"Ahhh...ahhhh...ahhh..." terdengar suaranya begitu lirih. Telingaku bisa menangkap jelas suara itu. lima menit kemudian, suara itu menghilang.
Agaknya pasangan suami istri yang sedang melakukan itu di pagi buta seperti ini. Aku pernah mendengar kalau pagi-pagi seperti ini tenaga pria sangat bagus untuk berhubungan badan. Ah, aku mengibaskan tangan di depan wajahku, berpikir apa aku ini? bisa-bisanya di dalam keadaan sedih seperti ini pikiranku melayang kemana-mana.
Aku pun beranjak dari kamar Pak Min. Lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam. Sebelum Bu Min pergi ke pasar, dia menunjukan dapur dan mempersilakanku untuk mengambil sesuatu dari sana. Anggap saja rumah sendiri, begitu tuturnya.
Kopi memang andalan bagi siapa saja yang ingin menahan kantuk. Aku termasuk penggila kopi. Setiap kali aku nongkrong di cafe, aku selalu memesannya. Selain membuat mata seger, juga bisa mengembalikan semangat.
Sengaja hari ini aku berniat untuk tidak tidur. aku ingin mendampingi Pak Min sampai pagi tiba.
Dua sendok kopi bercampur dengan dua sendok gula. Perpaduan yang pas untuk cita rasa kopi terbaik menurutku.
Lalu, aku menyeduhkannya dengan air panas dari dispenser. Seketika aroma kopi menguar memenuhi ruangan. Aku mengaduknya dengan cepat, tidak sabar untuk segera mencecapnya. Setelah dirasa cukup, secangkir kopi itu kudekatkan ke mulutku.
"Jangan malas sayang! Ayo goyang!"
Kopi yang panas itu mengenai bibirku. Aku meletakkannya cangkir itu di meja. Tanganku sibuk mengibas-ibas mulutku yang kepanasan. Sial. Ternyata pergumulan tadi masih berlanjut, aku mendecak kesal.
Dari dapur, suara itu terdengar sangat jelas. Aku berjalan pelan-pelan ke tembok. lalu, aku mendekatkan telinga. wanita itu semakin menjadi-jadi. Dia terus melenguh, seakan tidak sabar untuk mengapai puncak. Seketika bulu romaku meremang.
"Mas! Aku mau keluar mas!" pekik wanita itu.
"Tahan sayang, kita keluar sama-sama."
Aku mendengarkan dengan seksama. Tanpa meninggalkan momen itu sedikit pun. Hal yang kurang sopan karena mendengarkan privasi tetangga sebelah. Tapi entah kenapa, libidoku tidak mau lepas darinya.
Salah sendiri kenapa tidak mau menjaga diri! Gituan sampai suaranya terdengar sampai tetangga. Apa enggak sungkan, ujarku membela diri. Tapi seperti kebanyakan pasangan menggebu, mereka tidak memperdulikan sekitar. Bodo amat. Yang penting kebutuhan tersalurkan.
Kriek! Kriek!
Terdengar suara bale tua yang sudah rapuh bergoyang-goyang. Desahan nafas yang saling bersahutan antara pasangan itu.
"Sayang, aku tidak tahan! Ouccchhh!" wanita itu melenguh panjang.
"Aduh, kamu gimana sih? masa baru sekali udah lemes." Sang pria tampak tidak puas.
"Sudah Mas, sudah!" ujar wanita itu kepayahan. Sang suami mendecak kesal.
Sunyi. Pertempuran berakhir. Tidak sadar nafasku menderu, sesuatu juga membasahi CD ku. Aku kembali ke meja sembari mencecap kopi yang mulai dingin. Mendadak aku menjadi salah tingkah, sendirian di dapur itu. beberapa kali aku memasang pendengaran. Berharap suara itu kembali muncul. Namun, hanya keheningan yang merajai.
Kopi sudah habis. Menyisakan ampasnya saja. biasanya, aku menikmati setiap tegukannya. Tapi sekarang! seakan dikuasai oleh kegelisahan, dengan sekali tegukan saja kopi sudah habis.
Aku berjalan ke depan. menyingkap korden kamar tanpa pintu itu. terlihat Pak Min masih tertidur dengan pulas. Meski sesekali terbatuk-batuk.
Saat membalikan badan, tiba-tiba terdengar suara parau memanggilku.
"mau kemana kamu mbak?"
Pak Min siuman. Aku membelalakan mata terkejut. "ehhh.. itu pak mau ngambil pembalut di mobil, Pak." ujarku setelah mencari alasan yang cukup masuk akal.
