Tragedi itu terjadi sekitar 5 bulan yang lalu, saat itu sepulang sekolah aku sedang berjalan berdua dengan Elliot menuju rumah kami masing-masing.
"Hatsyiiiiiiiiiiii!"
Elliot menoleh seraya meringis menatapku, "Hoo, ya ampun sepertinya kau sedang flu, Emily. Kenapa kau tidak memakai masker? Apa kau tahu kalau debu-debu itu bisa membuat flu-mu semakin parah?"
"Hm, tenang saja aku membawa saputangan ini, untuk menutupi hidungku." Aku berkata seperti itu pada Elliot sambil memperlihatkan saputanganku padanya. Lalu tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dan menerbangkan saputangan yang sedang kupegang.
Seketika aku pun panik, "Aaaaah, saputanganku!" Aku berteriak dan menyaksikan sendiri saputangan berwarna putih bersih itu masuk ke dalam sebuah gedung tua yang kosong.
Elliot berdecak seolah-olah dia malas karena menganggap reaksiku yang berteriak histeris itu terlalu berlebihan, "Sudahlah, biarkan saja. Ayo, cepat kita pulang!"
"Tapi saputangan itu sangat penting untukku. Ibuku sendiri yang membuatkannya. Sulaman berbentuk bunga di saputangan itu, ibuku sendiri yang menyulamnya." air mataku nyaris keluar karena melihat pandanganku mulai buram.
Mungkin Elliot menyadari aku yang nyaris menangis karena tiba-tiba dia mengembuskan napas pelan, "Haah, baiklah, baiklah. Aku akan masuk ke gedung itu dan membawakan saputanganmu. Kau tunggulah di sini."
"Tidak, aku juga ikut."
Dengan tegas Elliot menggeleng, "Tidak. Kau tunggulah di sini, akan lebih cepat kalau aku mencarinya sendirian. Aku akan segera kembali!"
"Aku akan tetap ikut denganmu, Elliot. Mana mungkin aku diam di sini tanpa melakukan apa pun, sedangkan kau sibuk sendiri mencari saputanganku," ucapku, menolak perintahnya dengan tegas. Katakan aku begitu keras kepala tapi sungguh aku tidak enak hati jika membiarkan dia masuk sendiri ke dalam gedung padahal saputanganku yang terbang karena tertiup angin kencang dan masuk ke dalam.
Elliot memutar bola mata, "Haah, ya, ya, seperti biasa kau selalu keras kepala. Baiklah kalau begitu. Ayo, kita masuk!"
Detik itu juga aku tersenyum sumringah, senang karena dia akhirnya mengizinkanku ikut bersamanya masuk ke dalam gedung yang terlihat sudah tua dan tak berpenghuni tersebut.
Lalu tanpa ragu kami pun memasuki gedung tua itu. Di dalamnya sangat gelap, tidak ada sedikit pun cahaya, sehingga aku tidak bisa melihat benda-benda yang ada di sekelilingku. Setelah beberapa lama berada di dalam gedung, penglihatan kami sudah mulai terbiasa dengan kegelapan ini. Kami melihat sebuah tangga, lalu kami menaiki tangga itu karena yakin saputanganku berada di lantai atas jika mengingat saputangan yang terbang masuk ke dalam jendela lantai atas.
Namun, tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang basah dan lengket di pinggiran tangga. Aku tidak tahu apa itu, karena di sana benar-benar gelap. Tapi ketika aku menciumnya, aku mengetahui bau apa itu, itu adalah darah.
"E-Elliot, ini darah, kan?" Elliot memegang tanganku dan mendekatkan tanganku pada hidungnya.
"Iya, benar ini memang darah. Darahnya masih basah, ini artinya orang yang terluka itu baru saja menaiki tangga ini dan aku yakin dia ada di lantai atas. Kita harus berhati-hati, mungkin saja dia seorang penjahat. Kau tidak boleh jauh-jauh dariku, tetaplah di belakangku!" Aku menanggapi perkataan Elliot dengan sebuah anggukan.
Kami terus berjalan menaiki tangga, hingga akhirnya kami sampai di lantai atas. Kami mengedarkan mata menatap sekeliling, tapi di sini sangat gelap sehingga kami tidak bisa melihat apa pun. Kami melanjutkan langkah kaki kami. Akan tetapi, tiba-tiba …
"Aaaaarrhh!" Refleks aku berteriak karena yakin baru saja menginjak sesuatu dan nyaris membuatku terjatuh sehingga tanpa sadar aku berteriak sekencang itu.
"Ada apa, Emily?" Elliot tampak terkejut mendengar teriakanku yang tiba-tiba.
"A-Aku sepertinya menginjak sesuatu di lantai."
