webnovel

Hutan Kematian

Kaki kecilku mulai melangkah, menjajaki setapak demi setapak tanah menuju ke pedalaman Hutan Kematian. Yang barusan menyapaku itu memang penghuni tempat ini, sebut saja dia 'si penjaga hutan.' Setiap orang asing yang datang ke hutan itu pasti akan mendengar suaranya yang menggelegar dan menyeramkan. Saat pertama kali kemari, aku bisa merasakan kehadirannya yang hampir membuatku sesak napas. Seperti sesuatu yang ingin menyusup masuk ke dalam dadamu, ya mungkin begitu. Tapi, setelah beberapa kali berkunjung, tempat ini lebih terasa seperti hutan yang telah terbakar jauh di masa lalu. Yang membuatnya istimewa hanyalah sedikit sentuhan magis.

Contohnya saja sebuah gerbang besar yang terbuat dari logam ini. Setelah beberapa saat melangkah, sejauh ini memang belum ada halangan apapun, aku sampai di jalan masuk pertama. Menurut pengalamanku, gerbang hanya bisa dibuka menggunakan sebuah pengakuan paling dalam dari orang yang memasukinya. Jangan kira aku tahu begitu saja mengenai hal ini, butuh waktu yang lama bagiku untuk memecahkan teka-teki yang menyelubunginya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kuarahkan jari-jariku ke depan dan mulai menggerakkannya seperti pola yang telah terpatri di sana. Beruntung ritme yang kumainkan langsung sesuai pada percobaan pertama, berkat pengalaman tentu saja. Setelah itu, yang perlu kulakukan hanyalah mengaku.

Kuletakkan kedua telapak tanganku tepat di tengah gerbang, kutundukkan kepalaku perlahan dan mulai memejamkan mata. Dengan satu tarikan napas, kukatakan jika, "Aku pernah membuat jiwa seorang gadis kecil terjebak dalam api Neraka untuk selamanya hanya karena ibunya seorang pendosa. Selama dia masih di sana, jiwaku juga takkan pernah tenang." Beberapa saat aku menunggu kunci gerbang terbuka, tapi itu tak kunjung terjadi. Ya Tuhan, jangan uji aku di sini juga. Menyadari jika pengakuanku tak sepenuhnya tulus, tentu saja aku harus melakukan sesuatu. Masih dengan posisi tertunduk, kusandarkan kepalaku ke logam dingin itu. "Tolong, aku datang kemari bukan untuk menjadi pahlawan. Jiwa seorang manusia fana terancam karena di sini bukanlah tempat yang seharusnya. Aku benar-benar memohon padamu, Sang Penjaga, jangan sampai kejadian yang menimpa gadis itu kembali terulang."

Cahaya keemasan menyeruak keluar dari dalam lubang kunci, seiring dengan hembusan angin maka gerbang pun terbuka dengan sendirinya.

Baiklah, mungkin ini akan berjalan lebih sulit dari yang kuduga. Walau begitu, diri ini tetap saja melangkah pergi semakin jauh. Bagian kedua Hutan Kematian sedikit berbeda dari yang pertama. Di sini segalanya tampak lebih suram, bahkan cahaya bulan tak lagi meneragi jalan menurun yang kulewati. Tak banyak pohon mati, hanya saja tanah di kedua sisi jalan tertutup bubuk abu-abu yang cukup tebal. Beberapa telah mengeras dan menyatu dengan bumi. Angin bergerak dari dasar lembah membelai wajahku lembut, tapi percayalah sentuhannya sedingin es kutub. Indera pendengaranku beberapa kali menangkap desahan dan bisikan dari roh-roh tak kasat mata. Aku bisa mengenali Sang Penjaga dan suara-suara itu bukanlah dari dirinya. Aku belum pernah menjelajah sejauh ini sebelumnya, apalagi sampai pada pintu masuk ke dua.

Pantas saja suasana semakin dingin sedari tadi, pasti karena gerbang es besar yang kini terlihat menjulang tinggi di hadapanku. Sama seperti yang pertama, itu terlihat seperti bilah-bilah panjang yang disusun sejajar membentuk gerbang. Ujungnya sangat tajam, seperti tombak yang siap menembus apapun yang menghalangi jalannya. Pola yang terukir di setiap bilahnya membuatku berdecak kagum. Setiap inchi-nya tak luput dari keindahan dan ketepatan yang luar biasa. Ya, persis seperti sigil yang kulihat beberapa waktu yang lalu. Mungkin si pembuat sigil dan semua gerbang yang ada di sini adalah makhluk yang sama. Itupun jika dugaanku tidak salah. Kau ingin tahu bagaimana aku memecahkan teka-teki untuk membuka gerbang pertama? Sebenarnya, itulah yang akan kulakukan untuk yang satu ini juga.

