernah berhenti.
Sampai pada akhirnya saat aku memasuki kelas 2 SMA, aku pindah rumah dan sekolah. Ibu ku juga pindah pekerjaan. Ibu ku sekarang bekerja di tempat kakaknya. Kakaknya ibu ku merupakan seorang bos dari perusahaan yang besar di kota itu
Di kota ini tidak ada 1 pun yang mengenal ku sebagai iblis. Aku bisa hidup tenang di kota ini.