"Sudah Sore. Ayo aku antar pulang. Di sini aku cuma liat kamu kejar-kejaran sama kupu-kupu doang. Jijik liatnya. Sok cantik." Belva sok begidik melihat Tania yang tengah ngos-ngosan karena baru lari-lari nggak jelas.
Tania mengambil air mineral yang ada di atas kursi di sebelah Belva. Menenggaknya bertubi-tubi tanpa jaim. Ya, cara Tania menenggak minuman persis anak laki-laki yang baru saja main bola. Lalu dia duduk di samping Belva.
"Bukankah aku terlihat menarik ketika lagi kejar-kejaran Sama kupu-kupu. Seperti yang ada di film India. Ya kan?" Tania mengerjapkan matanya dengan ceria.
"Kalau kamu yang kejar-kejaran nggak ada menarik menariknya sama sekali. Malahan, geli liatnya. Udah ayo pulang!"
"Nggak ada rencana ngajak aku ke mana lagi gitu?" tanya Tania dengan kepala sedikit tertunduk.
"Kamu kenapa sih, kayaknya ogah-ogahan pulang ?"
"Nggak apa-apa. Mumpung hari ini Kak Belva sedikit jinak."
"Jinak?" Belva melotot tepat dihadapan Tania. Kali ini mereka saling bertatap. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti.
"Jangan tatap aku seperti itu, Kak. Tatapan kakak itu mengandung sihir, membuatku ingin di tatap lagi Dan lagi." Tania menikmati kedekatan itu. Dia tersenyum lebar meskipun saat itu dia sedang deg-degan, tapi ia coba untuk bersikap senormal mungkin.
Belva segera menarik wajahnya, dan segera menghadap ke depan.
"Ih, amit-amit. bagaimana mungkin aku bisa dekat sama makhluk ceroboh sepertimu. Aku mau pulang sekarang. Ayo kalau mau bareng, Kalau kamu masih ingin disini, pulang saja sendiri."
Belva berdiri dari duduknya, lalu segera melangkahkan kakinya menuju ke pintu keluar.
"Eh, kak Belva. tunggu! Buru-buru amat sih," ucap Tania sambil buru-buru mengenakan tas nya di punggung, dan juga meraih tas tenteng yang berisi kotak nasi dan kotak berisi pare. Lalu ia segera lari-lari kecil menyusul Belva yang sudah hampir sampai di tempat parkir.
***
Sore itu, Tania bahagia. Paling tidak dia bisa membuat dirinya sendiri bahagia, meskipun tetap dengan bantuan orang lain. Tania merentangkan tangannya saat dibonceng oleh Belva. Menghirup dalam-dalam udara yang berhembus lembut. Dia memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan udara. Dia mencoba menghilangkan semua kekesalan dan kesedihan yang selalu ia rasakan ketika berada di rumah.
"Aaaaaaaa .... " Tania berteriak sekencangnya. Berusaha menghilangkan semua energi negatif yang mungkin menempel di dirinya.
Bellva langsung refleks menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali fokus nyetir sambil ngomel.
"Woi, kamu ngapain sih. Malu-maluin. Turunin nggak tangannya! Jangan norak!" Belva langsung ngegas. Tentu saja kelakuan tak lazim Tania itu mengundang perhatian beberapa orang yang sedang melintas. Untung saja jalanan tidak begitu ramai dan mereka berdua memakai helm yang full menutupi muka.
"Ah ... Lega banget!" ucapnya sambil mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Belva meskipun kepala mereka sama-sama tertutup helm.
"Sekali lagi kamu seperti itu, aku turunin di jalan."
Tania tersenyum, lalu menurunkan tangannya.
"Iya, Iya. Sudah turun ini tanganku."
Belva segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi supaya dia bisa segera mengembalikan Tania ke habitatnya. Ternyata lama-lama bersama Tania bisa membuat Belva naik darah.
Kalau kebanyakan cewek, pasti tidak suka diajak ngebut, beda dengan Tania. Dia malah suka ketika dia dibonceng dengan kecepatan tinggi.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah Tania.