Elliot mengambil handphone-nya dan menyalakan aplikasi senter untuk melihat apa yang baru saja terinjak oleh kakiku.
"Aaaaaakhhh!" Untuk kedua kalinya tanpa sadar aku berteriak. Bagaimana tidak berteriak, aku melihat sepasang kaki menjulur di lantai. "Apa itu mayat?" tanyaku.
Elliot mendekati orang yang tergeletak di lantai. Dia seorang wanita paruh baya, sepertinya berusia sekitar 40 tahunan.
"Dia masih hidup, tapi dia terluka di bagian perutnya. Sepertinya darah yang menempel di tanganmu tadi adalah darah wanita ini."
Aku segera menghampiri Elliot dan benar yang dia katakan, wanita itu terlihat masih bernapas. Aku berjongkok dan mencoba menghentikan darah yang terus keluar dari perut wanita itu.
"Emily, jangan dekati dia. Lukanya itu, aku yakin itu luka karena tembakan. Mungkin saja dia seorang penjahat."
"Tapi Elliot, kita harus menghentikan pendarahannya. Kalau tidak, dia bisa mati."
"Aku akan menelepon polisi, biar mereka yang menangani wanita ini. Lebih baik kita pergi dari sini, entah kenapa aku merasa wanita ini sangat mencurigakan?"
Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Elliot, bagaimana dia bisa membiarkan orang yang terluka di depan matanya begitu saja? Dia bahkan berniat meninggalkan wanita ini. Aku tidak menghiraukan perkataan Elliot dan tetap berusaha menghentikan darah wanita itu yang terus saja keluar dari lubang menganga di perutnya.
Tapi tidak ada satu pun benda yang bisa kugunakan untuk menghentikan darahnya, walau aku menekan luka itu dengan telapak tanganku sama sekali tak berpengaruh karena darahnya tetap keluar. Lalu aku menatap ke arah Elliot dan menemukan sesuatu yang kupikir bisa kugunakan untuk menghentikan darah wanita itu.
"Elliot, lepas dasimu!"
Elliot melongo, "Haah? Kenapa??"
Aku berdecak kesal karena dia banyak bertanya alih-alih langsung menuruti permintaanku. "Sudah turuti saja perkataanku!"
Dengan raut wajah kebingungan, Elliot menuruti perkataanku. Dia melepas dasinya dan memberikannya padaku. Aku mengikatkan dasi itu pada luka wanita itu. Tapi sebelum aku selesai mengikatkan dasi itu pada lukanya, wanita itu sadar dan tiba-tiba mengambil sesuatu dari saku celananya dengan gerakan sangat cepat.
"Emilyyyy, pergi dari situ! Orang itu memiliki pistol!!" Itu teriakan Elliot dari belakang tubuhku. Namun, percuma karena gerakan tangannya yang begitu cepat, aku bahkan tak sempat menghindar.
"Hahaha… benar yang dikatakan bocah laki-laki itu, aku memiliki pistol. Jangan salahkan aku kalau aku menembakan pistol ini pada kalian, karena salah kalian sendiri masuk ke tempat persembunyianku ini dan apa yang baru saja ingin kau lakukan padaku?" Wanita itu mengatakan itu sambil menodongkan pistolnya kepada kami.
"A-Aku hanya ingin mencoba menghentikan pendarahan pada lukamu."
Wanita itu tampak terkejut setelah mendengar perkataanku. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari luar gedung, aku yakin sekali itu suara sirine mobil polisi. Sepertinya tadi Elliot benar-benar menghubungi polisi. Wanita itu terlihat panik, dia menangkap tubuhku yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Jangan bergerak kalau kau tidak mau peluru di pistolku ini menembus kepala gadis ini."
Wanita itu berjalan menuruni tangga sambil terus memegangiku seraya mencengkeram leherku dengan kuat seolah dia berniat meremukkan tulang leherku. Dia menodongkan pistolnya tepat di kepalaku hingga moncongnya menempel sempurna di keningku.
Dia terus berjalan, hingga akhirnya kami sampai di belakang gedung. Ada sebuah mobil di sana, lalu wanita itu memaksaku masuk ke dalam mobil. Wanita itu mulai menjalankan mobilnya, entah ke mana dia akan membawaku pergi? Sekarang aku benar-benar menyesal karena tidak menuruti perintah Elliot. Seandainya tadi aku tetap menunggu di luar gedung atau menurutinya untuk tidak mendekati wanita itu pasti kejadian seperti ini tidak akan menimpaku. Namun, sekarang menyesal pun percuma karena nasi telah menjadi bubur. Wanita jahat ini … sekali lagi aku tidak tahu kemana dia akan membawaku.