webnovel

30-What Really Happened?

"Bawa gadis itu ke selnya! Dia harus tahu bagaimana rasanya dikurung di sel sendirian seperti saat aku dikurung di tempat menjijikkan manusia bumi itu."

Arina pasrah, membiarkan seorang pria memborgol tangannya ke belakang. Pria itu memaksanya berdiri, lalu menariknya kasar menuju sel yang dimaksud Arival. Arina rasa itu bawahan Arival. Kemungkinan besar Arival telah menjadi pimpinan diantara penjahat-penjahat Indonesia yang dikirim ke Mars, mengingat kejahatannya sebelumnya tidak bisa ditoleran—membunuh 20 manusia lebih di usia lima belas, termasuk membunuh kedua orangtuanya.

Arival menyeringai senang saat menatap Arina yang lewat di depannya. Wajah Arina kuyu. Matanya merah karena habis menangis. Tatapannya dingin dan penuh kebencian pada Arival. Dan itu yang membuat Arival menyeringai senang; Arina tampak menyedihkan.

Arina memaksa berhenti di depan Arival, menghentakkan tangan pria yang menariknya.

"Kenapa kamu nggak bunuh aku?" Arina bertanya dingin. Matanya menatap tajam Arival di depannya. Tangannya terkepal. Sangat benci dengan seseorang di  depannya.

"Tenang saja, Arina. Aku pasti membunuhmu. Aku hanya sedang mencari waktu yang pas agar saat menyakitkan itu jadi tambah menyakitkan nantinya." Arival tersenyum, nampak senang ketika melihat tatapan tajam Arina mulai mengendur.

Arival psikopat gila. Sesuatu yang terjadi pada Arina tadi mungkin hanya sebagian kecil dari permainannya. Dia bisa melakukan hal yang lebih mengerikan, lebih menyakitkan, dan lebih sadis. Seharusnya Arina tahu hal itu.

"Bawa dia!" Arival berseru tegas. Pria di belakang Arina kembali menariknya kasar, menyeretnya melewati lorong panjang menuju sel.

Arina hanya bisa pasrah. Apa yang bisa ia lakukan? Tenaganya sudah habis di ruang kaca transparan tadi. Tidak hanya habis untuk membantai keluarganya, tetapi juga habis untuk bersedih dan mengeluarkan air mata. Arina mendongak, mata merahnya kembali berkaca-kaca. Bayangan darah di tangannya dan empat mayat tergeletak masih sangat segar di otaknya. Melintas seperti mimpi buruk.

Pria tadi menariknya menuruni tangga besi. Setelah turun cukup jauh, ia membuka kunci pintu ruangan di depannya. Arina memaki dalam hati, ini sel bawah tanah. Sampai tujuan, pria itu membuka kunci sel, lalu mendorong kasar Arina masuk ke dalam. Pria itu kembali mengunci sel penjara yang ia masuki lalu pergi meninggalkan Arina sendirian. Mengunci pintu sel tempat Arina masuk rapat-rapat.

Arina mengedarkan pandangannya. Tidak ada orang sama sekali di sel penjara ini. Ada hanya dia sendirian. Dan parahnya, ruangan ini sangat pengap dan lembap. Cahayanya minim. Hanya dari lampu minyak yang tergantung di dinding. Arival benar-benar ingin membalas dendam karena Jenderal Joko telah menempatkannya di ruangan paling bawah kemarin. Sayangnya Arival melampiaskannya ke Arina, anak dari orang yang telah menjebloskannya ke penjara terluas tapi memuakkan: Planet Mars. Lagipula sel di basecamp jauh lebih baik dari tempat ini. Sirkulasi udaranya baik, tidak seperti sel yang sangat pengap ini.

Dan yang baru Arina sadari, ia ada dimana? Markas Alien di Bumi atau malah sudah di Mars? Arina menghela napas, memikirkannya membuat pikirannya tambah penat.

