webnovel

24. Queen Yang Sebenarnya

"Jangan menganggap gue orang baik. Karena gue enggak sebaik seperti yang lo pikirkan." (Dira)

****

Mata itu menatap kosong ke depan. Pikirannya melayang ke masa lalunya yang begitu pahit. Bahkan rasa manis yang pernah ia rasakan seolah menghilang tak tersisa. Semua itu... gara-gara dirinya. Dia penyebab datangnya semua kepahitan itu. Kepahitan yang tidak hanya menyerang dirinya, tapi orang-orang di sekitarnya yang begitu ia sayang.

"Semuanya salahku, Ka. Semuanya salahku... S-seharusnya-- seharusnya a-aku... Hiks." Dia terisak pilu karena tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Hanya satu hal untuk menebus semua kesalahannya. Tapi, satu hal itu sangat sulit untuk ia temukan bertahun-tahun lamanya. Dia sudah mencarinya ke mana-mana, bahkan menggerakkan beberapa anak buahnya, tapi tetap saja tidak menemukannya. Ke mana lagi ia harus mencarinya? Semua usaha sudah ia lakukan sekuat tenaga tapi hasilnya tetap sama. Seolah yang ia lakukan hanyalah sesuatu hal yang sia-sia.

"A-aku akan menemukannya, Ka. J-janji yang aku ucapkan, pasti akan aku tepati. K-kamu tenang saja, a-aku akan tetap berusaha mencarinya. Mencari putramu, yang bernama..." Tangannya terkepal erat, tekadnya masihlah kuat sampai sekarang. Matanya menyorot tajam ke depan dengan kobaran api semangat. Bibirnya mengukir senyum yang manis.

"Azka... Azkara Ranendra."

*****

"Ikhh... Gue enggak mau, gue jijik!" Rengekan itu membuat telinga Dira begitu panas. Tangannya yang sedang memegang tongkat pellan dipererat.

"Masa Queen kayak gue disuruh ngepel toilet? Hello! Ogah banget! Mendingan kalian aja sana, gue mah ogah!" Monic bergidik jijik sambil mengibaskan rambutnya yang panjang. Dia menatap jijik lantai toilet yang sedang dia pijak.

"Lo bisa diam enggak!" Dira menatap sinis Monic yang seketika melotot ke arahnya.

"Enggak bisalah! Gue enggak mau dihukum suruh bersihin toilet yang kotor kayak gini!" Monic menyerocos tak terima.

"Diam atau gue pukul!" Dira mengangkat pellan yang dia pegang. Dia mendelik ke arah Monic yang tidak merasa takut kepadanya seolah yang dikatakan Dira hanya omong kosong belaka.

"Kalau mau pukul, ya udah pukul aja!" Monic berbalik seolah tak peduli. Tapi, sedetik kemudian--

Bugh!!

"Argh!!" Monic memekik keras ketika merasakan pundaknya dipukul dengan begitu keras. Dira tertawa ngakak seolah yang dia lakukan tidak berarti apa-apa.

Monic berbalik sambil meringis memegangi pundaknya yang terasa linu. Dia pikir Dira tidak akan berani memukulnya, tapi ternyata dugaannya salah. "Maksud lo apaan, hah! Pundak gue sakit, bego!" Monic berteriak marah pada Dira yang menatapnya seolah mengatakan, 'Bukannya tadi lo yang minta?'

"Lho, kok nyalahin gue? Memangnya gue salah apa?" Mata Dira mengerjap polos, dia menatap Monic yang mendesis marah.

Monic pikir Dira tidak akan memukulnya, ya? Itu salah besar, dia bahkan tidak ragu untuk membunuh seseorang bila diperlukan. Itu pekerjaan yang mudah, apalagi cuma memukul Monic, tanpa persetujuan Monic pun Dira siap memukulnya kapan saja.

