[MAX]
Sudah berhari-hari dia masih belum bangun juga. Setelah dia membabi buta waktu itu, dia langsung tidak sadarkan diri, sampai sekarang. Bahkan dokter pun tidak bisa mendiagnosis penyakit yang dideritanya.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pasien. Tapi, kami tidak menemukan keanehan pada tubuhnya. Fungsi otaknya juga normal."
Aku membawanya ke rumah sakit, agar dia mendapatkan penanganan khusus dan dia bisa sadar kembali. Namun, ternyata itu sia-sia.
"Berdasarkan keterangan Anda, yang menyebutkan, pasien tidak sadarkan diri setelah meluapkan amarahnya. Kami hanya bisa berspekulasi, bahwa sanya pasien dalam keadaan tertekan."
Apa benar dia tertekan? Bukan karena disebabkan oleh kekuatan iblis yang menguasai tubuhnya? Aku hanya bisa menunggu sampai dia sadar.
Yah, mungkin saja dia memang tertekan. Karena, orang yang sangat berarti di hidupnya. Benar-benar sudah tiada.
Luna sangat antusias ketika aku bisa membantunya mencari Ibunya. Dan alangkah sangat bahagianya dia saat dia bertemu dengan Ibunya itu. Bahkan, senyumannya saat dia memeluk Ibunya pun, masih terbayang jelas di pikiranku.
***
"Ibuu…!"
***
Andai saja aku tidak meminta bantuan kepada orang itu. Maka kami tidak akan mendapatkan masalah, yang berujung pada kematian Ibunya.
"Haah, aku hanya bisa menyesali semua ini. Meminta maaf pun percuma. Bahkan, aku tidak siap melihat matanya secara langsung."
Apa aku pergi saja? Karena, untuk apa aku masih bersamanya? Aku hanya merepotkannya saja selama ini.
"Ternyata ini yang dia katakan waktu itu."
***
"Sebaiknya, kita tidak boleh menjalin hubungan apa-apa dengan manusia. Apalagi, kita sudah merenggut banyak nyawa manusia. Kita hanya akan mendatangkan penderitaan dan keputus asaan bagi mereka."
***
Dia benar, aku hanya membawa penderitaan kepada Luna. Lebih baik aku pergi saja, menjauh darinya.
"Tapi…,"
***
"Kau masih mau memburu mereka?"
"Masih."
"Apa kau tidak takut?"
"Buat apa takut? Aku punya teman, yang bisa aku andalkan. Yaitu, kau."
"Teman?"
"Iya, teman."
***
"…dia sudah menganggapku sebagai temannya. Bagaimana bisa aku meninggalkannya begitu saja. Dia sedang tertekan, aku harus bisa menenangkannya."
Aku kembali masuk ke ruang inap Luna. Menunggunya hingga dia bangun. Dan aku akan menghiburnya sampai dia melupakan kesedihannya itu.
Aku baru tahu, ternyata dia masih sangat muda. Pantas saja wajahnya terlihat menggemaskan. Tapi, dadanya…
"Apa-apaan sih? Aku malah memikirkan hal kotor seperti itu."
Aku menghela nafas dan kembali menatap wajahnya.
"Mm…"
"Luna, kau sadar?"
Tiba-tiba dia menggerakan tangannya seakan memukul sesuatu berkali-kali. Masih dalam keadaannya yang belum sadar sepenuhnya.
"Aku tidak menginginkan kekuatan ini! Aku hanya ingin ibuku kembali!"
"Luna, sadarlah!"
Aku menepuk-nepuk pipinya agar dia sadar. Tapi, pas dia membuka matanya dia semakin memberontak.
"Pergi, kau! Menjauh dariku! Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, Lucy!"
"Ini aku, Max. Tenanglah!"
Aku memegangi kedua tangannya dan mencoba untuk mendekapnya. Dia masih melawan, namun kemudian dia menangis. Dan berhenti memberontak.
Semakin lama tangisannya semakin histeris. Sehingga seorang perawat datang ke ruangan ini.
"Syukurlah, jika pasien sudah sadar. Tolong tenangkan dia, biar saya bisa memeriksanya."
"Baik, Suster."
Aku mencoba melepaskan dekapanku, tapi sekarang dia yang malah memelukku. Tangisannya pun tidak mereda.
"Sudah, berhentilah menangis! Tenangkan dirimu! Semuanya sudah terjadi. Biarkanlah berlalu. Oke?"
Dengan perlahan Luna melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya sendiri. Dan setelah cukup tenang, perawat itu pun melakukan pemeriksaan terhadap Luna.
"Kondisi pasien baik-baik saja. Mungkin saja, dia hanya mengalami mimpi buruk. Sehingga bereaksi seperti itu."
"Terima kasih, Suster!"
"Sama-sama. Kalau begitu, saya tinggal."
