webnovel

The Dangerous Love Zone - 02

Drrttt.. Drrtt.. Drrrtt..

Azami yang sedang memperhatikan pekerja mengaplikasikan gambar desain buatannya pada dinding kafe, merasakan ponselnya yang berada didalam saku celana bergetar.

Azami pun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana untuk melihat siapa yang menghubunginya saat ini.

'My Mom'

Azami menolehkan kepalanya kearah teman semasa kuliahnya.

"Tamaki-kun. Aku ingin keluar untuk mengangkat panggilan telepon." Ujar Azami pada teman semasa kuliahnya yang masih fokus memperhatikan pekerja.

"Oh ok. Nanti setelah makan siang, kita akan meeting lagi dengan pemilik kafe." Balas teman Azami dan direspon anggukan kepala oleh Azami, sebelum dirinya berjalan keluar kafe.

Setelah berada di luar kafe, Azami pun langsung mengangkat panggilan dari sang Ibu.

"Halo, bu?" Sapa Azami menunggu balasan dari seberang sana.

'Halo Azami? Maaf ibu baru bisa menghubungi sekarang.'

Azami mengulaskan senyum kecil diwajahnya. "Tidak apa-apa. Ibu dan Ayah pasti sibuk mengurusi keperluan kakek disana."

'Ya begitulah. Tapi saat ini keadaan kakek mu sudah sedikit membaik.'

Azami menganggukan kepalanya, meski dirinya tahu jika sang Ibu tidak dapat melihatnya. "Syukurlah jika kakek sudah membaik."

'Ya. Bagaimana kabar mu dan Yuri? Kalian baik-baik saja kan?'

"Ibu dan Ayah tidak perlu khawatir. Aku dan Yuri baik-baik saja. Nagisa-san selalu mengingatkan dan membuatkan kami makanan."

Azami dapat mendengar sang Ibu menghela nafas lega di seberang sana.

'Syukurlah. Ibu dan Ayah kemungkinan baru bisa pulang lusa, setelah benar-benar memastikan keadaan kakek kalian baik-baik saja. Kalian tidak apa-apa kan?'

"Kami tidak apa-apa. Lagi pula kesehatan kakek lah yang paling penting saat ini." Balas Azami

'Kamu benar. Kami lusa akan pulang dengan jam penerbangan pukul satu siang. Jadi kemungkinan sore kami akan sampai bandara.'

"Baik, aku akan memberitahukan Yuri. Kami akan menjemput di bandara dan kita akan sekalian pergi makan malam bersama."

Terdengar gelak tawa dari seberang sana.

'Ya benar. Kita akan makan malam bersama. Ibu dan Ayah sudah sangat merindukan kalian.'

Azami ikut terkekeh mendengar perkataan sang Ibu. "Kami juga sangat merindukan kalian. Terutama Yuri."

'Adik mu memang selalu seperti itu. Yasudah jika begitu. Ibu menghubungi mu karena merindukan suara mu dan Yuri hehehe.'

Azami berdeham merespon perkataan sang Ibu.

'Yasudah, kalau begitu ibu matikan sambungan teleponnya. Kamu jangan telat makan dan jangan terlalu memaksakan diri dalam projek.'

"Baik, aku tidak akan memaksakan diri. Ibu dan Ayah juga, disana."

Ibu Azami terkekeh. 'Ya, kami juga. Yasudah, ibu tutup dulu ya. Nanti malam akan ibu telepon lagi saat kalian sudah berada dirumah.'

"Baik. Daaah, i love you mom, dad."

'Ya ya, I love you too my soon. Byee.'

Setelahnya panggilan telepon pun terputus. Azami menghela nafas panjang, lalu memasukan kembali ponselnya kedalam saku celana dan berjalan memasuki kafe menuju tempat temannya.

***

"Niichan, apa ibu dan ayah masih lama?" Tanya Yuri sambil duduk bersandar pada Azami yang sedang menatap papan jadwal penerbangan di depan mereka.

"Sepertinya, tadi penerbangan mereka mengalami keterlambatan. Apa kamu ingin makan terlebih dulu?" Tanya Azami kembali pada Yuri sambil mengusap puncak kepala sang adik dengan lembut.

Yuri yang masih bersandar pada Azami menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak. Aku ingin makan malam bersama Ayah dan Ibu."

Azami menghela nafasnya. "Baiklah kalau kamu tidak mau makan. Biar Niichan ambilkan susu cokelat mu di dalam mobil ya?"

Yuri menganggukan kepalanya pelan, lalu Azami meminta tolong kepada Nagisa untuk menjaga Yuri selama dirinya pergi menuju mobil.

Azami yang baru saja keluar dari pintu bandara dan merasakan ponsel yang berada di dalam saku jaketnya bergetar, langsung menghentikan langkah kakinya untuk mengambil ponsel dan melihat siapa yang menghubunginya saat ini.

Sebuah kerutan tercetak di kening Azami saat mendapati sebuah nomor asing muncul di layar ponselnya. Dengan rasa penasaran, Azami menekan ikon hijau untuk menjawab panggilan tersebut.

'Hallo, selamat malam? Benar ini dengan Azami Furuichi?'

Azami menaikan sebelah alisnya heran. "Ya benar, saya Azami Furuichi."

'Saya staf dari bandara Nagoya, ingin menyampaikan berita duka. Jika pesawat yang di tumpangi oleh Tuan Yusuke Furuichi dan Nyonya Aoi Furukawa dari Bandara Nagoya Chubu Centair menuju Bandara Tokyo Narita, mengalami kecelakaan dan kami kehilangan kontak dengan pilot kami.'

Deg.

