*Flashback*
"Abi ... huhuhu ... kenapa Abi, Pak?" tanya Laila sembari menangis tersedu.
"Nduk, tabahkan hatimu, Nduk. Abimu sudah tenang di alam sana. Abimu sudah meninggal," jelas pria paruh baya yang mengantarkan Fattah ke rumah.
"Tenang, Laila. Di sini ada Kakek yang akan menjagamu." Pramono memeluk Laila.
Pramono pun merasakan kesedihan yang teramat. Sekarang keluarga yang tersisa hanyalah cucunya, Laila dan menantunya, Maisaroh. Mereka harus hidup dengan kondisi tanpa seorang anak, suami, dan seorang ayah.
Atas meninggalnya Fattah, membuat semua bersedih. Saat Maisaroh terbangun, ia sangat terpukul dan harus dibawa ke klinik terdekat. Karena klinik tidak memiliki alat canggih seperti rumah sakit, Maisaroh dirawat dengan seadanya.
Laila menjadi anak yang pemurung saat itu. Ia jarang bermain di usianya yang masih anak-anak. Ia lebih suka mengurung dirinya untuk belajar agama. Sementara Maisaroh harus dirawat oleh kerabatnya.
Mendengar kabar Maisaroh yang tengah sakit keras, membuat keluarganya datang dan membawa ke rumah sakit di kota. Mereka ingin menyelamatkan Maisaroh dan segera membawanya pergi.
Laila pun dirawat oleh Pramono mulai saat itu. Anak itu semakin murung dan kadang tidak mau makan. Membuat Pramono kebingungan. Ingin ia menemui keluarga Maisaroh agar Laila dipertemukan dengan umminya. Namun Pramono membatalkan niatnya karena mereka tidak akan setuju.
Laila jarang bertemu dengan umminya, saat Maisaroh dalam keadaan terburuknya. Hanya kerabat yang mengurus, Laila tidak diperbolehkan untuk menjenguk Maisaroh.
Baru setelah dua bulan berlalu, sesuai permintaan terakhir Maisaroh yang ingin bertemu dengan Laila, kondisi Maisaroh kini sangat lemah. Diperkirakan nyawanya tidak sampai satu minggu. Maisaroh dapat bertemu kembali dengan putrinya, Laila.
"Ummi ..." panggil lirih Laila. Gadis itu menangis di hadapan Maisaroh.
"Laila ..." lirih Maisaroh. Betapa bahagianya bisa bertemu dengan gadis mungilnya. Dua bulan tidak bisa bertemu membuat kerinduannya terbayar sudah. Namun ini adalah pertemuan terakhirnya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
"Ummi, kenapa Ummi nggak ngabarin Laila? Apa Laila nakal sama Ummi? Kalau iya, Laila janji enggak nakal lagi. Asal Laila bisa sama Ummi," tutur Laila di depan Maisaroh.
Laila sangat polos dan jujur. Ia tidak ingin apapun kecuali bisa bersama Dengan Maisaroh. Ia ingin Maisaroh bisa kembali padanya. Memasak untuknya, mengajari ngaji padanya. Dan semua yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya.
"Laila nggak nakal, kok." Maisaroh meneteskan air matanya. Bagaimana dirinya tega membiarkan Laila hidup tanpa kasih sayangnya? Sedangkan Laila adalah darah dagingnya. Gadis kecil yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri.
Sebagai seorang ibu, Maisaroh merasa egois karena tidak memikirkan Laila. Ia menyesal karena ia tidak akan bisa melihat Laila tumbuh dewasa seperti yang ia impikan. Tiba saatnya ia untuk menyusul suaminya yang terlebih dahulu berpulang.
"Laila ... ummi minta maaf sama Laila, yah. Tapi ingat pesan ummi pada Laila." Maisaroh menyentuh kepala Laila.
"Ummi." Laila meneteskan air mata juga. Ia menggelengkan kepala seraya menghapus air matanya.
Laila menunggu apa yang akan disampaikan Maisaroh padanya. Ucapan terakhir sebagai sebagai seorang ibu yang tidak mungkin bisa menemani Laila hingga tumbuh dewasa dan berumah tangga.
"Laila, ingatlah ... ummi dan abi akan selalu hidup di hatimu. Kami akan menemanimu di manapun Laila berada." Maisaroh berhenti sejenak. Ia mengambil nafas untuk membuat Laila tidak berpikiran yang tidak-tidak.
"Dan jika Ka-mu ... ri-rin-du ... u-um-mi dan ... a-bi, La-i-la ... ha-nya ... per-lu ... me-mang-gil ka-mi. Ka-mi a-kan da-tang ... se-ba-gai bin-tang di la-ngit." Maisaroh tidak dapat berbicara lancar. Ia harus pelan-pelan bicara dengan Laila. Saat ia berbicara pun rasa sakit itu muncul.
"Ummi," panggil Laila.