"Iya."
Luna memang sudah sadar, tapi dia masih terlihat sedih. Aku rasa, kesedihannya tidak akan cepat berakhir.
"Hey?"
Dia diam saja, tidak menunjukkan respon sedikit pun. Bahkan tatapannya cenderung kosong. Raut wajahnya pun tidak seperti biasanya.
***
"Kondisi teman Anda, sebenarnya sudah sangat baik. Hanya saja, pikirannya tentang Ibunya masih menghantuinya. Itu hanya bisa diobati dengan cara menghiburnya. Dan itu bisa dilakukan di rumah. Dan juga hari ini, teman Anda sudah boleh pulang."
"Terima kasih, Dokter."
***
Aku membawa Luna pulang kembali ke rumahnya. Untung saja aku masih ingat alamat rumahnya. Kalau tidak, bisa-bisa aku kesusahan mencari alamat rumahnya ini. Terlebih lagi, Luna masih belum mau diajak bicara.
"Sudah sampai, Tuan. Benar ini rumahnya?"
"Benar, Pak."
Sopir taksi membantu memegangi kursi roda selagi aku memangku Luna dan mendudukkannya di kursi roda itu.
"Terima kasih!"
"Sama-sama."
"Akhirnya kita sampai di rumah."
Luna hanya melihat ke arah pintu rumahnya saja tanpa berbicara sedikit pun. Lalu, kami masuk ke dalam rumah.
"Apa kau lapar?"
Luna hanya mengangguk.
"Baiklah. Aku akan memasakkanmu sesuatu."
Aku membuka lemari es dan hanya ada beberapa telur dan sisa daging yang waktu itu. Karena aku tidak pandai memasak daging, maka aku memilih untuk memasak telur itu jadi telur mata sapi.
"Entah kenapa dinamakan telur mata sapi. Apa karena bentuknya menyerupai bola mata? Tapi, mata sapi tidak seperti ini. Entahlah."
Aku menaruh makanan yang sudah jadi itu di meja di hadapan Luna. Lagi-lagi Luna hanya memandanginya. Sepertinya aku harus menyuapinya.
Aku mengambil alih makanan itu dan menyuapinya. Saat aku mendekatkan sendok ini ke mulutnya. Perlahan mulutnya terbuka.
Benar kata Dokter, dia hanya merespon apa yang aku lakukan padanya.
***
"Dia hanya akan bereaksi sesuai naluri otaknya saja. Kemampuan dia untuk bertindak aktif, menghilang disebabkan trauma yang mendalam yang dideritanya itu. Bisa dibilang, dia seperti kehilangan semangat hidupnya. Alasan untuk dia hidup."
"Apa dia bisa sembuh, Dokter?"
"Tentu saja. Dia hanya perlu dipicu agar kembali aktif, ceria dan semangat seperti sedia kala."
"Lalu pemicunya itu apa, Dokter?"
"Saya tidak bisa menyebutkan hal spesifik apa yang bisa memicunya kembali aktif. Karena, bisa apa saja yang menjadi pemicunya itu."
***
Aku hanya harus menemukan pemicu yang dimaksud dokter itu, agar dia kembali aktif dan ceria seperti sebelumnya. Jujur, aku ikut merasa terpukul melihatnya seperti ini.
"Ini suapan yang terakhir. Habis ini aku akan mengantarmu ke kamar."
Setelah memberinya minum, aku pun membawanya masuk ke dalam kamar dan membaringkannya di atas kasur.
"Tidurlah yang nyenyak! Besok pagi aku akan membawamu jalan-jalan keluar. Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang bisa menjadi pemicu buatmu. Agar kau bisa kembali seperti biasanya."
Saat aku melangkah pergi aku mendengar Luna bersuara dan tangan kirinya sedikit mengangkat.
"Hhaaaa…"
"Oh, kau tidak ingin aku pergi? Baiklah, aku akan menemanimu tidur."
Aku mengambil kursi yang ada di dekat meja, lalu duduk di sebelah Luna. Dia hanya memandang langit-langit kamar. Aku tahu dia ingin tidur, tapi seperti enggan untuk memejamkan matanya.
"Apa yang kau pikirkan? Apa kau takut mimpi itu kembali mendatangi tidurmu?"
Luna melihat ke arahku.
"Apa aku boleh mengusap kepalamu?"
Luna mengangguk pelan. Lalu, aku mengusap kepalanya dengan perlahan. Lama-lama dia pun tampak memejamkan matanya.
***
Hari ini aku mengajak Luna berkeliling di taman. Melihat sekumpulan anak kecil yang bermain bola. Salah satu anak tidak sengaja menendang bolanya ke arah kami. Untung saja tendangannya cukup pelan. Meski begitu, bola itu menggelinding dan mengenai roda bagian kiri kursi roda.
"Ma-maaf, aku tidak sengaja."