Observasi yang menyeluruh menentukan keberhasilan dari usahaku, tertinggal satu detail saja maka penafsiranmu akan melenceng jauh. Bubuk abu-abu, sinar bulan yang hilang, angin dari lembah, dan gerbang es. Asumsiku pada bagian pertama Hutan Kematian adalah tempat itu pernah terbakar jauh di masa lampau. Untuk yang kedua, dugaan kasarku saja, tempat ini dipengaruhi oleh semacam kutukan roh kuno. Angin yang berasal dari lembah menandakan sumber kekuatan magis yang terpusat di sana, serta gerbang es menyimbolkan elemen air yang sekeras karang. Baiklah, mungkin aku tahu harus melakukan apa.

Kulambaikan jariku mengikuti pola yang telah ada dengan irama setenang air, tapi tak ada yang terjadi. Biar kuingat kembali, apa yang kulewatkan? Sebuah literatur dari Timur mengatakan, "Mengambil alih dengan melepaskannya." Kukira itulah cara terbaik untuk mengendalikan elemen air, mengalirlah seperti sungai. Secara harfiah itu diartikan seperti mengeluarkan segala beban, masalah, dan apapun yang membuat jiwamu terkekang dan menggunakannya sebagai kekuatan. Air adalah perantara universal, maka curahkan segala keluh kesahmu padanya.

"Sang Penjaga, jika kau menyuruhku untuk membuka kembali luka lama hanya untuk membuka gerbang ini, aku siap."

Gerbang es yang tadinya berwarna putih kini berubah menjadi sebening kristal. Aku pun berlutut tepat di hadapan lubang kunci gerbang. Pandanganku langsung terpaku pada sebuah simbol kepingan salju yang cukup rumit. Entah mengapa, seolah-olah segala kenangan buruk yang pernah kualami diputar ulang dalam memori layaknya potongan-potongan plot sebuah film. Aku bahkan tak bisa berkedip, kelopak mataku benar-benar membeku untuk sesaat. Hingga sebuah memori berhasil membuat setetes air mataku jatuh ke bumi.

"AYAH!"

Pintu masuk kedua telah terbuka bersamaan dengan terpejamnya mataku seraya mengehela napas. Sungguh momen yang menguras perasaan, hingga perhatianku kini mulai terpecah. Aku bangkit dan kembali melangkah, kali ini dengan semangat yang mulai memudar. Emosi terlanjur menguasai kepala dan aku berjalan tanpa arah. Sesaat kemudian, diri ini mendapati sebuah persimpangan jalan yang berlawanan satu dengan lainnya. Jika kuambil sisi kanan maka aku akan terus berjalan turun, menuju sumber angin yang sedari tadi menerpa tubuhku. Jika kupilih sisi kiri, aku akan menuju dataran yang lebih tinggi, mungkin aku akan menemukan sumber kekuatan magis dari hutan ini di sana. Tapi, naluriku mengatakan keduanya bukanlah jalan yang tepat untuk mencapai tujuanku. Perasaan itu muncul begitu saja, entah benar-benar dari suara hati atau bukan karena emosi bisa membutakan penilaian.

"Jangan hakimi aku jika aku memilih keluar jalur," gumamku pada udara.

Jadi, aku tak mengambil jalan manapun. Kakiku kembali melangkah mencari jalan yang kubuat sendiri. Jelas sekali jika diriku sudah mulai kehilangan arah, tapi aku terus berjalan ke depan. Sampai suatu ketika, dari balik pepohonan yang tak terlalu rapat, bisa kulihat sebuah batu yang rata dan panjang tergeletak tepat di sisi tebing yang curam. Di atasnya, terbaring seorang pemuda yang sepertinya sedang mendapat mimpi buruk. Tubuhnya dibasahi keringat dingin, napasnya makin memburu satu sama lain. Walau wajahnya tertutup tudung dari jubah yang dikenakannya, aku yakin inilah jiwa yang kucari-cari.

"Sang Penjaga! Dengan kuasa yang telah diberikan padaku, aku ingin kau membawa jiwa pemuda ini ke tempat yang seharusnya. Jadikan aku sebagai gantinya."

Dalam sepersekian detik, kurasa sesuatu baru saja hadir di hadapanku dan membawa pergi jiwa malang itu. Yang aku tahu, dia meninggalkan begitu banyak bubuk hitam. Belum selesai pikiranku menerka, sekelebat angin yang cukup kuat mendorong tubuhku ke sisi jurang. Setelah itu, kurasa aku akan berakhir jika sampai membentur tanah.

Jangan lupa untuk menyisakan satu power stone kalian untuk karya ini :v

Eirene_Aether_5671creators' thoughts
次の章へ