Caution! Cerita ini penuh dengan Adegan yang tidak patut untuk di tiru. Adegan di dalam novel ini mengandung beberapa Adegan Gory yang menyebabkan rasa tidak nyaman setelah membacanya. Dianjurkan bagi para pembaca yang sudah menginjak 18 tahun ke atas. Labirin (dimensi misteri) Angga, menjadi salah satu dari banyaknya orang yang terpilih yang pada akhirnya masuk ke dalam sebuah tempat yang tidak pernah ia datangi sebelumnya. Tempat itu merupakan sebuah dimensi yang penuh dengan tanda tanya, dan menjadikan orang-orang yang masuk ke dalamnya merasa depresi hingga pada akhirnya menyebabkan mereka memiliki sifat egois yang tinggi, bahkan sifat itu mampu membuat mereka menjadi seseorang yang tega menghabisi nyawa orang lain secara sadis. Sifat itu muncul secara naluri karena mereka ingin mendapatkan kunci untuk kembali pulang ke dunia yang pernah mereka singgahi. Tidak ada waktu yang berdentang, tidak ada pula situasi siang dan malam yang mendatangkan mentari dan rembulan. Hanya memiliki terang beserta gelap sebagai penggantinya, dan juga dinding semak tinggi yang menutupi pandangan dalam mencari jalan keluar. Tak ada yang bisa di lakukan oleh Angga selain melawan balik mereka yang hendak menyakitinya dan melindungi orang-orang yang membutuhkan dirinya. Satu hal yang bisa dilakukan oleh Angga, bertahan dan berusaha untuk mendapatkan kunci kembali. Bagaimana perjuangannya untuk bisa lolos dari dimensi misteri itu??
…
Siang itu, tepat di atap sebuah kantor yang memiliki ketinggian hingga mencapai lima belas meter ke atas, seorang lelaki tengah terduduk dengan tenang di pagar pembatas atap kantor tersebut. Mungkin bagi sebagian orang yang melihatnya saat ini, lelaki itu tampak begitu putus asa, lelaki itu terlihat seperti seseorang yang sudah menyerah dengan kehidupan kejam yang tengah dirasakan oleh dirinya.
Tidak. Pada dasarnya dia tidak seperti yang orang lain pikirkan. Ya, dia adalah lelaki yang tidak pernah menyerah, karena dia memiliki sebuah pendirian yang kuat meski angin, hujan dan bahkan badai pun menerpa dirinya seperti hari-hari yang telah berlalu di dalam kehidupannya.
Sebuah pengkhianatan Cinta yang baru saja dilakukan oleh sang wanita pujaan hati, membuatnya berusaha untuk berdiri sebisa mungkin di dalam badai kehidupannya, ia menopang dirinya dengan sebuah kayu penyangga yang kuat, hingga mampu bertahan di dalam terpaan badai yang ganas. Ia sudah berusaha sejauh itu. Namun sepertinya takdir berkata lain, Ia harus kembali terjatuh dari pijakkannya. Seperti angin topan yang datang di dalam badai yang ganas.
Lelaki itu pun akhirnya amat terpuruk ketika Ibunda pergi meninggalkannya dua hari yang lalu. Topangan yang menguatkan kedua kaki dari dirinya pun hancur dalam sekejap, seperti gumpalan debu yang lenyap begitu saja setelah sebuah angin menerpanya. Ia tidak lagi bisa berdiri dengan benar, sehingga badai yang kecil pun mampu menggoyahkan dirinya. Meski begitu, ia bukanlah orang bodoh yang dengan nekad mengakhiri hidupnya setelah merasakan sakitnya ditinggalkan.
Bunuh diri tidak akan membuat masalah yang tengah memberatkan bahu mu saat ini menghilang dengan begitu saja, sama halnya dengan menangis, sekencang dan sehebat apa pun kau melakukannya, itu semua tidak akan membuat masalah yang kau hadapi terselesaikan. Yang harus kau lakukan adalah menghadapinya sesulit apa pun itu.
Kata-kata yang dilontarkan oleh sang Ayah saat itu lah yang menjadi pijakkan dari lelaki yang kini tengah menikmati hembusan angin yang kencang serta dingin nya hawa yang di bawa oleh angin siang hari yang terlihat berawan di waktu istirahat siang itu.
"Hei Angga!" sebuah panggilan yang terdengar cukup kencang dari belakang sana, membuat lelaki yang bernama Angga yang saat itu tengah terduduk di pagar pembatas pun menoleh menatap ke arah seorang lelaki yang baru saja datang dengan membawa dua buah cangkir coffee di kedua tangannya, kedua mata dari lelaki itu kini menatap Angga dengan cukup tajam.
Tidak ada satu pun kata yang dilontarkan oleh Angga selain tersenyum dengan tipis kepadanya, dan senyuman yang ditunjukkan olehnya itu membuat lelaki yang baru saja memanggilnya beberapa saat yang lalu pun kembali berucap,
"Bila kau ingin mengakhiri hidupmu, jangan lakukan itu di sini kawan!" ucapnya.
