Ruang loker.
Aku membasuh wajahku dengan sangat cepat. Setelah cukup puas, aku kembali menegak. Di depan cermin, aku melihat pantulan wajahku yang kacau. Kejadian beberapa menit yang lalu cukup membekas bagiku. Aura pemikat yang tertanam di dalam tubuhku, sama sekali tidak membawa berkah dalam hidupku hanya menimbulkan petaka yang tidak berkesudahan.
Aku memukul-mukul air yang masih mengenang di wastafel dengan penuh emosi. rasanya lelah menghadapi ini semua. Tidak ada seorang pun yang mampu memahami perasaan ini. Pak Min, satu-satunya orang yang memahamiku, tetapi malah dia kena petaka karena berusaha untuk menyelamatkanku. Tubuhnya tertinggal di hutan yang entah dimana.
Bukan hanya aura pemikatku, tetapi juga birahiku ini. aku juga belum bisa untuk mengendalikan birahiku yang tidak terkendali. Terlebih terhadap mahluk halus, yang membuatku tidak berdaya. Dengan segala tipu daya mereka selalu menjeratku dalam lubang nista. Apalagi, kini aku terjebak di dalam rumah belanda itu. Menjadi Budak dan harus menuruti semua apa yang mereka omongkan. Anton dan Pak Sugeng.
Tiba-tiba aku teringat dengan suamiku. Mas Angga. Suami yang sangat menyayangiku dan sangat percaya denganku. tetapi aku malah mengkhianati janji suci ini. Bagaimana kalau dia tahu tentang apa yang aku alami selama ini? pasti dia sangat kecewa dan sedih. Dan dia akan meninggalkanku selamanya? Sungguh aku tidak sanggup kalau momen itu terjadi.
Aku kembali membasuh mukaku dengan kasar. Berusaha mendinginkan wajahku yang sangat panas karena malu. Iya aku malu kepada diriku sendiri. Malu karena tidak mampu untuk merubah keadaan dan justru pasrah dengan keadaan.
Darah di atas kepalaku terus merembes ke samping. Aku memegang rambut bagian atas. aku mendapati beberapa helai rambutku yang rontok dengan pangkal yang berdarah.
Cepat-cepat aku membasuh bagian luka itu. Untung lukanya tidak terlalu besar. Terasa perih tetapi tidak seperih luka di dalam hati ini.
Ruang loker yang kosong itu seolah hanya membisu melihat seorang wanita yang telah di landa kemelut hati.
Tidak aku tidak boleh terus-terusan seperti ini. Aku harus bangkit. Ini hidupmu dina, semestinya kamu berhak untuk menentukan jalan hidupmu. Kamu harus kuat untuk melalui ini semua. selama kita mau berusaha pasti ada jalan. Begitu ucapku menyemangati diriku sendiri.
Di depan cermin, aku menarik kedua sisi bibirku dengan kedua telunjukku. Berusaha untuk tersenyum. Aku harus tegar, walau hati ini hancur. lalu cepat-cepat aku memperbaiki penampilanku yang berantakan. Darah sudah tidak lagi mengalir. Tidak ada plester yang menutupi. Sama seperti luka di hati ini yang mengering, tanpa ada obat penawar hati.
Setelah memastikan penampilanku sudah ok, aku pun bergegas keluar dari ruang loker. Bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
***
Sepulang kerja dari restoran, aku tidak segera kembali ke rumah belanda itu. aku menyempatkan diri untuk kembali ke rumahku yang di kertajaya. Alasannya aku mau mengambil beberapa pakaian dan keperluan pribadi untuk di bawa kesana.
"Ingat! Jangan pernah berpikir untuk kabur dariku atau kamu akan menyesal!"
Tiba-tiba, tergiang-giang ucapan Anton tadi pagi membuatku begidik. jika aku terlambat sampai rumah, entah hukuman apa yang akan dia berikan kepadaku.
Sesampainya di depan rumahku, aku tercenung sesaat ketika mendapati seorang wanita paruh baya yang sedang tertidur dengan posisi duduk sambil bersandar di depan pagar rumahku. Mendengar deru mobilku, dia pun terbangun. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Ibu Min bangun dan langsung menghampiri mobilku.
