Tibanya di kontrakan, Tommy dengan hati yang gembira membuka pintu dan langsung menghambur ke pintu kamar. "Oh, iya, kan aku tidak harus bawa baju."
Ia duduk di atas kasur. Dirogohnya ponsel dari saku celana lalu mengotak-atiknya. "Aku harus memberitahu kan hal ini pada mami." Setelah menemukan kontak yang bertuliskan nama "My Mom" Tommy segera membungkuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Tatapannya lurus. Ia masih sangat tidak yakin dengan perkataan Andrew bahwa ia akan segera menjadi ayah.
"Halo, Mi!" sapanya sambil berdiri. Ia mendekati balkon.
"Halo, Tom. Kamu kenapa, Nak? Ada apa? Kenapa nada suaramu panik begitu?"
Tommy terkekeh. "Maafkan aku, Mi. Aku tidak apa-apa. Aku hanya terlalu senang, tapi sebenarnya aku belum yakin, sih."
"Senang kenapa? Terus, apanya yang belum yakin?" Nada Lisa terdengar bingung.
Tommy membalikan tubuhnya menghadap ke kamar. Punggungnya bersandar ke pagar balkon yang bercat warna putih. Kakinya saling menyilang. "Tapi Mami janji dulu tidak akan terkejut." Tommy tahu kabar pasti akan mengejutkan Lisa, tapi ia toh akan bertanggung jawab. "Sepertinya Sherly hamil, Mi." Lisa terdiam. "Tadi dia meneleponku, katanya hari ini dia tidak masuk sekolah karena pusing dan muntah-muntah. Awalnya aku pikir hanya sakit biasa, tapi setelah aku tanya pada Andrew, katanya itu tanda-tanda orang hamil. Benar ya, Mi?"
"Eh, Tom?" Suara Lisa terdengar lirih. "Nak, eh... begini... apa kau yakin dia hamil?"
"Suara Mami kenapa berubah pelan? Mami tidak senang, ya?"
Lisa tertawa paksa. "Bukan begitu, Sayang. Mami justru senang akan segera punya cucu. Tapi... tapi kan Sherly masih kelas tiga. Dan sementara ujian akhirnya masih lima bulan lagi, Tom. Memangnya, sudah berapa lama dia terlambat bulan?"
"Itu dia yang membuatku tidak yakin, Mi. Aku belum menanyakannya pada Sherly. Oh, iya, malam ini aku akan terbang ke sana. Mungkin aku akan ambil penerbangan terakhir."
"Kau kan sibuk, Sayang. Biar Mami saja yang akan mengunjunginya."
"Jangan, Mi! Biar aku saja. Usahakan hal ini jangan sampai diketahui Om Harry dan Tante Lenna. Aku ingin memastikannya sendiri. Setelah kepastian itu benar, aku akan meminta bantuan Mami dan Papi untuk membicarakan masalah ini dengan orangtua Sherly."
"Tapi kalau Om Harry tidak setuju bagaimana?"
"Tidak setuju bagaimana, Mi?"
"Kalau dia masih ingin menyekolakkan Sherly ke perguruan tinggi bagaimana?"
Tommy membuang napas panjang. "Kalau pun memang Sherly positif hamil, mau tidak mau Om Harry harus mengiklaskan putri mereka untuk menikah muda." Tommy tertawa. "Aku rasa Om Harry takkan keberatan, Mi. Apalagi aku kan sudah mapan."
Lisa tertawa. "Baiklah. Mami akan membicarakan hal ini pada Papi. Kau sudah beli tiket?"
"Belum, Mi. Aku baru akan mengeceknya."
"Kalau bisa lebih cepat lebih baik."
"Iya, Mi."
Di sisi lain.
"Uweeek! Uweeeek!"
"Sherly!" Lenna manghambur ke kamar mandi begitu mendengar suara itu berasal. Saat itu ia membuka pintu kamar, tapi Sherly tidak ada di tempat tidur.
"Uweeek! Uweeeek!"
"Sayang! Kamu kenapa, Nak?" Lenna memijat-mijat punggung bagian atas Sherly saat gadis itu menunduk di depan wastafel. Sherly lalu mengulurkan tangan agar Lenna menghentikan pijatannya. "Tunggu sebentar. Mama ambilkanmu air minum dulu, ya."
Sherly berdiri lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Dilihatnya wajah cantiknya yang begitu pucat di depan cermin.
"Ini, Sayang. Minumlah." Sherly meraih gelas berisi air putih. "Wajahmu pucat sekali, Sherly. Kita ke dokter, ya?"
Sherly menggeleng. "Tidak usah, Ma. Aku tidak apa-apa. Aku hanya terlalu lelah dan sering terlambat makan."
Lenna menatap sedih sambil meraih gelas yang disondorkan Sherly. "Kau pasti memikirkan Tommy, ya?"
Sherly tersenyum samar lalu mengangguk. "Tadi dia meneleponku. Aku bilang padanya aku tidak masuk sekolah."