"Sudah sampai. Turun! Semoga ini hari terakhir aku membonceng kamu."
"Begitu banget sih." Tania perlahan-lahan turun dari motor besar Belva. Bagi Tania yang mungil, naik dan turun dari motor besar Belva perlu perjuangan.
Saat Tania baru saja turun, dia melihat dari depan gerbang, pintu rumahnya terbuka dengan kasar.
"Pa, jangan pergi dari rumah. Kasihan anak-anak, pa!" Baru saja keluar dari balik pintu, Mama Tania sudah menangis sambil menahan tangan papa Tania. Hari ini pak Hadi pulang untuk mengambil beberapa berkas yang ketinggalan. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tania tidak tahu apa masalahnya, yang ia tahu masalah mereka sekarang serius.
"Aku tidak bisa. Aku harus pergi!"
"Papa mau pergi dengan wanita itu. Papa mau pergi sama wantia murahan itu, Pa! Papa mikir, dia hanya menginginkan uang papa saja!" Bu Siwi berteriak tepat di depan muka Pak Hadi.
"Itu bukan urusan kamu. Aku akan mengurus perceraian kita, secepatnya!"
Wajah ceria Tania langsung berubah. Wajahnya seketika memerah. Namun, dia berusaha bersikap biasa aja di depan Belva. Belva begitu kaget melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Meskipun jarak mereka tidak terlalu dekat, tetapi mereka masih bisa mendengar dan melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka ucapkan. Saat itu, Belva langsung menoleh ke arah Tania.
"Kak Belva boleh pulang sekarang! Bye, hati-hati." Tania berbicara seceria mungkin sambil tersenyum. Namun, Belva bisa melihat dengan jelas bahwa mata Tania berkaca-kaca. Air mata sudah berada di sudut mata Tania. Tania menggigit bibirnya, agar air mata Tania tidak tumpah di depan Belva.
"Tan, kamu baik-baik saja?"
"Iya. Lihat aja Aku baik-baik saja. Kak Belva pulang aja. Sampai jumpa di sekolah besok, kak!" Tania melambaikan tangan yang ia coba sekuat mungkin.
Melihat itu, Belva bukannya pergi, tapi dia malah melepaskan helmnya.
"Kamu masih mau jalan-jalan lagi? Ayo! Aku siap antar ke mana pun kamu mau." Belva menatap Tania. Air matanya sudah benar-benar berada di ujung.
Dia ingin berlari membantu ibunya, tetapi itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang jelas ayahnya akan semakin beringas.
Akhirnya Tania tidak bisa menahan air matanya lagi. Dadanya sungguh terasa sesak. Matanya bener-bener merah dan memanas. Untuk pertama kalinya, Tania meneteskan air mata di depan Belva. Sudah terbayang di pelupuk matanya, ketika mama dan papanya bercerai nanti. Tania sungguh tidak sanggup, hidup dalam keluarga yang tercerai-berai seperti itu. Dia tidak akan pernah sanggup melihat mamanya setiap hari menangis karena penghianatan yang dilakukan oleh papanya. Sekali lagi, Tania bisa apa? Tania benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa.
Gadis itu menunduk sambil terisak. Air mata memenuhi pipi chubbynya.
"Ayo naik lagi. Kita bisa jalan-jalan ke mana pun yang kamu mau." Belva tersenyum. Ini pertama kalinya dia tersenyum tulus di hadapan Tania. Ya, dia hanya ingin menghibur Tania. Entah kenapa, dia tidak tega melihat Tania menangis sesenggukan seperti itu.
Tania tidak mencoba menghapus air matanya, Dia segera naik ke motor Belva. Mereka berdua masih memakai seragam. Belva tidak peduli itu. Yang jelas ia ingin membawa Tania pergi dan tidak lagi menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Akhirnya dia tahu, tentang alasan kenapa Tania selalu mengulur waktu pulang.
Belva segera melajukan motornya ke suatu tempat yang mungkin bisa membuat Tania lebih tenang.