webnovel

Sekolah

"Jangan turunin gue di parkiran!!."

Pekikku keras memberitahu Bima. "Kenapa?" Bima menurunkan kecepatannya, supaya kami bisa bicara dengan nada normal. Heran juga sih kenapa dia harus ngebut sedangkan ini masih terlalu pagi ngejar waktu untuk sampai ke sekolah.

"Gapapa turunin gue di halte deket sekolah aja."

"Enggak! Gue gakmau diomelin bunda." Aku menepuk pundaknya gemas "Gue juga gakmau jadi pusat perhatian satu sekolah. Lagian tante gabakalan tau. Kan kita udah sepakat Bima." Ucapku mengingatkan kesepakatan kami yang dibuat sebelum berangkat. Kesepakatan tentang hubungan kami yang membaik. Aku gakmau hubungan pertemanan kami diketahui banyak orang. Aku mau ini tetap jadi rahasia, sudah tahun ketiga kita seperti orang asing. Jadi pasti bakalan aneh banget kalau tiba-tiba aku datang dibonceng dengan cowok paling sensasional di sekolah. Gila! Ngebayanginnya aja udah bikin bulu kuduk berdiri.

"Masih pagi. Gabakalan ada yang lihat." Bima masih mengendarai motornya sedangkan halte sekolah sudah semakin dekat. Disana aja udah ada beberapa anak yang turun dari bus buat jalan ke arah sekolah. Gimana ceritanya gakbakalan lihat?

Menepuk-nepuk pundaknya lebih banyak, aku semakin merengek minta diturunkan.

"Bim! Bim! Bima! Aseli gue gakmau rame, turunin disini aja."

Bima diam, aku semakin panik.. hanya tinggal beberapa gedung terlewati sampai aku akan melewati halte dan motor ini bakalan berhenti di area parkir yang merupakan area paling strategis untuk dilihat satu kawasan sekolah plus tempat paling strategis untuk unjuk kehebohan.

"Bima berhenti gak? Gue loncat ya." Ancamku

"Loncat aja."

"Ah Bima rese!!! Gue gakmau ya diliat Chika terus dijambak gara-gara berangkat bareng lo, terus—-

DUK!!

"Awww!!! Harus banget ya berhenti mendadak?"

"Yaudah Turun." Masih mengusap-usap keningku Bima berkata dengan nada dingin. Aku tahu dia marah jadi gak mau dia berubah pikiran maka aku turun sesuai perintahnya. Baru banget dua kaki napak tanah, Bima udah meluncur seperti pengendara moto GP yang kesurupan tanpa sepatah katapun. Aku cuman bisa geleng-geleng kepala menatap kepergiannya, memilih ikut menyusul dengan jalan kaki dibandingkan merasa bersalah. Lagian kenapa juga harus merasa bersalah? Dia yang marah-marah gak jelas kok.

"Arunika Sarasvati!!!!!" Aku terlonjak mendapati sebuah tangan melingkar di leherku dengan pekikan nyaring tepat ditelinga.

"Ras! Mau bikin gue budek ya?"

Laras terkekeh, dia minta maaf sembari memelukku. Kami berjalan melewati lapangan menuju kelas dengan Laras yang masih menempeli tubuh. "Gue seneng banget lu masuk Uni. Sumpah, Gue kangen sama lo."

"Iya gue tau, guekan emang ngangenin."

"Buat sekarang-sekarang ini gue maklumin deh lu ngomong gitu, soalnya gue mau coba jadi sahabat yang pengertian nih." Kali ini aku yang tertawa. Sembari menoyor kepalanya aku kembali menyahut "Peres lo! Jangan normal kaya gini ah gue takut."

"Sialan! Lo pikir selama ini gue gak normal?"

"Iya. Lo lupa? Ughhh Bayu keren banget sih. Gantengnya kek mo hidup. Kalo menang gue paksa jadi pacar gue sih."

"Uni!! Gue tampol lu ya." Aku puas terkekeh, dia malu banget saat aku memperagakannya waktu mendukung Bayu si ketua kelas main basket. "Guekan mau baik-baik sama lo. Tapi lo ngeselin banget sumpah." Lanjut Laras. Aku ngerti maksud Laras, dia mau menjaga perasaanku tapi aku lebih bersyukur dia tidak bertanya basa basi seperti apakah aku baik-baik saja.