"Lalu dia bilang apa?"
"Dia marah." Sherly terkekeh lemah. "Mama tahu kan bagaimana Tommy? Kumohon, Mama, jangan katakan padanya kalau aku sakit. Aku tidak mau kalau dia tahu dan khawatir. Bisa-bisa dia akan terbang ke sini."
Lenna mengangguk sambil menepiskan anak rambut yang menjuntai di wajah Sherly. "Dia pria yang penyayang. Rasanya mama tak sabar lagi ingin menikahkan kalian."
"Aku masih harus sekolah, Ma," Sherly mengingatkan.
Lenna tertawa. Tapi sejurus kemudian dahinya mengerut. Dilihatnya Sherly memejamkan matanya erat-erat sambil memegang tangan Lenna. "Kau kenapa, Sayang?"
"Kita kembali ke kasur saja, Ma. Kepalaku pusing."
Pusing? pikir Lenna. Ia menggandeng lengan Sherly. Tadi muntah-muntah, sekarang pusing. Apa...? Matanya terbelalak menatap Sherly. "Sayang, apa kau sudah datang bulan?"
Sherly terdiam. Pertanyaan ibunya membuat jantungnya berdetak. Apa mama sudah tahu? pikirnya. Tapi kan aku belum menceritakannya. Sherly menoleh menatap ibunya. Apa sebaiknya aku jujur pada mama?
Lenna balas menatap putrinya. "Apa yang mama pikirkan itu benar, Sherly?" Nada suara Lenna tidak tinggi, namun wajahnya datar.
Sherly mendudukkan bokongnya di ranjang. Ia diam seribu bahasa.
"Tidak apa-apa, Sayang. Jangan takut. Mama tidak akan menghukummu." Diusapnya punggung Sherly dengan lembut. "Sekarang ceritakan pada mama, apa yang terjadi sebenarnya?"
Sherly mendongak menatap Lenna. Matanya nanar. "Maafkan aku, Ma." Ia menghambur memeluk ibunya dan menangis. "Maafkan aku. Aku tidak bisa menjadi anak yang baik bagi Mama dan Papa."
Lenna tersenyum haru. "Tidak apa-apa, Sayang. Semua orang punya kesalahan masing-masing. Mama juga dulu sepertimu. Andai mama tidak 'kecelakaan' mama pasti tidak akan menikah dengan papamu."
Sherly melepaskan pelukannya lalu menatap Lenna. "Tapi ini beda kasus, Ma."
"Beda bagaimana, Sayang." Lenna mengusap air mata Sherly dengan kedua tangannya. "Toh Tommy laki-laki yang bertanggung jawab. Ngomong-ngomong, apa dia sudah tahu masalah ini?"
Sherly menggeleng. "Jangan sampai dia tahu. Mi."
Kedua alis Lenna mengerut. "Kenapa?"
"Pokoknya aku tidak ingin dia tahu masalah ini."
Apa jangan-jangan Tommy tidak mau tanggung jawab? "Bisakah kau berikan alasan yang tepat kenapa kau berkata begitu?" Wajah Lenna datar.
"Ma, dia kan masih sibuk. Proyek yang ditangani sekarang juga cukup besar. Nanti apa kata Pak Malik jika Tommy harus meninggalkan proyek itu dan akan menikah. Apalagi Pak Malik tidak mempercayakan orang lain selain Tommy. Mungkin itu tidak masalah bagi Pak Malik, tapi itu kan nanti akan berpengaruh dihasil pekerjaannya nanti. Lagipula aku juga masih ingin mengikuti ujian nasional."
"Masalah ujian itu gampang, Sherly. Kau bisa ujian di rumah. Oh, iya, memangnya sudah berapa lama haidmu terlambat?"
Sherly menggeleng. "Aku tidak ingat. Yang jelas aku dan Tommy sudah melakukannya sejak tiga bulan yang lalu."
"Kalau begitu nanti malam mama akan mengantarmu ke dokter."
"Tidak, Ma. Aku takut."
"Takut kenapa? Memangnya dokter akan membunuhmu."
"Bukan. Aku takut papa akan marah."
Lenna tersenyum lalu memeluk Sherly. "Masalah papamu biar mama yang akan bicara. Percayalah, papa pasti tidak akan marah. Papamu justru senang jika kau segera menikah dengan Tommy."
***
Di kediaman Fabian, Charles dan Lisa sedang menikmati makan malam. Charles membawa topik tentang proyek yang masih ditanganinya dengan Harry. Ia menceritakan pada Lisa apa yang sering mereka lakukan di lokasi proyek.
Sebagai istri, Lisa pun mendukung suaminya sepenuhnya. "Apa yang kau lakukan itu yang terbaik, Sayang. Dan penerusmu adalah Tommy. Lihat saja dia sekarang." Membawa nama Tommy ke dalam topik pembicaraan adalah awal yang bagus bagi Lisa untuk mengatakan masalah putranya kepada Charles. "Eh, Pi," kata Lisa setelah membersihkan mulutnya dengan serbet linen berwarna kuning pucat. "Malam ini Tommy akan pulang."
