"Apa ... yang kau lakukan ... pada ... kami? Siapa kau sebenarnya?"
"Aku bisa melihat semuanya! Dari kau anak muda yang sudah membuntutiku terus dan kau ra yang sudah membungkam Nova penjaga terbaik yang sudah kupilihkan untukmu. Sudah tidak penting lagi pertanyaanmu itu, kau kalah wahai Clara sang pencabut benalu!" kaki Melodi menendang perutku. Ini semua sakit sekali. Tapi aku tidak bisa memalingkan perhatian pada Sadikin yang tengah kesakitan, karena dibalik kesakitan itu ia terisak. Ia tidak akan pernah melihat saudaranya lagi. Apa ini 'mukjizat' yang dimaksud Nova itu?
"Tunggu! Bebaskan semua reguku dan sebagai gantinya, biarkan aku bergabung dengan kalian," nafasku tersengal-sengal.
"Apa yang membuatmu yakin mereka ada di bangunan ini?" Melodi menatapku.
"Aku percaya semua perkataan Nova benar!" mataku berusaha menatap matanya lagi.
Melodi menutup mata sejenak lalu menghembuskan nafas dalam. "Lalu kira-kira apa yang membuatmu sama atau lebih berharga daripada semua anak buahmu digabungkan?", tanya Melodi lagi.
"Aku akan menantangmu! Kalau aku menang, kau bebaskan anak buahku dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya. Jika aku kalah, lakukan sesukamu."
Ia tersenyum dingin. Porselen disekitar pipinya tidak bisa menahan senyuman jahat nan licik. Beberapa bagiannya terjatuh begitu saja ke lantai seperti telur rebus yang terkelupas. Namun bukannya memperlihatkan putih telur yang bagus dan wangi, kulit di dalamnya berwarna kuning pasi dengan segala urat berwarna biru tua di permukaannya. Tangannya dengan cepat menutup lubang bekas porselen itu.
"Akan kubuktikan kalau reguku ada disini dalam 30 menit." Badanku berusaha untuk berdiri dihadapan monster yang menyerangku dengan sesuatu yang aneh. Kakiku gemetar hebat seolah lantai bangunan ini berusaha menjatuhkanku.
Ia berjalan membelakangiku. Tangannya mengambil sesuatu dari meja lalu mengoleskannya pada wajahnya. Lalu kemudian melihatku lagi dengan wajah yang terlihat baru namun tidak semulus sebelumnya. "Baiklah ini menyenangkan, tantanganmu kuterima hehe, kau harus bersyukur aku sekarang ingin bermain, setelah orang yang masuk sebelummu menghancurkan moodku. Bersiaplah ra, soalnya kami berempat akan memburumu dan temanmu satu ini," ia menendang Sadikin yang baru saja akan berdiri.
Aku menelan ludah. "Kalian berlarilah duluan. Berdoalah semoga kami tidak menemukanmu lebih dulu." Melodi membuka pintu menuju kegelapan tempat kita masuk tadi. Aku langsung menarik tangan Sadikin dan berlari sekuat tenaga layaknya hewan yang diburu.
"Dik! Sumpah! Apa kau melihat apa yang dilakukannya itu?" tanyaku panik.
Ia hanya menggeleng.
"Maksudmu apa sih geleng-geleng. Kita berdua benar-benar hampir mati disana tau!" teriakku berusaha membagi nafas dengan yang kugunakan untuk berlari.
"Iya maksudku aku sama sekali tidak melihat serangan yang dilakukan kecuali ... mata merah menyala ketika ia melirikku," ujarnya terdengar tidak percaya dengan ucapannya sendiri.
"Tunggu dulu, mata itu ... aku pernah melihatnya di kabut itu, di makhluk awan itu. Kau ingatkan?"
"Tidak ketua. Soalnya ketua dan Amir saja yang masuk ke sana," jawabnya meninggalkan lebih banyak pertanyaan di seluruh wajahnya.