Aku mengusak rambutnya "Lo tuh udah baik banget sama gue. Jadi mau baik kaya gimana lagi? Biasa aja ya, gue udah gapapa kok."

"Ahhh Uni... lo yakin?"

"Hmm, gue malah lebih cemas soal lo." Sorot mataku menatap Laras dengan tajam, wajahnya berubah tampak sedih. "Lo baik-baik ajakan?" Tanyaku kemudian, Laras merubah ekspresi wajahnya kembali. Kali ini dia tersenyum lebar dan mengangguk meski kurasa dia tidak bisa menutupi seluruh kesedihannya.

"Yaudah, kalo lo ngomong gitu, gue lega lo baik-baik aja." Aku tersenyum tipis. Sebenarnya masih ada sesuatu yang mengganjal, tapi gakmau buat Laras sedih aku tidak melanjutkan pertanyaanku. "Btw, Lo pindah kemana sih? Sampe lo ngelarang gue main ketempat lo, guekan mau nemenin lo."

Aku meringis "Sorry, gue tinggal di rumah kerabat nenek. Lokan tau gue baru banget pindah, ga enak kalo bawa orang lain kerumah." Alasanku yang setengahnya betul tapi setengahnya lagi totally hanya alasan agar dia tidak datang kerumah lalu melihat aku dan Bima tinggal dalam satu rumah. Duh Bisa gawat kalau dia tahu. Bukan bermaksud menyembunyikan, untuk saat ini lebih baik tidak ada satupun yang tahu sekalipun Laras sahabat baikku.

Dia hendak bicara lagi tapi lebih cepat mengatupkan bibir karena pemandangan kami di depan sukses buat dia hilang fokus. Sebenarnya seluruh murid yang lewat sih atau murid lain yang sengaja menonton adegan live paling romantis di sekolah "menurut mereka".

"Sayang, hari ini aku bawa bekal buat kamu. Aku yang masak loh." Suara Chika mendayu-dayu persis seperti penyanyi dangdut. Tangannya glendotan di pinggang Bima yang kelihatan risih dipeluk di muka umum.

Pandangan kami bertemu aku buru-buru mengalihkan tapi sialnya malah bertatapan dengan Chika yang menatapku seperti ingin menguliti hidup-hidup. Sementara Chika menatapku tajam, Bima telah beranjak dari tempatnya, dan karena itu juga Chika akhirnya melepaskan pandangannya dariku lalu menyusul Bima dengan suara nyaringnya yang terus memanggil Bima.

"Gue kok ngerasa tuh mak lampir kaya mau nelen lo ya." Aku menoleh menahan tawa, ternyata Laras menyadarinya juga.

"Masa?" Tanyaku pura-pura.

"Iyah. Hati-hati lo. Jangan punya masalah sama mak lampir. Bisa repot urusannya."

"Bukan gue deh kayanya yang bakal punya masalah tapi lo. Enak banget ngatain orangnya, tuh kalau antek-anteknya denger bisa ilang lo." Laras tersentak lalu terkekeh.

"Iya yah. Gue yang bakalan di udek-udek. Ah gak takut gue. Ngehadapin maut aja gue udah pernah." Ucapan Laras sukses membuatku mendelik. Kutatap kali ini dia dengan serius.

"Lo beneran gapapa? Lo taukan—-

"Eh! I-iya gue gapapa kok Uni. Udah yuk mau bel nih." Lagi lagi Laras mengelak, dia menarik tanganku tapi kutahan.

"Laras! Jangan bohong, gue beneran cemas sama lo. Lo gak dipukulin lagikan?" Dalam masa berdukaku aku hampir melupakan Laras. Gadis mungil kuat yang udah bertahun-tahun harus tinggal dengan jelmaan iblis. Ayah tiri Laras kelakuannya ngelebihin setan, tukang pukul, tukang mabok, bener-bener parasit yang gak layak disebut ayah, yang sialnya tajir banget. Selama ini aku selalu melindungi Laras, beberapa kali kutemukan tubuhnya penuh luka. Terkadang aku harus berbohong pada ibunya agar Laras menginap dirumahku. Untuk menjauhkan Laras dengan pria itu. Jadi aku khawatir sekali beberapa hari ini tidak bersamanya.

Laras memandangku sendu "Kalaupun iya gue udah biasa kok. Tapi lo gak usah cemas gitu. Sekarang gue baik-baik aja."