Charles yang juga sudah selesai makan langsung menenggak setengah gelas air putihnya lalu menjawab, "Malam ini? Urusan apa?"
Lisa bergerak-gerak gelisah. Ia memborong wajah suaminya itu. "Katanya Sherly sakit dan dia ingin menjenguknya langsung." Lisa masih tak berani mengungkapkan hal yang sebenarnya. Melihat mimik wajah Charles yang masih datar, membuat Lisa takut untuk menceritakkan apa yang sebenarnya terjadi.
Charles menyandarkan diri ke punggung kursi. "Mungkin sebenarnya dia hanya merindukan gadis itu. Toh mereka sudah seperti kain kebaya. Tapi apa daya, pekerjaan Tommy adalah tanggung jawab. Dan mau tidak mau Sherly harus menjalani hubungan jarak jauh dengannya. Itu semua juga demi masa depan mereka, bukan?"
Lisa menunduk sesaat. "Pi?" Lisa menunggu sampai suaminya itu menatapnya. "Sekarang kan Sherly masih sekolah, kalau seandainya dia hamil dan meminta Tommy agar menikahinya, apa Papi tidak keberatan?"
Charles menatap Lisa lama sekali. Bayang-bayang dalam pikirannya pergi entah ke mana. Ia pun dengan panjang membuang napas. "Apa di balik pertanyaan ini ada mengandung unsur kebenaran, Mi?"
Lisa tampak merana. Ia pun menjelaskan pada Charles tentang percakapan dirinya dan Tommy tadi siang melalui telepon. Dilihatnya wajah Charles yang tampak biasa-biasa saja setelah Lisa menuturkan semua penjelasan itu sesuai dengan penjelasan Tommy. Ia pun merasa lega.
Charles membuang napas panjang. "Sebagai orang tua dari pihak laki-laki, kita harus bertanggung jawab akan hal itu." Wajah Charles yang tadinya menatap piring, kini berpaling menatap Lisa. "Tapi bagaimana dengan Tommy sendiri? Apa dia mau menikah muda?"
"Kedengarannya tadi dia sangat bahagia. Tapi menurutnya kabar ini belum tentu benar. Dia belum bisa mempercayai berita itu jika dia belum melihatnya sendiri. Apalagi keterangan Sherly tidak mengatakan soal kehamilan itu. Tapi dari penyampaian Tommy, berdasarkan gejalah-nya, mami yakin kalau gadis itu pasti sedang hamil."
Charles tak berkomentar. Dilihatnya piring bekas yang seakan adalah objek paling menarik baginya.
"Pi?"
"Hmm?" gumam Charles. Ia menatap istrinya dengan pandangan kosong.
"Kalau Tommy tiba, janganlah kau memasang muka muram seperti itu. Kau sendirikan yang bilang, kebahagiaan Tommy adalah kebahagian kita juga. Jadi mau tidak mau kita harus menerima kenyataan. Apalagi jika hal itu membuat Tommy senang."
Charles mengalihkan pandangannya di belakang pundak Lisa yang jaraknya lumayan jauh. Tatapannya terlihat kosong. "Aku bukannya tidak setuju, Mi. Orang tua mana yang tidak suka punya cucu? Apalagi cucu kita ini dibuat dari benih berkualitas dan bibit, bobot, bebetnya dari orang-orang yang pintar, cantik dan tampan."
"Lantas apa yang membuatmu muram, hah? Harusnya kau bahagia, Charles. Apalagi nanti di hadapan Sherly dan Tommy, kau tidak boleh memasang wajah seperti itu."
"Aku tahu. Tapi aku hanya...." Ia menatap Lisa yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. "Aku hanya tidak enak pada Ferry."
Lisa teekejut. "Ferry? Untuk apa? Apa hubungannya dengan Sherly dan Tommy."
"Maafkan aku karena aku tidak pernah menceritakan padamu." Ia membuka telapak tangan yang berada di atas meja untuk menerima uluran tangan Lisa. Wanita itu pun memberikan sebelah tangannya untuk digenggam Charles. "Sebenarnya dia ingin menjodohkan Andin dengan Tommy."
Lisa terkejut. "Apa?! Menjodohkan Tommy dan Andin?"
"Ya. Dan itu dikatakannya jauh setelah Tommy dan Sherly pacaran."
"Ya, Tuhan. Lalu apa katamu?"
Continued___
Sobat, jika kalian suka cerita ini, dukung ceritanya dengan masukin ke rak buku, kasih undian (power stone) dan komen di kolom review, ya? *) Thor terima kasih sekali bagi pembaca-pembaca yang masih setia dengan karya ini. Semoga ke depannya ceritanya makin suka, ya. :)