Aku ingin sekali mendiskusikan tentang keanehan itu pada seseorang tapi sampai lupa lawan bicaraku. Tapi kenapa aku selalu harus berkompromi dengan si bodoh tak tahu diri itu. Bukannya seharusnya sudah bulat tekadku menyingkirkannya. Lagipula, jika aku bertemu dengannya, apa ia tak akan segan membunuhku?
"Sadik, apa senjata yang kau bawa sekarang?" tanyaku.
Ia meraba-raba semua kantong yang ia bisa temukan. "Tidak ada, mereka mengambil semuanya."
Telapak tanganku mengusap muka, kelima jariku meremas keras tengkorak di dalamnya berusaha menemukan buah pikiran begitu saja. Ini tidak mungkin terjadi.
Mataku meraba interior lantai pada 'universitas' disekelilingku. Jeruji besi mulai berjajar menjaga lorong ini dari pekatnya kegelapan di dalam sel para terdakwa ini dibandingkan 2 lantai di atasnya. Aku dapat melihat sebuah kaki kurus seseorang yang sedang duduk dilipat menyentuh wajah yang sebagian besar termakan oleh kegelapan.
"Permisi saya ingin bertanya!" ujarku mendekat jeruji itu dan melihat orang-orang lainnya meringkuk mendekati tembok di ujung sel.
"Rupanya mereka menambahkan orang baru di tempat ini, kenapa tidak bertanya pada teman penjagamu saja?" ujar seorang pria dari dalam kegelapan dengan nada tidak menyenangkan.
"Tidak, kami bukan penjaga. Justru kami berniat melawan mereka," ujarku berusaha memasuki pikiran orang ini.
"Pendusta! Lihat seragam mereka!" salah seorang berteriak di sel sebelah. Hal tersebut mengakibatkan efek domino pada sel-sel sekeliling yang ikut mencemooh. Semuanya menatap kami tajam.
"Jika benar, Memangnya apa mau kalian mendatangi kami?" ujar anak muda kurus itu ketus.
"Tolonglah! Kami butuh bantuan kalian!"
"Butuh bantuan apa?" anak muda itu perlahan mendatangi kami, tangan kanannya berada di belakang punggungnya.
"Berikan kami senjata untuk melawan wanita berperban itu! Kami mohon!"
Polusi suara di sekitar sel mendadak hening. Lelaki itu menghentikan langkahnya. Matanya tidak menyipit lagi.
"Kenapa kamu yakin bisa melawan wanita itu?" tanya lelaki itu memiringkan kepalanya.
"Karena teman-temanku ditawan olehnya" jawabku berusaha menenangkan diri.
"Berarti nyonya tidak siap ya?"
Mulutku tidak bisa melawan.
"Nyonya mengerti apa yang bisa dilakukan Sang Penyelamat kepada siapapun yang melawannya?"
"Aku mengerti."
"Tunggu apa maksudmu mengerti? Dia seperti utusan dewa disini. Matanya adalah tembok-tembok dan lantai yang kalian pijaki seluruh kota. Ia mengetahui semua rahasia di tempat ini. Kalian yang baru saja bertemu dengannya bisa apa?"
"Kami sudah bertemu dengannya dan mulai mengerti akan kekuatannya yang sebenarnya. Aku punya teori, tolonglah aku sebagai ganti penjelasanku ini."
"Baiklah aku mendengarkan," ia melipat tangannya.
"Saat ia mengaktifkan mukjizatnya, matanya akan menyala terang ...".
"Ya, itu yang kami namakan cahaya mukjizat," ia memotong, "Lalu? Itu saja?"
"Ummm ... Aku pernah melihat cahaya yang sama di kabut itu," lanjutku ragu dengan reaksi lawan bicaraku.
"Kau bercanda?" tanyanya menatap kami tajam kembali, "Siapa sebenarnya kalian?"
"Kami sebenarnya teman kalian, pasukan kompleks, ketika peristiwa pesawat jatuh, pasukan aliansi menangkap timku dan sebenarnya kami hanya ingin kembali ke kompleks kami."
"Teman kalian, pasukan aliansi ... sudah mati sejak kedatangan sang penyelamat, bahkan anggap saja tim kalian yang sekarang sudah mati juga."
