webnovel

22. Salt of The Earth

Fajar di ufuk timur menghangatkan bumi dan seluruh isinya. Cahaya menyilaukan mata yang memandang. Gadis cantik yang baru saja bisa memejamkan matanya itu kini harus dipaksa kembali untuk beraktivitas menjemput segala yang sudah menunggunya kali ini. Naas memang, bahkan di akhir pekan pun Sandra tak bisa benar-benar tidur dengan nyaman. Gadis berambut pirang sudah datang membawa beberapa makan pagi untuk Sandra. Sayur sup dengan potongan daging sapi adalah menu favorit gadis cantik itu. Sandra bisa menolak semua jenis makanan yang disuguhkan padanya, tetapi tidak kalau sudah pasal sup daging sapi dengan teh hangat dan perasan jeruk yang membuat rasa khas di dalam minumannya. Menu yang sempurna, selalu dibawakan oleh teman sekaligus saudaranya itu. Jika tidak ada Geya, maka dirinya tak akan bisa makan dengan cara yang sehat dan benar. Sandra terlalu gila untuk bekerja demi membiayai rumah sakit sang ibunda.

"Geya?" Gadis itu mulai menoleh. Sekuat tenaga dirinya bangkit dari atas ranjang, meksipun kepalanya masih menolak untuk hal itu.

Sandra terlihat lebih baik, begitulah kesan yang didapat gadis cantik berwajah khas orang Asia itu. Tak ada keringat yang menetes di atas paras cantiknya saat ini. Sejenak Geya bisa menyimpulkan kalau saudara jauhnya itu tak sedang bermimpi buruk lagi kemarin malam.

"Makanlah dulu sebelum lo beraktivitas atau memilih tidur lagi. Setidaknya lo harus mandi dan makan dulu," ucapnya melambai dengan ringan. Rumah ini tak besar. Bak kontrakan sempit yang hanya berisi beberapa ruangan saja. Ini adalah rumah kuno milik neneknya. Manusia tua itu meninggal di usianya yang sudah senja. Wajar saja, jadi tak ada yang merasa aneh untuk itu. Kakeknya pun begitu. Jadi Sandra berpikir kalau lebih baik menggunakan rumah ini untuk mencoba tinggal sendiri.

Tempat ini tak jauh dari rumah ayahnya yang lebih besar dan mewah. Sesekali pria tua itu datang untuk memeriksa dan memastikan kalau putrinya dalam keadaan baik-baik saja dan tak melakukan hal yang aneh. Sandra punya trik sendiri kalau pasal itu. Ia harus pergi ke Bar untuk bekerja. Gadis itu tak pernah mau memberikan kunci cadangan pada sang ayahanda. Katanya, kunci itu hilang. Ada satu ciri khas yang dihapal oleh sang ayah, Sandra membenci dan takut akan kegelapan malam. Itu sebabnya rumah ini tak pernah mati lampu utamanya. Jika pria itu datang di tengah malam, ia hanya perlu mengetuk pintu dan melihat keadaan rumah. Jika tak ada jawabannya, tetapi lampu utama menyala, maka sang putri pasti sudah tidur. Jadi, Sandra Iloana tak perlu khawatir untuk itu.

"Makasih Geya, kalau gak ada lo, gue gak tau bagaimana nasib gue sekarang." Sandra tersenyum ringan. Ia mengucek kasar kedua matanya lalu menatap pantulan bayangan wajah cantik nan polosnya dari dalam cermin berbentuk persegi yang ada di sana. Mata yang ia miliki semakin aneh. Semakin Sandra bertambah usia, mata perak itu semakin indah dan semakin terlihat berbinar. Sandra harus lebih berhati-hati lagi untuk bisa menyembunyikan itu.

"Lo sudah seperti saudara kandung buat gue, Sandra. Jadi berhenti mengoceh dan segera makan ini. Gue ada kerja paruh waktu setengah jam lagi. Setidaknya gue harus memastikan kalau lo makan dengan benar pagi ini," tukasnya dengan nada ringan. Ia melirik ke arah wajah cantik Sandra kemudian mulai menata apapun yang ada di depannya. Bukan hanya sekadar datang lalu pergi, pemilik nama lengkap Geya Hanasta Ola itu lebih suka menyarap bersama Sandra kalau akhir pekan begini. Kedua orang tuanya lebih sibuk dari para pejabat negara. Ia tak mau terlihat bak gadis malang yang mengawali akhir pekan dengan cara yang menyedihkan.

"Ngomong-ngomong soal kuliah lo, gue dengar lo bolos tiga hari berturut-turut minggu kemarin dan lo dipanggil dosen pembimbing. Ada masalah?" tanya Sandra berjalan mendekat ke arah gadis yang sudah duduk rap dengan posisi bersila di depan sebuah meja kecil yang penuh dengan menu makan pagi untuknya.