"Syukurlah kalian sudah pulang." Seru Bu Min kegirangan. sepertinya dia sudah lama menanti kedatanganku dan Pak Min. Tapi, bagaimana perasaannya kalau tahu kalau Pak Min tidak ada di dalam mobil ini?
"Nduk, buka lawange nduk!" serunya sambil mengetuk kaca mobilku. Dia seolah kehabisan kesabaran. Kaca mobilku sama sekali tidak tembus pandang, jadi dia tidak tahu keadaan di dalam. Sementara aku tidak mau membuka kaca mobilku. hatiku trenyuh, tidak tega untuk membicarakan kejadian sebenernya kepada Bu Min. Hatinya pasti sangat hancur.
Dia pun mengintip kaca mobilku. aku terperanjat. Dia mengetuk kaca lebih keras, "Nduk! Pak Min Nondi! Bojoku endi!"
Aku benar-benar tidak sanggup untuk berlama-lama disitu. Aku langsung melanjutkan laju kendaraan. Rencana semua untuk mengambil peralatan pribadi tidak jadi Terlihat sosok renta itu telah kepayahan berlari mengejarku.
Setelah di rasa Bu Min sudah tidak kelihatan, aku menepikan kendaraanku sejenak. Membenamkan kepala di atas setir kemudi. Rasa sesal menggelayuti hatiku. Pak Min dan Bu Min adalah dua orang yang sangat menyayangiku. Kehadiran mereka sudah seperti orang tua sendiri. Tetapi, aku malah melukai hatinya. Anak macam apa aku ini.
Tiba-tiba, terdengar panggilan masuk dari ponselku. Dari Pak Sugeng. Aku tercekat tatkala teringat untuk segera sampai rumah belanda itu. aku segera mengangkatnya.
"Halo!"
"lonte! Dimana kamu hah! Jam segini belum pulang! Mau aku siksa lagi kamu hah!
"Iya, Tuan bapak saya, akan segera kembali ke rumah itu secepatnya." Sahutku. Entah kenapa rasanya mual kalau menyebut tua bangka itu sebagai Tuan.
"Pulang cepat! Awas ya kalau sampai kabur!" bentaknya sebelum akhinya menutup panggilan teleponnnya.
Cepat-cepat aku melajukan kendaaran dengan kecepatan maksimal. Namun kendaraan di jalan sangat padat, terlebih biasanya di jam sembilan malam, adalah macet-macetnya jalan kota Pahlawan itu. Sehingga aku tidak leluasa untuk memacu kendaraan.
Sesekali aku memencet klakson, supaya kendaraan di depanku menepi. Semakin aku teringat dengan kata-kata anton tadi pagi, aku semakin skeptis. Aku mengigit bibir gelisah.
Akhirnya sampailah jalan desa menuju Rumah itu. Rumah belanda itu terletak terpisah dengan rumah penduduk dan di kelilingi oleh perkebunan tebu. Sehingga apapun yang terjadi di dalam rumah itu tidak ada yang tahu.
Ketika akan memasuki area perkebunan tebu, mobilku tiba-tiba mogok. sekilas aku melihat indikator bahan bakar. Kosong. ya Ampun, kenapa aku sampai lupa untuk mengisi bensin. Tanpa pikir panjang, aku langsung mencopot sepatu fantofel yang aku gunakan, meraih tasku, lalu berjalan nyeker menuju rumah itu. padahal jaraknya masih jauh lagi, meninggalkan mobilku begitu saja di jalan.
Sepanjang jalan tidak ada penerangan sama sekali. hanya terdengar suara gemerisik dedaunan tebu yang tertiup angin. Pun, hawa dingin juga menusuk-nusuk tubuhku. Membuaku cepat-cepat untuk sampai ke sana.
Tiba-tiba beberapa meter di depanku, terdengar bunyi krosak. Aku pun berhenti melangkah dan berusaha memicingkan mata di tengah kegelapan itu . Ada pergerakan yang tidak biasa. Aku menelan ludah. Aku lebih menajamkan penglihatanku. Ketika sesosok hitam keluar dari kebun tebu itu. Dengan tenang sosok itu melangkah sampai ke tengah jalan dan menghadangku. Tak pelak kakiku bergetar ketakutan
bersambung.
Note:
siapa ya kira-kira sosok tersebut?
hayo coba tebak