"Kemana kau akan membawaku?" tanya mulutku dengan kaki kelelahan karena berjalan mendaki pegunungan di belakang hutan kemarin.
"Tempat paling indah tanpa orang-orang yang bisa membunuhmu kapan saja."
"Bagaimana kau tahu? Bukannya tempat ini salah satu yang tidak terjamak oleh Pasukan Aliansi sekalipun. Tidak menutup kemungkinan bandit-bandit dan suku nomaden mendiami tempat ini dan mungkin saja sudah ada kota yang dipenuhi oleh mereka di atas sini."
William pun tertawa sembari beterbangan di depanku dengan burung elangnya Unit-065 sembari mengejekku. "Tidak usah khawatir, dengan beberapa penyesuaian, aku bisa membuat area disana menjadi sarang hantu dengan cepat. Bahkan aku sampai mendatangkan makhlukku sendiri dari balik kabut."
Untuk saat ini kayanya lebih baik melihat hantu daripada makhluk mimpi buruknya. Saat melihat 2 contoh makhluk yang melawan Melodi kemarin, rasanya ingin menghabisi penderitaan mereka secepatnya.
Sudah 3 jam mendaki menuju pegunungan yang mengelilingi Kota Bandung. Jadi kota itu adalah ibukota dari Jawa Barat yang menampung sekitar 4,2 juta di tahun 2030 ini. Meskipun aku sudah beberapa kali berkunjung, Kota Bandung merupakan sebuah udara segar jika dibandingkan udara Jakarta yang pikuk. Tapi itu dulu sebelum kabut itu muncul.
Semakin lama kaki kulangkahkan ke atas, semakin pula nafasku memiliki embun. Sisa-sisa perkemahan yang terlihat baru ditinggalkan mulai bisa kulihat. Kepala-kepala manusia malang menyapa kami di atas tombak. Darah mereka dibiarkan mengering melumuri permukaan kayu sementara sisa otak mereka sudah hampir habis dikerubungi oleh lalat dan binatang pemakan bangkai. Aku merasa keputusan William merupakan solusi yang tepat karena tempat ini benar-benar berbahaya.
"Kita sebaiknya berdiam dulu disini, kau butuh istirahat," ujarnya di tengah kampung ini.
"Yakin tidak ada orang selain kita disini?" tanyaku celingak-celinguk, memperhatikan sosok yang dapat kapan saja memata-matai kami.
"Percayalah padaku, tidak ada orang disini sejauh mata burungku dapat melihat dari udara dan tentu saja menurut Jaringan Kerajaan Langit."
Caranya mengucapkan kalimat 'Jaringan Kerajaan Langit' membuat bulu kudukku merinding. Penjelasan yang dia sampaikan selama ini masih tidak bisa kugapai. Seolah jaringan yang ia sampaikan merupakan suatu dunia lain nan asing. Tapi sampai kapan hal itu tidak kumengerti?
"Hei, aku ingin menanyakan sesuatu."
"Hmm?" ia menoleh ke arahku.
"Kenapa kau repot-repot membimbingku? Meskipun kau musuhku tapi kau yang selama ini merawatku. Okelah kau dan aku memang terikat kontrak. Tapi entah kenapa menurutku kau tidak sejahat seperti yang kau bicarakan."
"Jangan terlalu cepat menilaiku nak! Aku memutuskan untuk melatihmu karena sudah melihat apa yang Melodi bisa lakukan dengan jaringan ini. Lagipula selama kau berada di daerah Pasukan Aliansi, pengaruh Melodi ada dimana-mana."
"Memangnya di Kota Ciragam, Pasukan Elang tidak akan serta-merta membunuhku?" tanyaku tidak yakin atas alasannya.
"Itu bisa dipikirkan lain waktu. Pokoknya sekarang ayo jarah gubuk-gubuk ini. Siapa tahu masih ada barang berharga di dalamnya," ia mulai terbang ke salah satu gubuk di depanku.
Gubuk yang sederhana tanpa pemisah antar ruangan dengan kasur kecil yang digelar di lantai. 2 tempat tidur saling berdekatan sementara di sisi lain yang berseberangan terdapat mainan seperti mobil-mobilan plastik dan kuda-kudaan dari kayu di atas sebuah ranjang kecil.