"Laila ... u-um-ummi ... se-se-la-lu ... menyayangi Laila."
Maisaroh mengucap kata terakhir pada Laila semakin lemah. Sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Laila. Kalau saja ia diberi waktu untuk merawat putrinya, ia akan merawat Laila dengan sepenuh hati. Hanya satu yang tidak pernah Maisaroh sesali, yaitu mengandung dan melahirkan putri yang sangat cantik seperti Laila Fatihani.
"Asyhadu an laa ... ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna ... muhammadar rasuulullah ...."
Kalimat terakhir Maisaroh, pertanda bahwa Maisaroh telah meninggal dunia. Meninggalkan seorang anak yang masih kecil. Seorang anak yang membutuhkan sosok seorang ibu.
"Ummi!" jerit Laila saat Maisaroh menutup mata terakhirnya sambil tersenyum.
Kini Laila sudah tidak memiliki orang tua lagi. Semenjak ditinggal Maisaroh, ia hidup bersama dengan kakeknya. Setelah mayat Maisaroh diurus, seperti permintaannya pada keluarga, Maisaroh dikuburkan di dekat makam suaminya, Fattah. Laila akan lebih mudah untuk mengunjungi mereka jika kuburan kedua orang tuanya berada di tempat yang berdekatan.
"Innalilahi wa innailaihi roji'un ... Ya Allah. Di sana, kamu sudah tenang. Tidak merasakan sakit lagi," lirih Pramono. Ia mendekati Laila dan memeluk dari belakang.
"Mai, Ya Allah ... ini karena kamu ngeyel, Mai. Tidak seharusnya kamu menikahi lelaki miskin seperti Fattah." Seorang wanita yang merupakan kakak Maisaroh merasa ini kesalahan Maisaroh sendiri. Itulah yang mengakibatkan kematiannya lebih cepat.
Keluarga sudah tahu Maisaroh memiliki penyakit jantung bawaan dari orang tua. Di usianya yang masih muda, Maisaroh harus meninggalkan Laila dan semua orang.
Pramono membiarkan wanita itu berceloteh. Ia membawa Laila mundur dari Maisaroh yang didekati kakaknya itu. Walaupun Maisaroh tidak menuruti keluarga, tetap saja sebagai seorang kakak, ia tidak bisa membiarkan Maisaroh dalam keadaan seperti sekarang. Ia hanya tidak habis pikir dengan keputusannya.
"Sudah seperti ini. Adikku sudah meninggal dunia. Keluarga kami pun sudah tidak ada yang menganggap dia menjadi keluarga lagi. Aku tidak bisa berbuat apapun lagi. Mai ..." panggil wanita itu. Ia menitihkan air mata. Ia pun tidak boleh membawa mayat Maisaroh kepada keluarganya.
"Kek, ummi, Kek," lirih Laila. Gadis itu ingin memeluk Maisaroh. Ia tidak ingin berpisah dengan umminya.
"Sabar, Nduk. Ummi kamu sudah tenang di sana. Kamu harus mendoakannya. Dan ibumu bisa bertemu dengan abi. Mereka sudah bahagia di sana, Laila."
"Iya, Kakek."
Wanita itu melihat ke arah Pramono dan Laila. Ada anak sekecil itu yang ditinggal kedua orang tuanya, ia turut sedih. Jika bisa, ia ingin merawat dan membesarkan Laila. Namun karena orang keluarganya, tidak mungkin bisa membawa Laila.
"Kalian lihat sendiri, kan? Adikku sekarang sudah mati. Adikku ini menderita penyakit jantung bawaan. Usianya tidak akan lama. Dan sekarang sudah tidak bisa tertolong lagi. Seandainya adikku ini tidak menikah dengan orang miskin, tidak mungkin akan terjadi seperti ini." Ia tidak tega mengatakan itu di depan anak kecil. Namun ia terlanjur kecewa. Ia kecewa dengan Maisaroh. Ia kecewa dengan Fattah yang mengajak Maisaroh hidup menjadi orang miskin. Bagaimana bisa, seorang wanita yang memiliki harta melimpah di keluarganya, harus hidup di lingkungan orang miskin. Menikah dengan Fattah yang hidupnya sangat sederhana dan jauh dari kata layak.
Pramono diam saja. Laila menangis histeris. Ia pun tidak tahu apapun. Ia masih terlalu kuda untuk memahami semuanya.
***
Mulai saat itu juga, Laila dibawa oleh Pramono untuk dirawat sang kakek. Laila menjalani kehidupannya dengan membantu sang kakek untuk mengurus perkebunan kecilnya. Sementara rumah Fattah dan Maisaroh akan dialihkan menjadi perkebunan yang nantinya akan diurus Laila.
Hingga Laila dewasa, ia akan menerima dan mengurus perkebunan itu. Tapi karena Laila masih kecil, warga setempat yang akan mengurusnya. Mereka akan membagi hasil panen dari kebun itu.
*Flashback end*
***