webnovel

Shireen Menghilang

Pukul 19.30 Sullivan membawa Shireen jalan ke mall. Karena gadis itu takut pulang ke indekost, dia menyuruh Shireen memakai masker untuk menyamarkan wajahnya. Sedangkan, ia sendiri memakai topi merah.

"Lo, jangan banyak belanja selain keutuhan untuk di sana," kata Sullivan, memberikan warning pada Shireen.

"Tenang aja, paling beli baju tidur, baju pergi, baju buat di hotel dan ...." Shireen diam saat melihat Sullivan melotot padanya.

"Lo borong aja sekalian sama tokonya," ejek Sullivan.

"Gue mau borong hati lu aja, Om," goda Shireen, mencubit pelan lengan Sullivan.

Sullivan mendelik sebal, ia mengabaikan Shireen dan fokus pada laptop yang ada di depannya. Ia melihat berita luar negeri, kecintaannya pada bahasa Inggris, dan politik di sana selalu menarik perhatiannya.

Ia tersenyum saat membaca sebuah artikel yang menuliskan tentang Septinus George Saa. Sang jenius dari tanah Papua, George merupakan ahli Fisika. Ia bak salah satu mutiara yang bersinar dari tanah air dan putra terbaik yang berbakat dari Indonesia.

Sullivan kagum dengan semangat juang anak muda tersebut. Perjuangannya, semangat meraih pendidikan, sangat ia acungi jempol. Tanpa terasa sudut bibirnya menyunggingkan senyum.

Shireen memperhatikan gerak gerik Sullivan. Ia sedikit memiringkan kepala, ingin ikut membaca apa yang Sullivan lihat. Belum sampai ke dekat laptop, Sullivan sudah menoleh dan memberikan tatapan tajam.

Gadis itu mengangkat dua jarinya, sambil cengengesan. "Peace, gue cuma penasaran. Apa sih yang Om lihat?"

"Emang ngerti bahasa Inggris?"

"Nggak, Om." Shireen menggelengkan kepalanya.

"Makanya, jangan sok. Apa sih pendidikan Lo?"

"Kelas dua tsanawiyah, Om."

"Pengalaman aja masih kurang. Mau sok-sokan baca artikel Inggris. Kencing dulu yang bener Lo," cibir Sullivan. Ia mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas.

Shireen terdiam mendengar cibiran tersebut. Perkataan pria tua itu cukup menusuk nuraninya. Air mata meluncur tanpa diminta, Shireen menundukkan kepalanya. Sullivan mengerutkan dahi, ia bingung kenapa gadis di sampingnya menangis.

Selama ini Shireen paling sensitif, jika disinggung soal pendidikan. Karena ia kecewa tidak bisa melanjutkan sekolah seperti cita-citanya. Akibat ketidakmampuan orang tuanya secara ekonomi.

"Kenapa Lo nangis?" tanya Sullivan.

"Nggak apa-apa," jawab Shireen datar.

"Sakit hati Lo, gue katain."

"Nggak!"

"Gue ngomong fakta, orang modelan kaya Lo. Suka kebanyakan mau, usahanya kagak ada. Jadi, mau sampai kapanpun, hidup Lo nggak akan maju. Lo, bener-bener banyak ketinggalan, main Lo kurang jauh," ujar Sullivan panjang lebar.

"Nggak, gue pinter, cerdas, dan cantik," sanggah Shireen, menyeka air matanya.

"Kentut!" seru Sullivan.

"Tukang ngegas!" balas Shireen.

"Gak punya otak!" tukas Sullivan.

Mereka pun terus beradu mulut, sampai keduanya lelah dan diam. Sesampainya di mall, Sullivan mencengkram tangan Shireen. Supaya gadis itu tidak kabur, begitu kakinya menapak di parkiran. Instingnya langsung bekerja, Sullivan merasa ada yang mengawasi mereka berdua.

Shireen berusaha meronta, meminta melepaskan tangannya. Tapi Sullivan tidak menggubris, pria itu segera membawa Shireen ke toko baju. Saat melihat baju bagus di boutique, mata Shireen kalap dan mencoba satu persatu.

Ia sengaja lama memilih, untuk membalas kelakuan Sullivan yang sudah menyakitinya. Saat menemukan beberapa potong baju yang ia rasa cocok. Shireen meminta izin untuk mencobanya di kamar pass.

Gadis itu tetap dibuntuti oleh Sullivan yang berdiri tepat di depan pintu. Shireen tersenyum tengil, ia tidak berniat mencoba baju dan sengaja mengerjai Sullivan supaya marah. Ia dengan santai memainkan game snake xenzia di blackberry nya.

Tok, tok, tok.