Arina terduduk menyender dinding di dekatnya, lagi-lagi menghela napas panjang. Ia memeluk lutut, menatap tangannya yang terborgol dan masih kotor. Bercak darah ada di mana-mana, membuat sesak hatinya. Ingatan saat ia menusuk seluruh keluarganya berputar bak roll film. Membuat Arina menutup mata, kembali bersedih, menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Dan disinilah Arina berada. Meringkuk seperti pesakitan. Berharap ada orang yang menolongnya. Tidak. Arina tidak butuh penolong. Dia hanya butuh seseorang yang bisa membangunkannya dari mimpi buruknya sekarang.

***

Uap panas mengepul ke atas dari dua cangkir di atas meja. Seorang pria setengah abad dengan piyama putih menyesap kopi di cangkirnya. Tampak nyaman duduk di sofa rumahnya. Berbincang dengan keponakan sekaligus orang yang membantu proyeknya.

"Terimakasih atas bantuannya, Nak. Meski kamu keras kepala karena tetap memotivasi kendati sudah dilarang. Walau aku juga tahu itu pasti perlakuan reflek. Tidak terlalu jadi masalah ternyata, bagus untuk mendramatisir keadaan."

Pemuda di hadapannya mengangkat satu sudut bibir, tersenyum.

"Berapa bayaran yang kamu minta? Paman bisa berikan semaumu," kata pria itu, menyenderkan punggungnya ke belakang.

"Aku nggak perlu uang. Buat apa? Di sini nggak ada mall, bioskop, atau apa pun buat hamburin uang kayak yang manusia lakukin di zaman dulu. Lihat Papa dan Mama sembuh udah lebih dari cukup buatku," jelasnya. Pria tadi mengangguk takzim, mengerti.

"Jika kita berhasil, mungkin penyembuhan bisa dilakukan sebulan lagi. Kamu tenang saja, mereka pasti sembuh."

Pemuda yang diajak bicara hanya tersenyum, berkata amin dalam hati.

"Apa mereka bertiga bakal baik-baik aja?"

Pria yang merupakan paman pemuda tadi mengernyitkan dahi, tidak paham. Tapi sejurus kemudian, "Ah, maksudnya ketiga temanmu? Tenang saja, semua berjalan lancar. Mereka pasti akan baik-baik saja."

Mendengarnya si pemuda menghela napas, mengangguk.

"Yaudah, Paman. Aku pamit kerena mau istirahat buat kerja besok. Udah lama aku nggak jelajah ke luar benteng."

Si paman mengangguk, "Istirahatlah. Otakmu pasti sangat lelah sekarang. Dan lelah pikiran itu lebih lelah dari lelah fisik. Omong-omong, kamu masih ingin bekerja di luar sana? Menaruhkan nyawa?"

"Aku suka kerjaanku, Paman. Lagipula aku udah terlatih. Paman tenang aja. Nggak usah khawatir."

Si pemuda bangkit berdiri, melangkah keluar rumah. Si paman mengantarnya sampai pintu depan, lalu melambaikan tangan.

Pemuda berumur dua lima itu meloncat ke atas motornya, menghela napas. Tugas khususnya sudah selesai. Tetapi dia tidak bisa pulang ke mess sekarang. Ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Sesuatu yang cukup penting.

Ia memutar kunci, menghidupkan mesin motor. Beberapa detik kemudian motornya sudah melaju kencang, membelah jalan perumahan elite menuju gerbang ke luar. Gerbang otomatis terbuka. Kali ini ia memasuki kawasan biasa, melesat menuju bangunan penelitian yang cukup dekat dengan tembok benteng dan hanya dibatasi hutan lebat. Lampu motornya menyoroti jalan.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Bukan waktu yang mencurigakan untuk datang ke bangunan itu malam-malam. Penjaga yang mengenalnya langsung membukakan gerbang, memperbolehkan masuk. Sampai bangunan utama, pemuda itu memarkirkannya motornya. Ia turun dari motor, membenarkan sedikit jaket kulit yang ia kenakan. Bukannya masuk dari pintu utama, ia malah berjalan memutari bangunan. Selain malas bertemu dengan orang-orang di dalam, tujuannya di sini juga hanya untuk datang ke hutan lebat di belakang bangunan. Jadi tidak perlu masuk ke bangunannya.