"Dira!! Gue enggak akan maafin lo kali ini!!" Monic memekik keras, Bella dan Bunga saja dibuat meringis karena suara Monic yang begitu memekakkan telinga.

Dira memiringkan kepalanya pelan, tatapannya kali ini begitu berbeda. Dingin, tajam, dan juga menusuk. Bibirnya semakin menipis, dia menyeringai kejam dengan rahangnya yang mengeras.

"Bukannya seharusnya gue yang ngomong kayak gitu sama lo? Siapa yang ngebully gue? Siapa yang berusaha menyelakai gue? Dan siapa yang bikin gue hampir kehabisan napas di air?" Kaki Dira melangkah mendekati Monic yang mundur sambil menatapnya takut.

"L-lo mau apa!! Enggak usah dekat-dekat sama gue!" Monic kali ini memekik panik, aura di sekitarnya terasa berbeda. Di kepalanya seolah ada alarm yang menyala menyatakan tanda bahaya yang akan datang menimpanya.

"Anggap aja pukulan dari gue tadi, balasan buat lo, saat lo berusaha membuat gue tersandung kaki lo waktu itu." Monic teringat saat dia berusaha membuat Dira tersandung kakinya, tapi yang dia dapat justru Dira dengan sengaja menendang tulang keringnya dan pura-pura terjatuh.

"Tapi... itu juga belum cukup. Karena kesalahan lo bukan cuma itu. Hari ini lo ngebully gue, 'kan di toilet ini? Gimana jadinya kalau gue balas ngebully lo? Bukan di toilet, melainkan di depan umum!" Tangan Dira sudah berada di kepala Monic dan menjambak rambutnya begitu kuat. Tanpa belas kasihan dia menyeret paksa Monic dengan tangannya yang masih mencengkeram rambutnya.

Monic berteriak histeris meminta teman-temannya untuk menolongnya dari cengkeraman Dira. Sayangnya Bella dan Bunga tidak punya nyali sebesar itu untuk membantu Monic.

"ARGH! LEPASIN GUE!! LEP-- ARGH!!" Monic berusaha melepaskan diri dari Dira, tapi itu membuat cengkeraman pada rambutnya semakin kuat yang membuat kulit kepalanya terasa perih.

"DIAM! ATAU KEPALA LO GUE PISAHIN DARI TUBUHNYA!" Dira membentak Monic yang kini terisak.

"J-jangan hikss... M-maafin gue, Dira hikss..." Monic memasang tampang memelasnya supaya Dira berbaik hati mengampuninya. Tapi, Dira tidak sebaik itu, hoho.

"Cih, maaf lo? Basi tahu enggak! Gue bukan orang baik! Jadi, enggak usah berharap bakal gue baikin, dasar bego!" Teriakan-teriakan Monic menggema di sepanjang koridor yang Dira lewati sehingga menarik perhatian siswa-siswi dari kelas lain untuk melihatnya.

Mereka berbondong-bondong keluar kelas demi melihat apa yang akan Dira lakukan terhadap Queen Of Bullying di sekolah mereka.

Dira menghempaskan Monic ketika sudah sampai di tengah lapangan yang terik karena sinar matahari. Napasnya memburu membuat dadanya naik turun karena diselimuti oleh amarah yang kian memuncak. Dia sudah beberapa kali menahannya tapi tidak lagi untuk sekarang.

Bella dan Bunga berusaha kabur, tapi Dira dengan sigap menarik kedua tangan mereka. "Tangan ini, 'kan, yang nahan gue? Gimana rasanya kalau tangan ini gue patahin?" Dira memelintir tangan Bella dan Bunga yang saat itu digunakan untuk menahan kedua tangannya.

Krakk

Suara patahan itu membuat semua orang yang menonton kejadian itu memekik ngilu. Dira memang tidak main-main dengan ucapannya. Bella dan Bunga berteriak kesakitan ketika tangan mereka dipelintir begitu kuat oleh Dira.