"Lo mata-matai gue?" Gadis itu memprotes. Menatap Sandra dengan aneh lalu kembali memutar pandangannya. Tak acuh adalah sikap Geya kalau ditanya pasal kuliah dan cita-cita. Jujur saja, gaya hidup Geya jauh lebih bebas dari Sandra. Ia lebih suka mewarnai rambut ketimbang menutupnya dengan sebuah hijab. Ia lebih suka beraktivitas secara pribadi ketimbang harus bekerja dengan orang-orang asing yang tak ia sukai. Ia lebih menyukai melakukan apapun yang menurutnya benar dan asik. Geya membenci sesuatu yang berbau formalitas.

"Gue hanya dengar dari teman-teman lo. Kita beda bangunan, Geya. Jadi kalau ada apa-apa gue gak bisa bantuin lo. Jadi jangan bertingkah seperti itu," tukasnya mulai duduk tepat di depan Geya. Dua gadis ini bak sebuah tuan dan bayangannya. Memang bukan pasal wajah, kalau ditanya siapa yang lebih cantik maka Sandra Iloana adalah jawabannya. Namun, kalau ditanya mana yang lebih 'keren' dengan gayanya yang modern, maka Geya Hanasta Ola lah pemenangnya. Keduanya benar-benar mirip dalam alur hidup. Punya keluarga yang tak pernah bisa diandalkan dengan benar. Geya tak bisa terus-terusan berada di dalam asuhan dua manusia menyebalkan yang suka bertengkar dan beradu argumen dengan nada meninggi di setiap kalimat. Ia membenci situasi yang datang kalau dua orang tuanya sudah saling menyumpah satu sama lain. Seakan-akan mereka adalah Tuhan untuk diri mereka sendiri.

"Papa dan mama bertengkar lagi, kali ini mereka mengusir gue," katanya tiba-tiba. Membuat Sandra yang baru saja meniup permukaan sup daging sapi di depannya itu terdiam. Ia menoleh, menaikkan pandang mata peraknya lalu menatap Geya dengan fokus.

"Mengusir lo?"

"Kata papa gue bukan anaknya. Kata mama, cobalah biarkan Geya ikut denganmu! Dan lihat sifat siapa yang Geya warisi." Gadis itu berkata sembari mencoba untuk menirukan gaya bicara sang mama kala itu. Akan tetapi, dengan sedikit ejekan di sana. Logatnya ia plesetkan sedikit.

"Mama meminta gue ikut papa dan papa minta gue ikut mama. Bukankah mereka ingin mengusir gue secara tidak langsung? Itu sebabnya gue bolos kemarin," tukasnya mengimbuhkan. Kembali menyendok sup daging yang ada di depannya. Lantas ia mulai mengabaikan Sandra yang masih fokus pada tatapannya. Geya lebih menyedihkan dari dirinya. Luka di dalam hatinya bukan sebab seorang pacar atau semacamnya, tetapi pasal kedua orang tuanya sendiri.

"Kenapa diam aja? Lo gak mau makan?" tanya Geya membuyarkan lamunan gadis yang ada di depannya itu.

Sandra ber-oh ringan. Menaikkan kedua sisi alis cokelatnya lalu mulai menganggukkan kepala dan tersenyum kikuk. Menyendok kembali sup yang ada di depannya lalu mengecap beberapa kali. Mencoba merasakan rasa nikmat yang membuat lidahnya puas.

"Geya ...," panggilnya dengan ringan. "Lo mau tinggal di sini saja?" tanyanya tiba-tiba.

Geya mendengar itu dengan jelas. Bukannya terharu, tetapi ia tertawa lepas sembari memegangi perutnya. "Kita sama-sama masih kuliah. Pekerjaan kita belum tetap, kita tak punya penghasilan yang mencukupi. Lo sendiri harus mengurus ibu lo di rumah sakit. Mental lo juga gak baik, lo mau kita hancur bersama-sama di tempat sempit seperti ini?" tukasnya terus tertawa lepas.

Andai saja, Sandra Iloana punya keceriaan yang sama dengan Geya Hanasta Ola. Ia pasti sudah bisa menanggung semuanya dengan ringan saat ini. Geya benar, bukan hanya ekonomi dirinya yang pas-pasan saat ini, tetapi juga mentalnya. Mimpi itu menjadi momok terbesar dalam hidupnya selama ini. Sebelum Sandra bisa mencari 'obat' untuk mimpi itu, Sandra tak akan benar-benar bisa hidup dengan cara yang nyaman.

... To be Continued ....

次の章へ