"Tidak ada apa-apa disini," keluh William pergi melayang ke gubuk lainnya. Aku hanya memerhatikannya melompat-lompat dari satu gubuk ke gubuk lainnya. Ia seperti terfokus akan sesuatu. Sementara aku sibuk memandangi lima boneka latihan yang dibentuk layaknya orang-orangan sawah. Busana coklat ala Pasukan Aliansi dikenakan orang-orangan tersebut. Dengan anak-anak panah dibiarkan menancap di tubuh di boneka malang ini.
Jika disambungkan dengan kisah kepala yang tertusuk tombak, sebuah cerita mulai terungkap. Pasukan Aliansi ingin mengamankan seluruh tanah kekuasaannya dengan dalih memulihkan kedaulatan Republik Indonesia. Cara mereka mengukuhkan kekuasaannya tidak ada ampun. Mereka sehalus mungkin berusaha untuk tidak menciptakan perang lainnya namun disaat yang sama ingin pengaruh atas suku-suku ini. Mereka diwajibkan untuk memberikan upeti per periode atau dengan mengirimkan beberapa penduduknya untuk ikut berperang melawan Pasukan Elang, kalau tidak, mereka terancam untuk diambil wilayahnya.
Dari situasi di kampung ini, aku pikir mereka mencoba melawan hegemoni pasukan besar tersebut. Tapi sampai kapan? Berhubung Sang Penyelamat sudah membawakan kemenangan demi kemenangan dengan cara yang licik. Setelah Pasukan Elang musnah pasti melawan suku-suku seperti ini tinggal dilibas. Kekuatan matanya itu bisa menjadi sumber intel berharga untuk melawan musuh-musuh.
"Sini nak! Banyak harta karun yang bisa kau ambil disini." Suara kebapakannya mengagetkanku. Ia berhenti pada bangunan gubuk paling besar di tengah kota tak jauh dari tempatku berdiri. Sosoknya melesat masuk ke dalam lewat jendela dekat pintu depan. Aku bergegas menyusul. Namun pintu depannya terkunci. Gerakan pintunya seperti diselot dari dalam. Tanganku mencoba menggedor-gedornya.
"Sim salabim!" Pintu tiba-tiba terbuka yang menampilkan dirinya beserta barang-barang berserakan.
Uang kertas dan koin-koin berhamburan di balik pintu terkunci. Lalu perhiasan-perhiasan emas, perak, dan perunggu yang sudah tidak ada harganya dibiarkan menggunung memenuhi sampai langit-langit. Lalu baju seragam coklat Pasukan Aliansi dibiarkan berserakan begitu saja tanpa ada kemauan untuk merapihkannya.
"Koin dan uang ini bisa berguna bagi kita." Aku dengar Pasukan Aliansi dan Elang masih memakai mata uang rupiah yang sama. Seharusnya akan mudah jika sudah sampai di Kota Ciragam.
"Tolong ... Mir tolong aku!" teriaknya. Sebuah sepatu bot tersangkut begitu saja masuk ke dalam kepalanya. Jalannya jadi mundur-mundur panik.
"Lah kok bisa?" tanyaku sembari mengeluarkan sepatu bot ini dari kepala burung elang malang ini, paruhnya menggigit suatu koin emas.
"Aku mencoba untuk mengambil koin ini, tapi yah ... bisa kau lihat sendiri apa yang terjadi pada kepalaku." Paruhnya melepaskan koin di atas tanganku. Terlihat berbeda dari koin mata uang. Ini terlihat antik dan lebih berat namun enak dipandang.
"Dasar Elang mata duitan, mengusir para bandit bisa tapi melawan sepatu bot kesusahan."
"Apa kau bilang nak! Sini, rasakan keganasan patukku! biar tahu rasa."
Dan benar saja, ia mulai mematuk-matukku namun rasanya seperti geli. Aku pun langsung dibuat tertawa dibuatnya. Namun dia juga ikutan tertawa. Gawat, ia seperti menikmatinya. Tapi kenapa ia tiba-tiba menjadi bercanda seperti ini. Tawanya tidak salah lagi, terdengar sangat tulus. Seolah ia menantikan momen ini kepada orang yang dicintai.
"Ayo nak, sudah cukup main-mainnya! Kita harus menyelesaikan latihanmu. Di gubuk sana banyak makanan mentah yang bisa kita bakar nanti. Makan yang banyak!" Ia memandangku yang tengah terbaring di atas lantai kayu. Sebuah air mata mengalir sekilas melalui mata kecil kanannya. Elang berbicara itu kemudian terbang tinggi lagi.
"Eh..."