"Argh! Lepasin gue, hiks..." Keduanya terisak merasakan ngilu di tangan mereka. Lagi-lagi Dira menghempaskan mereka yang seketika jatuh bersimpuh di kakinya.

Monic mengambil kesempatan ketika Dira sibuk dengan kedua temannya, dia mengesot menghindari Dira. Dira yang melihat itu seketika menginjak kaki Monic dengan kuat. "Jangan coba-coba kabur. Lo juga harus dapet balasannya!"

Monic memekik saat Dira menguatkan injakannya pada kakinya dan terdengar bunyi patahan tulang. Monic hanya bisa terisak ngilu sampai suaranya serak karena terlalu banyak menangis.

"Lo bilang bahwa lo Queen di sini, 'kan? Asal lo tahu kalau gue Queen yang sebenarnya di sini! Lo Queen Of Bullying, dan gue..." Dira menyeringai sinis.

"Queen Of Mafia."

Wajah Monic, Bella, dan Bunga seketika pucat. Mata mereka melotot tak percaya, mereka mengedarkan pandangannya ke sekitarnya untuk memastikan bahwa yang mereka dengar tadi tidaklah salah. Semuanya mengangguk membenarkan ucapan Dira yang membuat ketiganya semakin ketakutan.

"Kalian... enaknya gue apain?" Dira menatap ketiganya secara bergantian. Ketiganya kompak menggeleng.

"J-jangan apa-apain kami, Dira. K-kami minta maaf." Ketiganya bersujud di kaki Dira. Dira menggeram marah, dia menendang ketiganya sampai terpental beberapa meter.

"GUE UDAH BILANG, GUE BUKAN ORANG BAIK! KALIAN TULI HAH!!" Ketiganya terisak, mereka begitu frustrasi karena tak tahu bagaimana caranya supaya mereka bisa bebas dari Dira.

"Kalian minta gue bunuh satu persat--"

"Honey, udah cukup."

Ucapan Dira terpotong dengan suara Azka yang tiba-tiba memasuki telinganya. Bukan hanya itu, tangan kokoh Azka bahkan sudah melilit pinggangnya dengan erat. Napas Dira yang tadinya memburu seketika berangsur normal. Amarahnya menyusut seketika hanya karena perlakuan Azka.

"Udah cukup, oke? Kamu membuat semua orang takut, Honey." Napas Azka tersengal-sengal, dia terkejut saat mendengar bahwa Dira mengamuk di tengah lapangan. Dia bergegas menuju kemari saat tadinya dihukum untuk membersihkan gudang bersama dengan Nick dan Edward.

Mata Dira mengerjap pelan, dia sesaat seperti orang linglung. Dia menatap sekitarnya dengan pandangan bingung. Apa yang terjadi? Matanya beralih menatap Monic dan teman-temannya yang masih terisak karena kesakitan.

"Mereka..." Telunjuk Dira menunjuk ketiga orang tersebut. "Kenapa?"

Mata Azka membulat sempurna, dia terkejut apa maksud Dira berkata seperti itu? Apa dia tidak mengingat perbuatan yang dia lakukan?

"Kamu enggak ingat, Honey?" Azka membalikkan tubuh Dira dengan tangannya yang masih melilit di pinggang Dira.

"Ingat apa? Memangnya apa yang aku lupakan?" Azka semakin dibuat syok, Dira bahkan menatapnya dengan tatapan polos seolah tak tahu apa yang terjadi.

Sementara itu Nick dan Edward hanya bisa menghela napas. Mereka tahu betul kenapa Dira bersikap seperti itu. Keduanya saling melempar pandangan, lalu beralih menatap Dira kembali.

Sebenarnya tadi bukanlah Dira yang melakukan penyiksaan pada Monic dan teman-temannya. Melainkan...

Alter ego nya.

Sadisnya >∆<

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

LidiaCntys10creators' thoughts
次の章へ