webnovel

RUSH

Wajah ibuku berseri seperti biasanya. Seperti hari-hari sebelum ia mengetahui kematian Tsukasa. Ia bersenandung sambil menyiapkan sarapan untukku dan ayah.

Aku ingat kejadian tanggal 14 Desember di pagi hari. Sup miso hari ini akan terasa lebih asin dari biasanya. Karena ibuku tak fokus dengan masakannya dan lebih fokus dengan lirik lagu Do Me More dari Namie Amuro. Setelah intro dia tak begitu hafal, dan terus mengulang-ulang liriknya.

Aku dan ayah tertawa pelan melihat kelakuan ibuku. Herannya, hal remeh seperti ini bisa aku ingat dengan jelas. Tapi apa yang terjadi pada Tsukasa begitu samar. Seakan memang sengaja di hapuskan dariku.

Semua keceriaan keluarga pagi ini. Membuat sarapanku yang keasinan itu, tak begitu menganggu indera pengecap yang diberkahi ketajaman oleh Tuhan ini.

Syal rajut berwarna hitam, melingkar di leherku. Memberikan rasa hangat dan lembut yang nyaman. "Aku berangkat!" Aku berseru dari pintu depan.

"Hati-hati di jalan!" dari balik pintu aku masih bisa mendengar jawaban ayah dan ibuku.

Meraih sepedaku dan mengayuhnya penuh semangat. Aku akan menyusul Tsukasa. Biasanya kami hanya akan bertemu di gerbang sekolah. Tapi kali ini, aku akan memulai kebiasaan baru. Menjemputnya meski arah rumah Tsukasa berlawanan dengan arah ke sekolah.

Tak apa kan? aku punya begitu banyak energi dalam diriku. Ratusan meter menuju sekolah, tak akan membuatku lemas saat pelajaran tiba. Apalagi jika bersama Tsukasa.

Saat pedal sepedaku berhenti aku kayuh, aku turunkan kaki untuk menopang tubuhku yang masih duduk di sadelnya. Tsukasa tampak sedang menutup pintu pagar besi berkarat, begitu menoleh ke belakang dia terkejut dan mundur selangkah.

"Hei! bersuaralah agar aku tak terkejut ketika melihatmu yang tiba-tiba ada di belakangku!" Bibirnya mengerucut dan tangannya mengelus dada. Ia tak memakai syal di pagi yang dingin ini?

"Maaf, maaf. Aku pikir suara sepedaku sudah cukup membuatmu sadar, ternyata tidak. Selamat pagi!" Aku tersenyum semanis mungkin. Berpikir bahwa senyumku mungkin saja bisa jadi motivasi bagi Tsukasa untuk lebih semangat menjalani hari.

"Ah! Senyumanmu tidak membuatku merasa lebih baik. Jantungku masih berdegup kencang, kau tahu!" Ia melirikku dengan tatapan marah, lalu menghela nafas setelahnya, "Kau datang menjemputku?"

"Tidak. Aku ingin mengajak kencan bibi tetangga."

"Eh?!"

"Tentu saja menjemputmu, bodoh! ayo cepat nanti kita terlambat! Sebelum Mori-sensei menutup pagar sekolah dan kita tak bisa masuk kelas."

"Iya, iya!" Tanpa banyak protes, Tsukasa duduk di atas Rack belakang yang telah di beri alas spons empuk. Lengannya melingkar di perutku.

Aku sedikit terkejut dengan hal itu. Aku pikir Tsukasa akan berpegangan pada bagian besi bracket. Seharusnya aku sudah bisa mengiranya, Tsukasa sedikit berbeda dari bocah laki-laki SMA lainnya. Dia ini si soft boy. Segala pemikiran tentang keselamatan dan keamanan pasti sangat ia dahulukan. termasuk memelukku dari belakang ketika berboncengan begini.

Ia tahu betul kalau aku akan mengayuh pedal dengan sekuat tenaga.

***

Saat roda sepedaku sudah memasuki gerbang sekolah, Tsukasa langsung menarik tangannya dari perutku. Berpegangan erat pada besi bracket. Aku bisa merasakan kecemasan dari dirinya, ketika kami melewati segerombolan siswa yang pakaiannya tidak rapih. Mereka adalah Seito dan kawanannya. Siswa kelas 2 F, preman sekolah ini.

Akhirnya kami sampai di parkiran sepeda, dengan cepat Tsukasa turun dan berdiri tekun melihatku yang sedang memposisikan sepedaku sebelum akhirnya, menurunkan besi standar agar sepedaku bisa berdiri dan terparkir dengan sempurna bersama sepeda siswa lain di sini.

"Yosh! ayo." Aku merangkul Tsukasa menuju kelas kami yang cukup jauh dari parkiran sepeda. Wajah Tsukasa masih memunculkan ekspresi cemas. Lalu langkah kami berhenti ketika sebuah siulan terdengar dari arah belakang.

