webnovel

Dibalik Jendela Dunia

"Mel! kenapa kamu masih bisa tersenyum sih pada keadaan seperti ini," kepalaku yang lelah bersandar pada pundak kecilnya.

"Kalau bukan aku siapa lagi? Kamu jarang tersenyum padahal," tangannya mencubit kedua pipiku. Hal konyol seperti itu entah kenapa membuatku lebih senang dari biasanya. "Akhirnya kau tersenyum juga." Ia menepuk-nepuk kepalaku.

"Mel!"

"Apa?"

"Cita-citamu apa sih sebenarnya?" tanyaku heran dengan keceriaan yang selalu dibawanya.

"Aku ingin menjadi penolong semua orang," ia tersipu malu sembari mendorong kepalaku dari bahunya.

"Menolong orang-orang ini keluar dari kabut? Seperti Sang Messiah penyelamat dari kabut begitu?" tanyaku bingung dengan keoptimisan nya.

"Pikiranmu kemana-mana Mir, aku hanya ingin meringankan beban orang-orang disekitarku saja," tawanya sembari tangannya merangkul pinggangku.

Ia seperti cahaya yang menerangi tempat ini. Seperti segala risaunya pergi begitu saja ke dunia luar kabut sana dan pasrah menghadapi tantangan hidup selanjutnya. Berbeda denganku dan kami semua yang masih ditarik rantai kerinduan dunia sana.

"Tapi … Aku ingin sekali menolong orang-orang ini pergi dari kabut ini jika memungkinkan," matanya memandang hawa kabut yang melambai-lambai di langit.

"Aku percaya kok suatu hari kamu akan mendapatkan kesempatan itu". Tanganku mengelus rambut panjangnya.

"Kenapa tidak kita berdua yang menolong orang-orang ini? Aku tidak bisa melakukannya sendirian."

"Kau kan lebih dihormati di tempat ini dibandingkan aku, mengingat namaku saja mereka tidak bisa."

"Jangan berkata begitu!" kedua jarinya mencubit pundakku. "Andai kamu lebih percaya diri, kau pasti bisa melalui semuanya."

"Apa yang kau bicarakan? Aku masih percaya pada diriku sendiri lho," tawaku.

"Masa? Kau selalu menghindar jika terjadi suatu peristiwa penting seperti menjadi pemimpin divisi atau bergaul dengan yang lainnya. Seperti kau tidak suka bergaul dengan orang-orang disini terkecuali Clara, Rudi dan sebagainya. Kita semua disini adalah keluarga loh!" jelasnya.

"Melibatkan diriku pada orang-orang ini sungguh tidak enak. Cukup beberapa teman-temanku saja yang kuperhitungkan."

"Kau hanya takut membuat orang lain repot begitu kan? Sikap rendah diri seperti tidak baik! Kau pasti tidak akan membuat perubahan di tempat yang dikepung kabut ini. Sebagai calon pemimpin orang-orang ini, jangan terlalu dipikir apa hal buruk yang pernah kau lakukan pada orang lain, semua orang pasti secara tidak langsung melakukannya."

Bel makan malam berbunyi. Perutku berbunyi tidak karuan. Kami berpisah meskipun satu divisi. Aku bergegas bertemu teman-teman semejaku sementara ia pergi ke gudang yang berbeda dari gudangku.

================================================================

Sosoknya tiba-tiba keluar dari ruangan di seberangku ketika diriku heran atas menghilangnya William. Ia berlarian setelah mendengar lonceng yang menggema ke seluruh ruangan. Ia terlihat berbeda dari yang sebelumnya aku bayangkan tentangnya. Semuanya palsu! Ia mengetahui takdir kita yang sebenarnya seperti apa, tapi malah mengeluarkan pernyataan tidak masuk akal seperti itu. Ternyata benar, sejak awal ia tak merasa terperangkap di dalam sini jadi kalimat tersebut mengalir mudah di bibirnya.

"Mel! Kau mau pergi kemana?" tanyaku dari belakang.

Wajahnya menoleh. "Aku ingin menyelamatkan kota ini, kau tetaplah disini dan jangan kemana-mana!" ia hendak melangkahkan kakinya lagi.

"Tunggu!" teriakku lagi. "Kau benar-benar mengatakan kalimat itu setelah senang akan wabah yang akan terjadi nanti?"

"Ini sebuah tantangan pribadi. Tidak akan kubiarkan William dan kroninya menakutiku untuk berhenti. Aku ingin mereka, jajaran atas melihat ketika proyek yang mereka kembangan mati satu persatu."

"Tunggu … kau ingat saat dirimu ingin menyelamatkan orang-orang untuk keluar kabut? Kita pasti bisa melakukannya, tidak harus membenci seperti ini," teriakku tidak ingin melihat langkah kakinya menyentuh anak tangga kedua.

"Aku pura-pura mir, jangan samakan aku dengan kalian yang kelinci percobaan," matanya menunjukkan berbagai macam emosi padahal hanya menatapku tajam. "Sudah tidak ada masa depan bagiku."

"Kau lihat aku sekarang! Apa aku bernasib berbeda darimu yang sama-sama tidak punya masa depan?"

"Ya, seandainya aku tidak sok-sokan menjadi relawan di dalam sini dan bersabar bersembunyi di bunker bawah tanah … aku pasti menerima obat itu dari kalian sekarang," teriaknya. Air mata mengalir deras membasahi wajah gypsum tanpa ekspresinya. "Aku menyesal berada disini! Aku menyesal membayangkan waktuku di kompleks menjadi babu bagi organisasi itu! Aku menyesal bertemu denganmu Mir!"