"Uhuk..,uhuk. Ya sudah, cepat kembali ya mbak." Ucapnya. Aku mengangguk sembari tersenyum. Duh Pak Min siumannya di saat yang tidak tepat. Batinku.
Di teras rumah, aku terdiam sembari mengitarkan pandangan. Jam empat pagi, suasana perumahan itu masih tampak sepi.
Aku sedikit melangkah ke jalan. Mataku tertuju ke rumah sebelah. Tanpa terhalang pagar pembatas, aku bisa melihat dari celah ventilasi, ruang tamunya gelap. Beberapa saat kemudian. Terdengar mantap suara kaki yang berjalan dan ruang tamu yang semula gelap menjadi terang. Dari balik korden tipis, aku bisa melihat sosok seorang pria yang duduk di kursi sambil menyalakan TV. Jantungku berdegup dengan kencang.
Terdengar suara gigi yang mengunyah makanan. Entah iblis apa yang merasukiku, aku melangkah lebih dekat ke teras rumahnya. Korden itu sangat tipis, tipis sekali. Sampai aku bisa melihat pria itu bersender santai di kursi dengan tangannya yang dia letakkan di samping.
"Hayo Mau ngapain kamu!" ujar seseorang dari arah belakang. seketika aku menoleh. Aku terhenyak melihat seorang pria bertubuh kurus kering yang tampak tidak asing.
"Kamu...." ujarku tertahan. Pria berumur empat puluh tahunan itu hanya nyengir menampakan deretan giginya yang tidak rata.
"Ngapain kamu di depan rumahnya Jarwo?" dia mengulangi pertanyaannya. Baru aku ingat, kalau mereka berdua adalah bapak-bapak yang ikut membantu Pak Min untuk menolongku. Pria bertubuh besar itu adalah Jarwo, sementara yang bertubuh ceking di depanku ini adalah Cipto.
Aku tertangkap basah. Cipto tidak bisa berdiri tegak. Jalannya terhuyung. Aroma alkohol menyeruak dari mulutnya. Dia memegang sebotol anggur merah. Sesekali meminumnya dan menunjukan wajah nikmat yang aneh.
"Kamu cantik sekali Non," tangannya berusaha meraih dua bulatan indahku. Langsung saja aku menepis tangannya.
"Kamu jangan kurang ajar ya! Atau kamu mau aku teriak supaya semua orang denger terus gebukin kamu!" ancamku. Bukannya takut, dia malah semakin beringat mendekatiku. Alkohol telah menghilangkan kesadarannya.
"Lepaskan aku!" seruku. Dia memelukku sampai kepalanya berada dekat sekali denganku. aroma Alkohol semakin kentara, membuatku pusing.
"Sudahlah Cantik, jangan munafik kamu. ayo kita bersenang-senang." Ucapnya. Aku berusaha sekuat mungkin untuk mendorong tubuhnya.
"Ada apa ini?" Suara barinton menghentikan Cipto. Terlihat Jarwo yang berdiri di ambang pintu. penampilannya polos dan hanya menggunakan celana boxer yang terlihat sempit. Badannya hitam legam tampak kekar dengan perutnya yang buncit. Rambutnya yang keriting, kumis tebal, dan bulu yang tumbuh di sekitar dadanya semakin menegaskan ke angkerannya. Sejenak, dia memandangi kami berdua.
Cipto melepaskan pelukannya dariku, langkahnya tertatih mendekat ke arah temannya itu.
"Dia tapi ngintipin kamu Wo."
"Oh iya?" Jarwo yang semula melihat sahabatnya itu, menoleh kearahku dengan mata berbinar. Aku sedikit begidik. tapi entah kenapa tubuhku mendadak kaku. Terpaku di sana.
Jarwo meraih tanganku. Terlihat kontras warna kulit kami. Aku putih mulus dan dia hitam legam. Lalu, dia mendekatkan tanganku di mulutnya, mengecupnya mesra. aku yang tersipu-sipu pun membuang wajah. Tapi sesekali aku melirik ke arahnya yang sama sekali tidak berkedip melihatku. Tatapan mata jarwa sama sekali tidak menyeramkan, justru membuatku terhanyut.
"Ayo Mbak Masuk!" ajaknya sembari menarik tanganku dengan lembut. Aku pun mengikutinya. Lalu menutup pintu rapat-rapat.
Sementara Cipto yang mabuk tidak sadarkan diri di teras.