Shireen tersenyum mendengar suara ketukan pintu kamar pass.

"Belum kelar, Om, sebentar," kata Shireen dengan santainya.

Tok, tok, tok.

Dua kali ketukan itu berbunyi, membuat Shireen semakin kegirangan.

'Rasain Lo, gue kerjain. Mampus!' Batin Shireen.

Dooorrrrr!

Kali ketiga pintu di gedor dengan keras, Shireen terperanjat. Hatinya mulai tak enak, ia mengintip dari lubang kunci. Di sana berdiri seorang pria, dengan setelan jas berwarna biru Dongker. Terlihat tengah menunggunya di depan pintu.

Jantung Shireen berpacu cepat, darahnya berdesir panas, kakinya mendadak lemas. Melihat siapa yang menunggunya di luar. Shireen bertanya-tanya, di manakah Sullivan berada. Bukankah sejak tadi, pria tua itu selalu mengikutinya.

"Buka, saya mau bicara. Saya tahu kamu di dalam," kata pria tersebut.

"Mau-- apa-- kamu," sahut Shireen.

"Saya ulangi, saya mau bicara," kata pria, mengulangi pembicaraannya.

Dengan terpaksa Shireen membuka pintu. Pria itu tersenyum lebar, lalu menarik Shireen dari kamar pass. Pria itu membekap mulut Shireen dan menggeretya diam-diam.

"Bukan waktunya kita bicara, Kanaya. Gue sedang ada urusan," kata Sullivan. Ia tidak sengaja bertemu Kanaya di boutique tadi. Itu sebabnya dia meninggalkan kamar pass yang Shireen tempati.

"Tapi, aku istrimu Sullivan. Kenapa? Aku tidak berhak atas dirimu." Kanaya meraih jemari Sullivan.

"Gue sudah katakan dari awal. Hubungan kita hanya sebatas diatas kertas. Lo sudah dapat apa yang Lo mau, lalu apa lagi?"

"Aku mau, kita jadi suami istri yang sebenarnya, Sullivan."

"Nay, kesempatan tidak datang dua kali. Gue sudah pernah kasih itu ke Lo, tapi apa yang Lo lakukan? Gue sampe nggak tega mau ngomong." Sullivan tersenyum sinis.

"Berikan aku kesempatan, sekali saja, Sullivan." Kanaya memelas.

"Dan Lo sudah tahu, itu tidak mungkin!" seru Sullivan, ia bangkit dari duduknya dan berbalik meninggalkan Kanaya.

"Setidaknya, jangan buat Ghailan membencimu! Dia sangat sayang sama kamu, Sulli," teriak Kanaya, memelas.

Sullivan menghentikan langkahnya, ia berbalik pada Kanaya dan berjalan menghampirinya. Seutas senyum tersungging di bibir Kanaya, ia senang karena Sullivan mendengar perkataannya.

"I don't care!" seru Sullivan. Lalu berbalik meninggalkan Kanaya.

Di tempatnya Kanaya masih berdiri mematung. Hatinya hancur melihat sikap dingin sang suami. Meski hatinya begitu sakit, ia sudah tidak meneteskan lagi air mata. Karena sudah sering ia tumpahkan, dalam penantian menunggu belahan jiwanya kembali.

Kanaya, menatap punggung bidang suaminya. Pria berkulit sawo matang, dengan badan tinggi semampai, kacamata yang selalu melekat di wajahnya. Telah benar-benar membuat Kanaya jatuh cinta. Ia menghela napas dalam, lalu memutuskan untuk pulang.

Saat kembali ke kamar pass, Sullivan terkejut melihat Shireen sudah tidak ada di sana. Ponsel dan baju yang gadis itu pilih, masih tergeletak dengan rapih. Ia pun mencari tahu pada para pelayan di boutique.

"Mbak, tadi lihat gadis di kamar itu nggak?" tanya Sullivan, menunjuk kamar pass yang dipakai Shireen.

"Nggak, Pak."

"Oh, makasih."

Sullivan kembali berkeliling boutique, ia mendadak panik atas hilangnya Shireen. Matanya berpendar ke sekitar boutique, ia tidak salah lihat. Shireen tidak ada di sana, ia pun mencari Shireen ke toilet, gadis itu tidak ada juga.

Sullivan menelepon supirnya, barangkali Shireen sudah ada di mobil. Tapi, ponsel dan pakaian? Sullivan kembali ke kamar pass dan mengambil baju, lalu membayar semuanya. Ia takut, jika Shireen diculik oleh anak buah Bryan.

"Ke mana gadis itu pergi, Bryan kurang ajar! Sudah berani secara terang-terangan." Sullivan bergumam, sambil menunggu kasir menghitung belanjaannya.

次の章へ