Pemuda itu menoleh ke kanan-kiri, berjalan santai. Tidak banyak penjaga di tempat ini. Hanya beberapa dan tidak terlalu mencurigainya karena ia sudah beberapa kali keluar-masuk ke tempat ini. Jadi ia tidak perlu membuat alasan apa pun.

Pepohonan lebat sudah nampak di depan matanya. Untuk yang satu ini ia harus berhati-hati saat memasukinya. Jangan sampai ada penjaga yang melihatnya masuk hutan. Beberapa saat setelah dirasa aman, ia bergegas masuk. Menelusuri jalan yang dirasa persis seperti yang dituturkan seseorang padanya beberapa hari yang lalu.

Keadaan gelap. Hanya ada pantulan cahaya bulan dari atas. Dedaunan bergerak, bergemerisik terkena angin malam. Suara jangkrik mengerik juga terdengar dari setiap arah. Pemuda itu melangkah pasti. Tidak peduli dengan suara berisik yang timbul karena dedaunan kering yang ia injak. Hutan ini sepi. Pastinya sama sekali tidak ada seseorang yang menjaga. Jikapun ada pasti hanya sedikit, seperti yang diceritakan seseorang padanya.

Cukup lama ia berjalan memasuki hutan, tapi tidak ada sesuatu yang ia cari sedari tadi. Tapi tidak mungkin seseorang yang memberitahunya hanya berkhayal. Bualan semata. Awal saat mendengarnya ia memang tidak percaya. Tapi ia tahu seseorang itu tidak akan berbohong. Kejadian malam-malam yang seseorang itu alami pasti sungguhan ada, bukan hanya mimpi seperti yang dipikirkannya.

Ia berjalan kembali. Beberapa meter kemudian, ia tertegun. Jauh di depannya nampak sebuah sumur yang tertutup lubangnya.

Mengapa ia baru menyadari ada sumur itu sekarang?

Yang seseorang katakan itu benar adanya. Ia berjalan mendekat, segera membuka tutupan semen di atasnya. Ada tangga besi yang menempel di dinding sumur. Tanpa basa basi ia segera turun. Tak lupa menyorot senter yang ia bawa karena keadaan di dalam sangat gelap.

Sampai bawah, ia melihat ada saklar di dekat tangga basi. Pemuda itu langsung menekannya. Lampu kuning berwatt kecil menyala seketika. Itu bukan sumur biasa. Pintu masuknya memang seperti sumur, tapi di dalamnya ada ruangan bawah tanah. Pemuda itu melangkah maju, mengerutkan dahi ketika melihat ada beberapa ruangan berjeruji besi di dalamnya.

Ia berhenti melangkah. Terhenyak. Menatap tak percaya sosok yang ada di dalam salah satu ruangan sel.

"Bibi?"

Seorang wanita yang terbaring membelakanginya menoleh. Wajahnya menyedihkan. Pakaiannya kumal dan rambutnya kusut. Kulitnya kusam tak terawat. Pemuda itu benar-benar tidak percaya bisa melihat sosok wanita yang ia ketahui telah meninggal dua setengah tahun yang lalu sekarang ada di hadapannya.

"Biru, itu kamu?"

Pemuda itu mengangguk, mendekat ke sel, "Bibi baik-baik aja? Sejak kapan Bibi ada di sini? Kenapa mereka bilang Bibi udah nggak ada?"

Wanita itu berdiri, ikut mendekat. Pemuda itu baru sadar, tubuh wanita di depannya berubah banyak dari yang terakhir ia lihat. Lebih kurus. Lebih kering, tak bertenaga.

"Arisa, Biru! Dia dalam bahaya. Tolong selamatin Arisa sekarang!"

Pemuda itu menatap tak mengerti wanita di depannya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

次の章へ