"Ih baik-baik gimana sih? Luka lebam lo tuh sering banget gue temuin ditempat baru. Hari ini aja gue belom cek. Coba gue lihat!" Aku memutar tubuh Laras, namun dia segera menepis pelan.

"Ya terus gue harus gimana? Lapor bokap gue ke polisi atas tuduhan penganiyayaan? Terus gue jadi anak yatim lagi?" Aku diam masih menatap Laras tajam.

"Gue masih bisa tahan Uni, selagi hartanya masih bisa buat gue sama adik-adik gue sekolah. Luka kaya gitu gak seberapa. Lagian kalo gue butuh lo pasti gue cerita kok." Laras tersenyum membikin hatiku terenyuh. Aku memeluknya memberi usapan hangat di punggunya serta bertekad aku tidak akan diam kalo nanti orang tua itu semakin kelewatan, masih dalam berpelukan tiba-tiba seseorang mengganggu acara haru kami dengan amat kurang ajar.

"Gue gak peduli, Lo mau peluk-pelukan atau making love sekalian disini. Asal gak ngalangin jalan. Minggir!" Dan tubuh kami didorong kuat orang itu. Apasih?

***

Mendengar kehebohan geng Renata di belakang, aku pastikan cowok yang berdiri di depan kelas sekarang bakalan jadi cowok most wanted di sekolah ini setelah Bima yang harus gugur karena sudah punya buntut super rese. Menghela nafas, Aku heran kenapa mereka suka dengan cowok seperti itu, kasar, dan tidak tahu sopan santun.

"Uni itu yang tadikan?" Bisik Laras, aku mengangguk dengan pandanganku kedepan. masih ingat betul wajah menyebalkan yang mendorong kami.

"Pagi, Gue Zyan banyu murid pindahan dari Jakarta, so salam kenal." Ucapnya sembari menggaruk tengkuknya.

"Anak The Jack tah?" Teriak Oji yang suka banget sama Persib, sangking sukanya kalau ada anak luar Bandung pertanyaan pertamanya adalah buat mastiin kalau mereka itu musuh atau bukan. Saat ditanya kalau tahu dia musuh persib apa yang bakal dia lakuin? Oji bilang bakalan dia ajak taruhan bola. Emang aneh Oji itu. Aku pernah bilang dia bisa taruhan dengan siapapun, tapi Oji jawab kepadaku "Lo gak akan pernah ngerti sensasinya menang dari lawan yang sesungguhnya Uni. Kalo taruhan sama lo yang gaksuka bola mah gak ada gregetnya!" Saat itu aku cuma bisa ber oh ria saja. Meski masih tetap tidak mengerti maksudnya.

Cowok yang ngaku namanya Zyan itu menghendikkan bahunya, cengirnya kotak seperti kubus kelihatan ramah beda banget sama tampang dia yang nyebelin waktu mendorongku juga Laras. "Gue lebih suka basket."

Kulihat Oji tertunduk lesu sementara teman yang lain terkekeh geli termasuk aku. "Makanya Oji lu mesti cuci otak deh gak semua anak jakarta tuh suka bola." Dodit menanggapi

"Emang! waktu gue baru pertama kali pindah juga Oji nanya-nanya itu mulu tuh." Siska yang duduk dibelakang Oji menanggapi karena pengalaman waktu dia pindah ke sekolah ini pertama kali. Lalu Oji Mendadak putar badan, dia nyengir sembari menjulurkan jari telinjuknya tepat ke bibir siska. "Bebeb terus aku harus tanya apa?"

"Oji gelo!" Seketika ruangan jadi ramai karena tawa kami. Melihat wajah siska yang memerah dia memberenggut sehabis menepis tangan Oji, aku merasa kasihan tetapi lucu.

"Sudah-sudah! Kalian ini pagi-pagi bikin ribut saja. Nah Zyan kamu duduk di belakang Aruni yang kosong itu ya di samping Guntur. Perkenalannya lanjut siang nanti aja, habis itu semuanya! buka buku kalian, kemarin terakhir persentasi siapa?" Kata Bu Yani sembari menunjuk kearahku, Zyan mengangguk mulai menggerakkan kakinya menujuku tepatnya ke arah belakangku. Senyumnya masih belum memudar sampai saat pandangan kami bertemu senyumnya mendadak hilang.

Selepas dia telah melewatiku, keningku mengerut heran. Apa? Kenapa? Loh Ada masalah apa? Kenapa dia terlihat tidak menyukaiku?

次の章へ