Ia berucap seolah mencegah Angga, karena Ia pikir bahwa Angga akan melompat dari atas gedung kantor itu, dan ucapan dari lelaki itu kembali membuat Angga menggelengkan kepalanya tanpa menoleh menatap teman yang satunya itu. Ucapan yang dilontarkan oleh dirinya tidak begitu di anggap, membuat lelaki yang menggenggam dua cangkir coffee tersebut pun kembali berucap dengan lebih keras.
"Angga! Tidakkah kau kasihan kepada Anak dan Istrimu?!" tanya lelaki itu, yang pada akhirnya membuat Angga merasa terganggu dan kini menoleh menatap lelaki yang berjalan mendekatinya, dengan sengaja ia pun meletakkan dua cangkir coffee yang sempat ia genggam itu di bawah dekat pintu masuk atap kantor mereka, ia bermaksud menyelamatkan kedua cangkir coffee tersebut agar tidak tumpah karena aksinya yang kini merentangkan tangannya kepada Angga di kejauhan sana.
Berakting seolah dia benar-benar mencegah Angga untuk melompat dari atap kantor tersebut, dengan raut wajah yang dipaksakan untuk menunjukkan bahwa ia sedang merasa khawatir dan akting itu sangatlah buruk.
"Kau benar Abbas, aku merasa kasihan kepada mereka, tapi … setahuku, aku tidak memiliki seorang anak maupun seorang istri." jelas Angga kepada lelaki yang bernama Abbas yang kini terlihat bodoh karenanya.
Raut wajah yang semula memperlihatkan kecemasan kini menjadi datar setelah mendengar ucapan Agga. Tidak kehabisan ide, Abbas pun menggelengkan kepalanya dan kembali berakting seraya berucap, "kau memilikinya bodoh! Mereka … berdua … menunggu di masa depanmu!"
Mendengar ucapan yang di terangkan oleh Abbas, membuat Angga yang mendengarnya kini tertawa seraya beranjak dari pagar pembatas dan berbalik menoleh menghadap Abbas, ia melepaskan jas yang ia kenakan dan melemparkan jas miliknya ke arah Abbas. Lemparan itu pun tepat mengenai wajah Abbas yang saat itu tertawa dan membuat Angga ikut tertawa karenanya, setidaknya tawa mereka berdua siang itu sedikit meringankan beban pikiran yang di pikul oleh Angga hari itu.
"Apakah kau tidak merasakan dingin? Angin yang berembus hari ini lumayan kencang loh." terang Abbas kepada Angga yang kini menoleh seraya menggelengkan kepalanya.
"Emang iya?? sedari tadi aku di sini kok, kurang dingin malah!" sahut Angga kepada Abbas yang kini menoleh menatapnya dengan penuh rasa kecurigaan, merasa bahwa Abbas menatapnya seperti itu, membuat Angga pun akhirnya bertanya, "Apa??"
"Ga liat berita cuaca apa?! sekarang itu Angin di sini lagi gede banget, Angga! Bisa sakit, kalau lama-lama diam di luar!" jelas Abbas kepada Angga yang kini menggelengkan kepalanya.
"Kalau menurut aku, angin sebesar ini ya kurang." celetuk Angga, hal itu membuat Abbas yang tengah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat pemandangan sekitar pun kembali menolehkan pandangannya menatap Angga yang kini kembali berucap, "Aku butuh yang lebih dingin lagi dari ini, Bas."
Ucapan yang di lontarkan oleh Angga saat itu, membuat Abbas terdiam untuk berpikir sejenak dan kemudian bertanya, "Untuk mendinginkan kepalamu?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat Angga menganggukkan kepalanya tanpa menjawab dengan kata-kata. Hal itu membuat Abbas menghela napasnya. Ya, Abbas mengetahui tentang semua masalah yang tengah menimpa Angga, rekan kerjanya. Itulah salah satu sebab kenapa Abbas bisa berada di sini bersama dengan Angga, karena Abbas sengaja mencari Angga setelah bel istirahat tiba, Abbas merasa khawatir dengan keadaan yang tengah di alami oleh Angga, dan menjadi semakin khawatir ketika dirinya menemukan Angga duduk-duduk di pagar pembatas atap kantor seperti saat ini.
Meski pun Abbas tahu, bahwa temannya yang satu ini tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti bunuh diri. Namun, siapa yang tahu? Kali saja orang yang memiliki pendirian kuat di mata orang lain pun, pada akhirnya akan menyerah ketika sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.
Melihat raut wajah Abbas yang saat itu terlihat tengah memikirkan sesuatu dan terlihat sangat cemas, membuat Angga turun dari pagar pembatas itu, menghampiri Abbas dan menepuk bahunya untuk menyadarkan Abbas yang kini dengan segera menoleh menatapnya dan dengan spontan tersenyum kepada dirinya.
"Lagi apa?? melamun di depan teman lu sendiri, mana wajahnya jelek lagi!" sindir Angga, mengejek Abbas yang hanya kini terkekeh karenanya.
Ditepuknya bahu Angga dengan cukup kencang oleh Abbas saat itu, hingga Angga mengaduh karenanya, "Ayo! Kita harus bersiap untuk rapat, biar Pak Syahmi tidak menunggu lama, dan kita bisa pulang cepat!" ajak Abbas kepada Angga.