"Bukan kalian yang menentukan siapa yang mati!" teriak Sadik, mendadak seluruh dalam sel bersorak.
"Jadi maksudmu, kalo kekuatan sang penyelamat berhubungan dengan monster kabut itu. Atau maksud kalian, ia adalah salah satu dari makhluk kabut itu?"
"Iya itu teoriku."
"Jadi hanya itu ya?" ia menggeleng sembari mengusap wajah kurusnya. Aku tidak yakin info ini dapat membantunya lolos.
"Ini ambillah!" ia mengeluarkan sesuatu dari belakang punggungnya, lalu dari balik tegel di lantai di bawah kakinya, "Hanya ini yang kami punya."
Tanganku langsung menggenggam kumpulan pisau dapur dan logam pipa di hadapanku.
Matanya menerawang sekujur tubuhku. "Kau pingsan tadi?"
"Hanya ambruk," lelaki ini pernah melihat mukjizatnya.
"Lalu temanmu ini mengalami hal yang sama juga kan?"
Kami berdua mengangguk.
"Ini makanlah! Kau tidak bisa menghadapinya dengan kaki yang bergetar seperti itu. Ngomong-ngomong dimana penjaga yang bersama kalian itu? Ia yang sudah memberikan semua senjata ini padaku".
"Orang tadi komplotanmu?" tanyaku keheranan.
Ia mengangguk. "Kami sudah lama ingin melancarkan pelarian, tapi ... kemampuannya yang dapat melihat sekeliling membuat kami mengurungkan niat selama ini."
Gawat. "Ia kembali lagi keluar dengan teman-temannya," jawabku santai setelah apa yang Sadik perbuat pada orang itu.
Ia menatapku curiga.
"Hentikan Wirman!", ujar salah seorang pria dengan suara sangat parau. "Jangan sia-siakan hidupmu demi orang asing ini."
"Diam kau orang tua! Kita hanya menunggu kematian di dalam jeruji ini meskipun mereka menang atau kalah."
"Sang Penyelamat akan memanggil kita satu persatu untuk dibersihkan. Kita akan bebas seperti saat bangun dari tidur."
Suara kegaduhan semakin tidak terkendali. "Belatung pasti sudah menggerogoti otakmu pak tua, kau pikir kenapa mereka yang dipanggil tidak pernah sekalipun memberi kabar atau menjenguk kita hah? Mereka sudah mati! Dan ini semua ulah Sang Penyelamat itu, pikir baik-baik."
"Semuanya tangkap pembangkang ini! Ia menghalangi pembebasan kita," teriak pak tua di balik bayangan.
"Apa ini milik kalian?" Sadikin tiba-tiba berbicara. Ia mengulurkan sebuah kacamata berwarna-warni ke arah pemuda itu.
"Dari mana kau mendapatkan ini?" pemuda itu menatap tajam Sadik. Aku juga ingin bertanya hal yang sama.
Sadik menggaruk bagian belakang kepalanya. "Saat kau baru saja masuk berbincang dengan Melodi, seseorang dengan kursi roda dibawa melintasi lorong menuju sebuah ruangan di ujung lorong."
"Ini kacamata seseorang itu?" tanyaku.
"Kurasa, aku memungutnya setelah kita berlari terbirit-birit dari ruangan itu, eh-"
Kacamata itu menghilang dari tangan Sadik. "Seperti apa sosok orang yang duduk di kursi roda itu?"
"Seorang gadis kecil dengan rambut sengaja dipanjangkan melebihi bahu, tubuhnya kurus kering dan rambutnya berwarna putih. DIa lemas tidak bergerak."
Pemuda itu duduk membengkokkan kedua lututnya ke atas lagi. "Sudah kuduga ... ," gumamnya, "Kau dengar itu kan Pak Tua? Karmelia sudah mati karena keselamatan yang kau dan kalian semua agungkan!" Kegaduhan meningkat menjadi 3x lipat.
Ia melangkah maju mendekati sel. "Mudah-mudahan kau tidak seburuk yang kami kira." Tangannya dijulurkan.
"Baiklah!" Aku menggenggam erat tangan kasarnya, "Jaga diri baik-baik!"