Azami yang mendengar perkataan seorang perempuan dari seberang sana merasakan detak jantungnya berhenti sesaat dan kini rasa sesak mulai menyelimutinya.

"A-anda pasti berbohong. Itu tidak mung-

Perkataan Azami terhenti saat dirinya mendengar nada pemberitahuan di bandara.

Ting.. Nong.. Teng.. Nong..

'Selamat malam kepada seluruh penumpang yang berada di bandara Tokyo Narita saat ini. Kami menginformasikan, jika sejak pukul lima lewat tiga puluh sore tadi sampai saat ini, kami kehilangan kontak dengan pesawat yang melakukan penerbangan dari Bandara Nagoya Chubu Centair pukul satu siang menuju Bandara Tokyo Narita. Saat ini kami masih sedang dalam pencarian lokasi pesawat berada. Diharapkan bagi yang memilik keluarga menjadi penumpang pesawat ini untuk tetap menunggu informasi lebih lanjut.'

Azami mematikan panggilan teleponnya secara sepihak dan langsung berlari kembali masuk kedalam bandara.

Azami dapat melihat Nagisa sedang memeluk tubuh bergetar Yuri.

"Y-yuri." Panggil Azami dengan suara bergetar dan langsung memeluk erat tubuh Yuri.

"N-niichan, hiks.. hiks.. hiks.. A-yah dan I-ibu akan hiks.. hiks.. pulang hari ini kan?" Tanya Yuri dengan sesenggukan didalam pelukan Azami.

Nagisa yang sudah tidak kuasa menahan rasa sedihnya pun memeluk tubuh bergetar Azami yang sudah dirinya anggap seperti anak sendiri.

"N-niichan tidak tahu. Niichan juga berharap Ayah dan Ibu akan pulang malam ini bersama kita." Jawab Azami semakin mengeratkan pelukannya pada Yuri saat memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi dan hanya Yuri lah satu-satunya sosok yang dirinya miliki saat ini.

"Azami-kun?"

Nagisa yang mendengar seseorang memanggil nama Azami pun menguraikan pelukannya. Begitu juga dengan Azami yang kini menolehkan kepalanya kearah seorang pria paruh baya berbalutkan jas berwarna cokelat tua.

"Paman Renji." Balas Azami yang mengenali pria paruh baya itu, sebagai sahabat sang Ayah sekaligus pengacara pribadi keluarganya.

"Sudah paman duga kalian berada disini." Ujar pria paruh baya yang dipanggil Renji sambil memeluk erat tubuh Azami.

"Paman, ini pasti tidak benar bukan? Ayah dan Ibu pasti akan pulang malam ini kan paman?" Tanya Azami masih dalam pelukan erat Renji.

Renji yang mendengar pertanyaan dari Azami hanya mampu memeluk erat tubuh rapuh putra sulung dari sahabat baiknya.

"Kamu harus bisa menerima dengan keadaan paling terburuk, Azami."

Azami terdiam kaku didalam pelukan Renji. Dirinya sudah menduga, sekeras apapun dirinya mengelak jika semua akan baik-baik saja, namun tetap saja kemungkinan terbesar dirinya akan berpisah dengan kedua orangtuanya sangat lah besar dan begitu menyakitkan.

"A-aku masih belum mampu mengambil alih semua tanggung jawab ini dan juga perusahaan milik Ayah, paman."

Renji menepuk-nepuk pelan punggung Azami untuk menenangkan dan menguatkan pemuda itu. "Kamu pasti dan harus bisa. Kamu tidak ingin bukan perusahaan yang sudah di bangun dengan susah payah oleh Ayah mu jatuh ketangan yang salah?"

Azami memilih diam, tidak menjawab pertanyaan Renji saat dirinya mengingat bagaimana sifat licik dan serakah para sanak saudaranya.

"Kamu harus kuat Azami. Cepat atau lambat mereka pasti akan datang untuk mencoba mengambil alih dari mu." Ucap Renji yang kini sudah menguraikan pelukannya dari tubuh Azami dan kini tatapan matanya beralih kepada Yuri yang sedang menatapnya dengan wajah sembab.

"Yuri-chan, sini dengan paman." Ucap Renji yang kini sudah membawa tubuh Yuri kedalam pelukannya.

"Hiks, paman Ren. A-ayah dan I-ibu akan pulang malam ini kan? Y-yuri rindu ayah dan ibu." Ujar Yuri sambil tersedu di dalam pelukan Renji.

Renji mencoba menegarkan dirinya. Karena dirinya juga merasa sangat terkejut, menerima kenyataan jika sahabat baiknya akan pergi terlebih dulu meninggalkan dirinya dan putra, putrinya.

"Yuri-chan. Paman tahu ini sangat berat, tapi kamu harus bisa menerima kemungkinan terburuk yang terjadi sayang."

Renji mengusap lembut punggung Yuri yang masih bergetar karena menangis.

"Kamu harus selalu ingat, jika Ayah dan Ibu mu sangat mencintai kamu dan kakak mu. Mereka akan selalu bersama kalian."

Yuri tidak menjawab perkataan Renji, sahabat sang Ayah yang sudah dirinya anggap seperti ayah keduanya.

Renji masih tetap mengusap pelan punggung Yuri dan kini tatapannya mengarah kepada Azami, memberi kode kepada pemuda itu untuk pegi kembali kerumah.

Azami yang mengerti kode dari Renji, dengan berat hati menganggukan kepalanya lalu berjalan bersisian dengan Nagisa dan Renji yang masih menggendong Yuri untuk pergi kembali kerumah.

Azami dapat merasakan setelah dirinya keluar dari bandara, beban yang akan dirinya emban di kedua bahunya akan sangatlah berat. Seperti apa yang selama ini diemban oleh Ayahnya seorang diri.

次の章へ