Tsukasa menoleh dengan cepat, aku ikut gerakan Tsukasa dan melihat Seito serta teman-temannya yang lain melihat kami dengan wajah tertarik.

"Wah wah!! pagi-pagi begini aku sudah melihat cuplikan film Yaoi!" Seito bersuara. Memprovokasi yang lain hingga semuanya tertawa, menertawai kami.

Bisa aku lihat wajah ketakutan Tsukasa. Tapi bukan takut yang hadir pada diriku. Sebuah rasa kesal yang masih bisa aku tolerir. Mereka hanya kumpulan burung-burung perusuh di sekolah. Anggap saja mereka sedang berkicau riang karena belum sarapan.

"Ayo, Tsukasa." Aku kembali merangkul Tsukasa yang bergidik sebentar lalu menurut padaku.

"Menarik sekali. Tsukasa memang maniskan? jadi bagaimana hubungan kalian?" Seito makin semangat dengan imajinasi kotor di kepalanya. Aku masih tidak tertarik mengikuti bisikan iblis untuk memulai pertengkaran dengan preman satu ini.

Jikalau memang aku berkelahi pun, tenagaku jelas kalah, jumlah apalagi. Aku juga bukan orang yang pandai ilmu beladiri.

Yang bisa aku lakukan adalah tidak meladeninya.

"Aku takut kau akan dapat masalah." Keluh Tsukasa masih berada dalam rangkulanku.

"Tidak. Aku jamin." Hanya menjawab asal. Agar Tsukasa tak merasa cemas. Lagi pula Seito dan kawanannya tak mengikuti kami.

Tak ada yang aku takutkan saat ini. selain kenyataan bahwa pengulangan hari demi hari yang aku lakukan akan berakhir seperti saat itu. Saat dimana Tsukasa meregang di dalam bathtubnya.

Maka, aku akan berusaha lebih dan lebih lagi dalam menjaga Tsukasa. Walau harus ikut adu pukul dengan preman satu itu.

Kelas kami ramai seperti biasanya. Suara-suara tawa dan obrolan yang seru terdengar hingga koridor. Aku masih merangkul Tsukasa ketika memasuki ruangan. Semua mata memandang kami. Aku sedikit bingung dan merasa risih, pandanganku bertemu dengan Keisuke. Ia segera mengalihkan pandangannya, sibuk dengan majalah jump yang saat ini ada di atas meja.

Ada apa?

Aku tak bisa mengingat apa yang terjadi di sekolah pada tanggal 14 Desember.

Samar-samar suara berbisik yang lain terdengar di telingaku. Saat aku meletakkan tas pada pengait di meja, di susul dengan Tsukasa yang duduk dengan ragu di bangkunya yang berada tepat di depanku.

"Mereka sedang membicarakan kita bukan?" gumam Tsukasa tanpa menoleh padaku. Aku menyentuh pundaknya agar ia berbalik melihatku.

Wajah putihnya terlihat tak bersemangat. Wajah rupawannya tampak murung. Aku tak mau melihat hal itu!

"Dengar Tsukasa. Mereka mau membicarakan kita sampai mulut mereka berbusa pun tak akan membuat hidup mereka jauh lebih baik. Mereka tetap sampah yang mencontek ketika ujian." Aku berpura-pura menghalangi mulutku ketika bicara dengan Tsukasa, agar mereka semua tak mendengar apa yang aku ucapkan.

"Eh?! mulutmu kasar sekali!" Tsukasa mundur dengan wajah terkejut. Ia memang tak akan berani merendahkan orang lain kecuali aku. Karena perasaannya yang lembut.

"Lho?! mereka memang sampah yang sedang belajar agar berubah menjadi sampah yang bisa lebih berguna kan? kita semua sampah! itulah kenapa ketika kita mati, jasad kita di bakar." bicaraku sok pintar, Tsukasa menampilkan wajah tak setuju dengan hal itu.

"Bukan begitu kan! kau ini.. Sampah ya? kalau begitu jenis sampah seperti apa kita ini?" ekspresinya berubah menjadi lebih hidup di mataku.

"Hmm ayo kita tentukan. Aku adalah sampah kaleng minuman. Aku tak keberatan di daur ulang agar kembali berguna. Lalu kau, kau adalah sampah botol kaca."

"Eh! kenapa? aku sampah yang paling berat."

"Meski sampah, kau berkilauan. Sejak awal, kau kuat dan tak perlu di daur ulang kan?"

"Kau ini, kalau pecah bagaimana?" dia tertawa, wajahnya memerah dan begitu sumringah. Lesung pipi yang begitu aku puja, menyekung sempurna.

Syukurlah, untuk hari ini.

***

次の章へ