Anak yang menendang bola itu tampak menyesal.
"Tidak apa-apa. Ini, bolanya."
"Terima kasih, Kak!"
Anak-anak yang lain juga ikut mendatangi kami dan memerhatikan Luna.
"Kakak ini kenapa?"
Tanya anak perempuan satu-satunya di antara mereka. Aku rasa, anak-anak ini bisa menjadi pemicu Luna.
"Kakak ini sedang sedih."
"Sedih kenapa?"
"Dia baru saja kehilangan Ibunya. Ibu yang paling dia sayangi. Apa kalian mau menghibur Kakak ini? Agar dia tidak bersedih lagi."
Anak perempuan itu semakin mendekat dan memegang tangan kanan Luna.
"Kak, jangan sedih lagi! Aku juga kehilangan Ibu. Ibu pergi setelah melahirkanku. Kata Ayah, aku harus kuat meski tanpa Ibu. Kakak juga harus kuat, ya!"
"Bagaimana kalau kita bernyanyi?"
"Ayo!"
Mereka semua bernyanyi sambil menirukan gerakan hewan. Dan tampak sangat ceria. Tidak kuduga, hal itu membuat Luna sedikit mengulas senyuman di bibirnya. Aku rasa, cara ini berhasil.
***
"Terima kasih anak-anak, sudah menghibur Kakak ini."
"Sama-sama. Sampai jumpa lagi!"
Mereka semua berlari meninggalkan kami. Kecuali anak perempuan itu.
"Aku belum tahu, nama kakak siapa?"
"Luna. Namanya Kak Luna."
"Kak Luna, aku Lily. Salam kenal."
Luna merespon dengan cukup baik. Dia mengangkat tangan kanannya dan mengusap rambut Lily dengan lembut.
"Sampai jumpa! Aku harap saat kita bertemu kembali, Kakak sudah tidak sedih lagi."
Dia mengatakan itu seolah tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat ini.
***
"Kau tunggu di sini selagi aku masak. Ini, aku hidupkan tv-nya agar kau tidak bosan."
Entah kenapa, aku jadi selalu bersikap lembut padanya.
Lagi-lagi yang bisa aku buat hanyalah telur mata sapi. Entah dia akan bosan atau tidak dengan masakanku ini.
"Haaahhh… hhaaahh… hhhaaahh!"
"Luna kau kenapa?"
Luna terlihat ketakutan saat layar televisi menunjukkan seorang lelaki tua berambut putih yang sedang berpidato.
"Orang ini?"
"Harus kalian ketahui, selama ini kami bergerak secara diam-diam agar tidak menimbulkan kehebohan. Tapi, bukan berarti kami bertindak tanpa alasan. Para Hybrid yang kami tangkap adalah Hybrid Kriminal dan berbahaya. Seperti Hybrid yang ada di video yang viral tersebut. Dia sangat berbahaya sehingga membuat kami cukup kewalahan dan terjadilah kejadian tersebut.
Ketika mengetahui ada yang memviralkan proses penangkapan yang kami lakukan, kami memilih diam untuk meredam kehebohan yang terjadi. Tapi, selama kami tidak melakukan apa-apa, ternyata sudah terjadi sebuah pembantaian di suatu tempat. Kami sudah mendapatkan informasi mengenai si pelaku dan kami akan mencarinya sampai dapat. Karena tujuan kami adalah membawa kedamaian untuk kita semua!"
"Sepertinya aku mengenali orang tua itu." Aku baru ingat, dia adalah salah satu orang yang sudah membunuh rekan-rekanku beberapa tahun lalu. Ternyata si manusia perkasa itu adalah pemburu Iblis. Pantas saja, waktu itu dia sangat berambisi. "Dan sekarang dia mencoba mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Agar tindakannya dianggap benar oleh mereka. Cih, dasar manusia licik!"
"HHHAAAAAAAAAAAAHHHHH!!!"
Dengan cepat aku mematikan televisi dan berusaha menenangkan Luna yang berteriak sangat histeris.
"Sudah, Luna. Sudah! Kau tidak perlu khawatir lagi. Jika mereka datang, aku akan menghabisi mereka. Kali ini aku tidak akan menahan diri saat melawan mereka."
Volume tiga sudah terbit, dan diawali dengan Luna yang kehilangan semangat hidupnya. Dia sangat terpukul dan terpuruk atas kematian ibunya. Bagaimana tidak, dia baru saja bertemu dengan ibunya, yang telah lama terpisah. Tapi, pertemuan mereka hanya sebentar saja. Karena, ibunya dibunuh oleh hybrid berandal suruhan orang licik itu.
Bagaimana menurut kalian? Menarik? Coba komentar di bawah, ok?
"Kadang, kita butuh pemicu agar bisa bergerak." - unknown
Saya Eje's dan terima kasih!