"Lalu … kenapa kau mengirim surat itu padaku?"

Ia menghentikan langkahnya lagi lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca sembari menggeleng. "Aku … tidak tahu." Sosoknya dengan cepat menghilang menuju lantai bawahku.

Aku mengepalkan tinjuku. Kenapa dengan perasaannya itu? Kalimat terakhirnya membuatku mengurungkan niat untuk menghabisinya. Tangan yang berusaha kukepalkan terasa lemas. Tidak ada waktu lagi. Aku harus menyelamatkan teman-temanku sebelum pengalihannya berakhir. Tapi dimana kunci selnya? Apakah di bawa Melodi? Tidak … tekstur kunci tidak terlihat di setiap saku seragam Pasukan Aliansi yang dikenakannya. Mataku menatap pintu dimana ia keluar tadi.

Kakiku melangkah mendekati pintu itu. Aroma obat tercium dari tempat ini. Ini ruangan yang dimaksudnya kah saat mengajakku di ruangan tadi? Tanganku hendak menyentuh gagang sebelum pikiranku teringat sesuatu. Tunggu dulu, bukannya dua orang jendralnya ada di ruangan yang sama.

Tapi bagaimana kalau kuncinya tidak ada di dalam? Pikiranku melayang-layang. Tapi di saat yang sama aku tidak boleh buat kesalahan sekecilpun. Karena ini satu-satunya momenku untuk lolos. Sensasi sedikit gatal pada mata mengingatkanku. Aku seharusnya menggunakan mata ini sejak awal.

Aku menenangkan diri. Mata dipelototkan, aku mengangkat jari tangan beberapa senti di depan badanku seperti peragaan Melodi dan William di ruangan itu. Sebuah layar interface mengambang di hadapanku memperlihatkan apa yang mataku lihat. Cara kerjanya seperti mataku, ketika aku menoleh, layar tersebut tetap memperlihatkan apa yang mataku lihat setelah menoleh. Momen ini tampak memusingkan bagiku.

Tanganku langsung menekan tombol maju di samping layar utama. Seketika jarak pandangku seperti melangkah maju. Kepalaku mencoba untuk menoleh, dan ternyata benar, aku dapat melihat diriku seperti orang linglung sendirian yang menatap layar tidak jelas.

Tanganku tetap menekan tombol maju sampai kira-kira menyentuh tembok ruang klinik tadi. Tidak berhenti begitu saja, tombol maju tetap kutekan sampai tembok putih yang dihadapanku tadi berganti dengan suasana klinik. Tidak bisa dipercaya!

Kabinet-kabinet obat terpajang pada lemari kaca yang menempel pada sisi tembok. Dimulai dari obat warung sampai dengan obat khusus resep dokter, berbeda dengan kompleks yang memakai obat-obatan tradisional. Itu karena kami tidak tahu cara membuat obat-obatan itu. Kira-kira sudah berapa lama obat-obatan kadaluarsa?

Ranjang-ranjang berseprai putih berjejer menghadap ke arah pintu. 2 ranjang itu dipakai oleh dua jendral Melodi yaitu Bimo, lelaki berkacamata dengan tampang yang terlihat masih muda namun penakut dan tidak bisa mengontrol emosinya. Sekilas ia terlihat seperti warga biasa.

Lalu Vialita yang nampak seperti seorang tentara wanita yang sudah digoreng sinar matahari. Tatapannya tajam seperti sudah kodratnya ia mengintimidasi lawan bicaranya. Ia mengingatkanku pada Clara, lebih tepatnya pada sisi keras Clara yang selama ini diperlihatkan padaku. Aku penasaran kalau mereka berdua beradu. Tapi mereka berdua sudah tergeletak disitu terluka. Bimo tidak terlalu parah tapi kaki Via harus diperban banyak. Apa Clara mengalahkan mereka berdua?

Padahal mereka berdua punya kekuatan mata seperti Clara. Apakah efek dari mata William saat ia merobohkan mereka berdua di ruangan tadi? Aku masih teringat, Melodi ketakutan setengah mati sampai ia diam membeku. Sama-sama memiliki mata 'Kerajaan Langit' tapi tidak berkutik di hadapan William.

Di meja dekat tangan kanan Bimo, benda yang kucari terlihat jelas. Sebuah master key dengan banyak sekali anak kunci. Mereka sepertinya tidak melihatku dalam mode seperti ini. Tapi bagaimana melumpuhkan mereka berdua sekaligus? Untuk sekarang aku punya keunggulan dimana mereka tidak menyadari apa yang akan kulakukan kepada mereka.

Aku langsung membuka pintu klinik. Mereka berdua menatapku dengan bingung. Sebelum mereka berdua ingin mengucapkan kata-kata. Ekspresi panik dengan cepat tergambar jelas pada wajah mereka ketika melihatku mulai melakukan apa yang diajarkan William tadi. Seketika Via yang sedang terkapar di ranjang mendadak tertidur pingsan.

Sementara Bimo langsung mengaktifkan matanya. Sebuah gelombang cahaya berwarna merah muda terlihat keluar dari matanya. Seperti sebuah senter yang mengarah padaku. Apa itu mukjizat tak kasat mata yang sebelumnya keluar dari mata ini?

次の章へ