webnovel

SORRY

Mobil taksi melaju dengan kecepatan 50km/jam menuju Ibaraki. Tapi bukan kecepatan itu yang membuat Naoki tidak tenang, sebentar lagi-entah berapa kilometer lagi ia akan bisa melihat sosok ibu yang selama ini dirindukannya. Tangannya terus meremas ponselnya, terlihat hingga kuku-kukunya putih. Makoto hanya melihatnya sebentar, lalu pandangannya kembali pada jalanan. Tidak berniat sedikitpun untuk mengusik kegundahan Naoki.

'Waktu tidak pernah baik pada siapapun. . ' suara lembut adiknya terngiang lagi ditelinganya. 'Ya sagiri... waktu tidak pernah baik. Sungguh'

Taksi berhenti didepan sebuah gedung, tertulis jelas di pagarnya "Ibaraki Rehabilitation Hospital" Tempatnya sepi, dan terbilang cukup jauh dari pusat kota. Makoto dan Naoki keluar dari taksi dengan ragu, saat memasuki gerbangnya ada security yang berjaga dan pastinya mereka harus melapor untuk bisa masuk.

"Kami datang untuk menjenguk, kami keluarga dari Yamada Miyuki" Makoto sesekali mengangguk dan melihat Naoki yang terus saja menunduk. Penjaga menulis data diri Naoki dan Makoto lalu memberikan nametag sebagai identitas penjenguk. Dari gerbang menuju bangunan yang dituju butuh waktu 15 menit, memang agak jauh. Tapi, sepanjang jalan setapak sisi-sisinya ditumbuhi pohon tabebuya dengan bunganya yang berwarna putih pucat.

Naoki semakin tenggelam dengan ketakutannya. Takut akan hal yang harus dia hadapi beberapa meter lagi. Tangannya semakin mendingin dan degup jantungnya tak beraturan. Beberapa kali Makoto mendengar Naoki menghembuskan nafasnya kuat-kuat.

"Hei" suara Makoto mengejutkannya "Coba lihat pohon-pohon ini, mereka berbunga walau bukan pada musimnya"

Naoki baru menyadarinya, pemandangan yang selalu ia sukai. "Terowongan bunga" terlihat seperti sebuah gerbang panjang yang akan membawanya ke dunia lain. Tapi, bukan dunia lain yang akan ia kunjungi. Tapi dunia ibunya yang selama ini mengisolasi diri. Matanya berkaca-kaca "sensei.. aku takut sekali"

'Sagiri, waktu tidak pernah berbaik hati pada siapapun. Karena tugas waktu hanya berputar disekitar kita. Sagiri, yang harus berbaik hati adalah kita sendiri.. menerima yang sudah lewat dan bersiap untuk yang akan terjadi. Dari waktu yang kejam itulah aku belajar, aku tidak ingin mengulang kembali sebuah kesalahan. Karena itu Sagiri, pemuda ini tidak akan aku tinggalkan seperti saat aku meninggalkanmu'

"Tidak apa jika kau merasa takut, dan ingin berhenti. Jika sekarang kau ingin pulang aku akan mengantarmu. Tapi esok kau harus kembali mencoba, dan saat itu aku masih menemanimu. Jangan merasa sendirian."

"Bagaimana jika mama-"

"Semua bisa terjadi, dan kaulah yang paling pandai menduganya. Sekarang aku ada disisimu, lalu tugasmu adalah meyakinkan ibumu bahwa kau ada disisinya. Katakan padanya, dia tidak kehilangan apapun, kau masih ada untuknya. Merinduinya setiap waktu, berdoa untuknya setiap waktu"

Tangan Makoto mendekap pundak Naoki, tangan besar itu biasanya selalu dingin bagi Naoki tapi entah bagaimana begitu hangat hari ini.

'Apakah jika ayah menyemangatiku akan seperti ini rasanya? jika saja...'

Ya, selama ini. Ayahnya sangat sibuk dengan pekerjaan. Pulang larut malam, datang ke rumah hanya untuk istirahat. Tidak pernah sekalipun ia melihat ibu dan ayahnya mengobrol, atau bahkan bercanda. Hanya menyapa seperlunya setelah itu ayahnya sibuk dengan ponsel dan laptopnya.

Pernah saat hari ulang tahun Naoki yang ke 12 tahun, ibunya membuatkan kue dan menyiapkan makan malam istimewa. Yang ia inginkan hanya merayakan bersama keluarganya, yang ia harapkan hanya agar ayahnya menyempatkan waktu untuknya. Tapi, itu semua tidak pernah bisa terwujud. Naoki menunggu hingga larut malam, hanya untuk menunggu ayahnya datang dan meniup lilin bersamanya.

Ayahnya datang, hanya mengecup kening ibunya dan memeluknya sebentar mengucapkan 'selamat ulang tahun' dengan singkat lalu pergi ke kamarnya begitu saja. Ia tidak menyalahkan ayahnya, apalagi membencinya. Tapi sejak saat itu Naoki tidak pernah lagi menunggu ayahnya pulang. Ada atau tidak ada akan sama saja baginya.

Tidak dengan ibunya. Hubungan ayah dan ibunya yang memang sejak awal hambar semakin berjarak. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, ibunya sering terlihat menangis dan minum alkohol setiap malam. Semakin hari ibunya semakin terlihat memburuk, sering histeris dan merusak barang-barang.

Naoki ketakutan. Ibunya terlihat seperti bukan lagi ibunya.

