Almira terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Fahira yang mengatakan jika hatinya busuk. Sampai kapan pun dia tidak akan berubah jika itu ada hubungannya dengan Fahira. Entah sejak kapan Almira menjadi benci terhadap sang adik dan tidak mau berdamai untuk melupakan kebenciannya itu.
"Sampai aku mati pun kau akan menjadi adik yang paling aku benci," ujar Almira dengan nada menekan.
Fahira hanya menghela napasnya, dia tidak mengira jika kakaknya sangat membencinya. Padahal dia sama sekali tidak pernah berbuat salah pada kakaknya itu dan dia pun penasaran mengapa Almira bisa sangat membencinya.
"Apa alasanmu begitu membenciku? Apakah aku sudah berbuat salah padamu?" Fahira kembali bertanya pada sang kakak.
"Banyak alasan yang membuatku sangat membencimu dan kau tidak akan bisa menghitungnya," jawab Almira sembari menekan kening Fahira.
Almira pun mengatakan jika sebenarnya dia selalu berdoa agar Fahira mati dan dia akan berpesta semalaman untuk merayakannya. Dia sangat bersyukur jika semua itu terjadi tetapi apa yang diharapkan dan didoakannya tidak terkabul.
Namun, dengan melihat bahwa Fahira menjadi cacat itu sudah cukup membuatnya senang. Ditambah lagi pria yang menjadi suami Fahira saat ini begitu buruk rupa dan tidak pengertian.
Dia terus menghina suami Fahira yang menurutnya tidak tampan dan juga priaitu pergi begitu saja setelah pernikahan. Itu menandakan jika pria itu tidak suka dengan wanita cacat.
"Apa kau pernah berpikir jika suamimu itu pergi ke tempat lain dan sekarang sedang bersama dengan wanita lain yang lebih sempurna dibandingkan kau," ucap Almira yang sudah di luar batasannya.
"Sudah cukup. Aku muak mendengar perkataan busukmu itu!" tukas Fahira sembari menarik tangan Almira dan mencengkeramnya dengan erat.
Almira berusaha untuk melepaskan tangannya dari cengkeraman Fahira tetapi tidak bisa dan itu terasa sakit. Baru kali ini dirinya melihat ada kemarahan di raut wajah adiknya itu.
"Kau bisa terus menghinaku dengan mulut busukmu itu tetapi jangan pernah menghina pria itu karena kau tidak berhak!" Fahira berkata dengan nada menekan.
"Semuanya sudah siap?" Umi bertanya saat dia baru saja masuk ke dalam ruangan.
Fahira langsung melepaskan cengkeramannya dan langsung tersenyum pada sang umi yang baru saja masuk. Almira memegang tangannya yang terasa sakit.
"Ada apa dengan tanganmu?" tanya umi yang melihat Almira memegang tangannya.
"Tidak apa-apa Umi … tadi terbentur meja," jawab Almira untuk menyembunyikan apa yang sudah terjadi tadi.
Umi pun berjalan mendekat dan mengatakan pada Fahira jika sebentar lagi akan ada datang untuk menjemputnya. Dan sebelum orang itu tiba semuanya harus sudah siap.
"Um, apakah aku bisa pulang ke rumah dulu?" tanya Fahira pada sang umi.
Dia ingin pulang ke rumah kedua orang tuanya karena dia masih ingin merasakan kasih sayang dari umu dan abinya. Fahira belum siap kembali ke rumah orang tua dari suaminya.
"Itu tidak bisa Sayang karena kamu sudah menjadi seorang istri dan juga suamimu sudah berpesan agar kamu bisa kembali ke rumahnya," jawab umi.
"Umi, lebih baik izinkan saja Fahira untuk tinggal beberapa hari di rumah. Setelah itu barulah dia kembali ke rumah suaminya," Almira berkata pada umi.
Almira terlihat membatu Fahira agar terlihat baik di mata sang umi tetapi pada kenyataannya dia ingin membuat adiknya itu semakin menderita. Dia ingin melakukan sesuatu pada adiknya itu.
Dia ingin memperlihatkan semua kebahagiaannya yang sebentar lagi menikah dengan pria yang sangat tampan dan juga memiliki banyak uang. Almira akan menginjak-injak harga diri dari seorang Fahira Albiansyah.