Pamannya datang setelah di telepon oleh Naoki, keluarga besar ibunya membawa Miyuki ke Rumah sakit jiwa. Lalu ayahnya menggugat cerai ibunya. Awalnya Naoki tidak memahami apa yang terjadi, tapi setelah ayahnya pergi dari rumah dengan seorang wanita ia jadi tahu siapa antagonisnya.

Dan seperti biasanya, Naoki tidak menyalahkan ayahnya. Baginya, ada atau tidak ada ayahnya akan sama saja.

***

Mereka sudah memasuki gedung dan menuju tempat perawat jaga, "Gedung 1, lantai 2 kamar no. 11" hanya tinggal sejengkal jari lagi, begitu banyak harapan muncul menyelimuti Naoki. Tanpa ia sadari mereka sudah berapa di depan kamar itu. Kamar sang ibu. Ditemani seorang perawat, mereka masuk. Saat pintu terbuka, sosok itu seakan tidak menua. Terduduk di ranjang menatap jendela. Rambut sebahunya masih hitam, kulitnya putih merona, ada sebuah buku di pangkuannya. Buku itu.. buku karangan ibunya.

"The little wolf" air mata Naoki jatuh sesaat sebelum akhirnya menutup matanya dengan kedua tangannya.

"Miyuki-san, akhirnya.. ada yang menjenguk selain ibu Miyuki-san" perawat itu bicara girang sambil mendekat pada ibu Naoki, sedangkan Naoki masih menutup wajahnya dan bersembunyi di belakang Makoto.

"Siapa?" suaranya lembut

"Kondisi Miyuki-san sudah cukup baik untuk dikatakan sembuh, jadi saya tinggalkan kalian berdua bersama Miyuki-san. Jika terjadi sesuatu atau sudah ingin meninggalkan kamar anda bisa menekan tombol berwarna merah di dekat pintu" sesaat sebelum perawat pergi Makoto membungkuk.

Mata sang ibu terus mengawasi, dia terlihat baik-baik saja, Naoki masih bersembunyi di balik tubuh tinggi Makoto. Menangis. "Aku tidak merasa mengenalmu" ia menutup buku di pangkuannya dan meletakkannya di sampingnya. Dia mulai terlihat serius "Siapa?"

"Maaf, perkenalkan saya Futaba Makoto. Wali kelas Naoki, anak Miyuki-san" Makoto sedikit membungkuk

"Naoki?" mata sang ibu berbinar "Ada perlu apa?" kini matanya mengawasi sosok Naoki di balik tubuh Makoto

"Dia.. ingin bertemu" Makoto merasakan bagian belakang kemejanya diremas kuat, ia paham maksudnya. Naoki tidak setuju dengan apa yang di lakukan Makoto. Ia belum siap. Tapi Makoto melepaskan tangan Naoki tanpa berbalik dan bergeser agar Naoki terlihat jelas oleh sang ibu. Air mata Naoki masih mengalir dipipinya.

"Mama.." Miyuki-san bangkit dari duduknya dan berhambur ke arah Naoki, memeluknya erat. Tangis Naoki pecah, bagai bayi yang baru dilahirkan "Maafkan Nao ma, maaf"

"Sekian lama.. mama disini Nao" Miyuki-san terisak tidak bisa menyusun kalimat dengan baik

"Aku disini ma, aku ada untuk mama. Maaf karena baru sekarang aku berani menjenguk mama"

Ibunya menggeleng, tangis masih menguasainya. Tanganya terus mendekap Naoki seakan jika ia lepaskan Naoki akan meninggalkannya.

Makoto meninggalkan ruangan, membiarkan Ibu-anak meluapkan rasa rindu yang berat bagai timah. Hatinya lega, ketakutan Naoki tidak terjadi. Semua akan baik-baik saja. Ia menemui dokter yang menangani Miyuki-san.

"Miyuki-san sudah sangat stabil. Seharusnya ia sudah bisa pulang dan kembali kekeluarganya" dokternya bicara sambil terus melihat laporan catatan kesehatan Miyuki-san, yang tebalnya hampir 3 sentimeter.

"Kalau begitu, kapan tepatnya Miyuki-san bisa pulang agar kami bisa menjemputnya? Anaknya sekarang hanya tinggal sendirian."

"Maaf Futaba-san. Tapi, yang akan menjeput Miyuki-san adalah ibunda beliau. Kami mendengar cerita bahwa latar belakang keluarga beliaulah yang membuatnya sering histeris. Yang saya takutkan jika Miyuki-san kembali ke rumah dimana peristiwa-peristiwa buruk terjadi akan membangkitkan ingatannya dan mebuatnya kembali depresi"

"Tapi, bagaimana dengan anaknya?"

"Saya mendengar Naoki-kun menderita penyakit berat?"

"Ya..." Makoto merasakan pertanda buruk dari pertanyaan dokter barusan.

"Bagaimana mungkin saya membiarkan pasien saya yang baru saja saya nyatakan sembuh untuk merawat orang sakit?"

"Meskipun itu anaknya?"

"Saya heran, saya kira Naoki-kun seharusnya ikut dengan ayahnya"

Pembicaraan itu tidak ia lanjutkan. Makoto membungkuk pelan sesaat sebelum menutup pintu ruangan sang dokter. Tidak ada gunanya berdebat dengan dokter .

Sejujurnya apa yang dikatakan dokter itu benar. Makoto yang realistis setuju dengan hal itu, tapi dia ada di pihak Naoki. Dan hanya Naoki prioritasnya. Keputusan keluarga Miyuki-san tepat untuk Miyuki-san. Tapi, untuk Naoki?

Bagaimana dengan Naoki?

***

次の章へ