Namun, umi tidak mengizinkannya karena sudah berjanji pada umi Halimah mulai hari ini Fahira akan tinggal di rumahnya. Meski dalam hati umi ingin membawa putrinya itu kembali ke rumah.
"Bagaimana kabarmu, Sayang? Apakah semuanya sudah siap?" tanya umi Halimah pada Fahira.
"Alhamdulillah baik, Um," jawab Fahira dengan sopan.
Umi Halimah berjalan mendekat pada Fahira lalu mengecup kening menantunya itu. Dia mengatakan jika kecupan itu adalah dari Azmi yang masih berada di luar negeri.
"Maafkan suamimu itu ya, dia belum bisa kembali karena masih banyak yang harus di selesaikan olehnya," ujar umi Halimah dengan lembut pada Fahira.
Fahira mengangguk, dia tidak mempermasalahkan akan hal itu karena saat ini dia juga belum siap untuk menjadi seorang istri sepenuhnya. Masih banyak kekurangan dalam dirinya termasuk kedua kakinya belum bisa di gerakkan.
Umi Halimah tersenyum lalu dia berjalan mendekat pada umi Salamah, dia membicarakan beberapa hal apa yang harus dilakukan olehnya. Dia pun mengatakan tidak perlu khawatir dengan Fahira karena dia akan menjaganya dengan baik.
"Kamu tenang saja Fahira akan kujaga dengan baik. Dia sudah aku anggap seperti putriku sendiri," Umi Halimah berkata pada umi Salamah.
"Aku percaya padamu karena aku mengenalmu sejak kita masih kecil," jawab umi Salamah yang mempercayakan Fahira di tangan sahabatnya sendiri.
Seorang perawat tiba dengan membawa sebuah kursi dorong, dia membantu Fahira untuk duduk di atas kursi dorong itu. Semuanya sudah siap dan Fahira pergi dengan Umi Halimah menuju rumah Azmi. Sedangkan Umi Salamah kembali bersama dengan Almira ke rumahnya.
Dalam perjalanan menuju rumah Fahira hanya diam, dia memikirkan bagaimana caranya untuk tetap menyembunyikan identitasnya sebagai agen rahasia. Dia tidak ingin membahayakan orang-orang yang ada di dekatnya.
Fahira pun tidak ingin melepaskan begitu saja orang yang sudah menyuruh pembunuh bayaran untuk menghabisinya. Dia akan mencari mereka yang sudah berani menyerangnya dan juga dia akan menghabisi penjahat itu.
Dalam benaknya juga memikirkan semua anggota timnya, dia merasa khawatir dengan mereka berempat. Namun, dia membuang rasa khawatir itu karena dia yakin mereka berempat pasti bisa mengatasi semuanya sebab mereka adalah wanita tangguh.
"Sayang, kita sudah tiba," ucap Umi Halimah yang menyadarkan Fahira dari dalam pikirannya.
Fahira melihat ke luar mobil, terlihat pemandangan yang sangat berbeda dengan rumahnya. Dia melihat sebuah rumah yang cukup besar, instingnya mengatakan jika keluarga suaminya bukan orang biasa-biasa saja.
Pintu mobil terbuka, Fahira melihat seorang pria yang sudah berdiri dengan senyum lembutnya. Dia adalah Abi Mafaz yang sudah menunggu kedatangan putrinya sedari tadi.
"Selamat datang Sayang di rumah," sambut Abi Mafaz dengan lembut.
Umi sudah berdiri dengan sebuah kursi di samping Fahira, dia mau membantu menantunya itu untuk duduk. Namun, Fahira mengatakan jika dirinya bisa berusaha sendiri duduk di atas kursi itu.
Akan, tetapi umi terlihat khawatir dan tetap ingin membantu Fahira dan itu membuat Fahira sedikit merasa jika dirinya akan selalu merepotkan Umi Halimah. Melihat istrinya yang terlalu khawatir Abi Mafaz pun menghentikannya.
"Um, kita harus percaya pada Fahira, ya." Abi Mafaz berkat dengan lembut pada istrinya itu.
"Iya, Um bisa percaya padaku bukan?" sambung Fahira.
"Maafkan, Umi ya … Umi tidak bermaksud …,"
"Tidak apa-apa Um," kata Fahira sebelum umi melanjutkan kalimatnya.