webnovel

Baper duluan

Jika bukan waktu yang tepat untuknya menyatakan cinta, sah-sah saja kan jika Arka masih menjadi pemuja rahasia, kan?

Naik ke gedung lantai dua, berjalan dengan dagu terangkat meski pun ada beberapa siswa yang nampak menatapnya dengan pandangan tak suka. Arka di yang pastinya di anggap lancang karena tanpa permisi memasuki teritorial kakak tingkatnya.

Tapi itu Arka, memangnya ia peduli dengan respon menyalak di sekitarnya?

"Eh, monyet! Sialan, ngagetin aja, sih!" pekik Melisa saat berpapasan dengan Arka di ambang pintu kelas X1 Ips 1.

Nah, ini yang membuat Arka bingung dan dongkol setengah mati, kenapa di sekian kemungkinan, ia harus di pertemukan dengan wanita yang tak kurang membuat emosinya mendidih?

Bola matanya memutar, mengalih tak minat dengan bibir berdecih pada Melisa.

"Nggak usah nyebutin spesies lo juga kali!"

"Ngapain lo kesini? Mau cari ribut sama gue?" nada Melisa jelas menantang, apa pula dengan lengan berkacak pinggang itu?

"Ye... Kepedean banget! Mangnya situ penting?"

"Dah lah, males adu bacot ama lo. Bye!"

"Pergi jauh-jauh sono!" Arka menjulurkan lidah, berpaling dan menunjukkan pantat menunggingnya pada Melisa. "Bebek!"

"Monyet lo!"

"Bacot, pergi sono!" Arka yang sampai menunjukkan jari tengahnya, menghentak kaki dengan raut wajah berang. "Dasar nenek lampir, ganggu mood gue aja," gerutu Arka, yang setelahnya gerak cepat menyembunyikan diri.

Raut wajahnya sedikit terkejut, netranya yang tak siap menangkap objek yang terlampau menggetarkan sekujurnya.

Arka leleh, gurat wajahnya beransur jatuh dengan telapak tangannya yang menepuk keras.

"Dah pinter, masih aja sibuk buang-buang waktu buat belajar. Nggak makin sempurna cem mana calon suami gue?"

"Mampus! Dia lihat gue, lagi!" Arka lantas terkesiap, belum genap hitungan menit ia menggaris lekuk tubuh Nino yang nampak begitu sempurna bertopang dagu dengan lamunannya. Yang tanpa di duga tatapan tajam itu secara cepat menangkapnya.

Arka jelas kelimpungan, bukan karena anggapan lain, pria itu malu. Ingin sekali mengubur diri di balik tembok yang disandarinya itu. Tapi ia yang masih begitu penasaran malah balik membidik pusat perhatiannya.

"Eh, kok malah makin ngedeket?" lantas bergumam panik, tak di sangka Nino akan beranjak dari bangkunya dengan tatapan intens tertuju padanya.

Mati, apa yang harus di lakukan Arka saat Nino yang kali ini sudah berada di hadapannya? Alasan apa yang harus di ucapkan jika pria itu bertanya keperluannya?

"Dah kenyang belum?"

"Eh?"

"Ada ciki, nih! Kali aja lo mau."

Arka membatu, sementara tak bisa berkutik saat Nino yang melewatinya tiba saja meninggalkan jejak sentuhan dengan lengan besarnya yang mengacak surai. Juga satu bungkus plastik ciki di dekapnya.

.

.

.

"Ar, perasaan dari kemaren lo terus-terusan mantengin tuh ciki, dah!" ucap Yuda dengan raut wajah jengah.

"Seriusan, lo mantrain kayak gimana pun, nggak bakalan jadi bongkahan emas buat beli abang gue, Ar." Brian ikut nimbrung, sementara tangannya saat ini malah kena pukul karena coba membongkar makanan ciki yang menjadi topik. "Aduh!"

Malam ini mereka berada di rumah Arka, dengan karpet berbahan lembut  yang dengan keempatnya yang tengkurap, kompak bertopang dagu dengan posisi melingkar.

"Kalo beli cintanya orang nggak terlalu mustahil buat jadi jalan pintas," Arka menjeda ucapannya, lantas mengangkat kepala dan menatap satu per satu kawannya. 

"Tapi gimana ya, kayaknya emang pesona gue terlalu dahsyat sampek-sampek tanpa usaha yang berarti, gue udah bisa dapetin hatinya abang lo."

"Eh?" pekik Yuda, Zaki, dan Brian secara bersamaan. Mereka sedikit hilang langkah untuk bisa mengejar posisi Arka yang sampai begitu percaya dirinya beranggapan semacam itu.

"Kalian nggak salah denger. Gue pastiin tanpa menunggu waktu lama, dia bakalan jadi milik gue." Arka nampak begitu riang, bangkit dari tempatnya dan berlari menuju cermin. Tampilannya yang begitu tampan ini, siapa yang bisa meragukan?

"Siap-siap jadi adik ipar gue, Bri!"

"Bang Nino gay?" ucap Zaki sepelan mungkin supaya Arka tak mendengar keraguannya.

"Lebih buruknya lagi, apa Arka aja yang salah paham?"

Gawat. ucapan Yuda ada benarnya. Bagaimana jika nanti seorang Arka patah hati?

Ahh... Bahkan Zaki, Yuda, dan Brian terlalu khawatir saat Arka bangun keesokan harinya dengan lebih cerah. Lihatlah, binar berseri di wajah kecil pria itu, tak terlalu tega pula melihatnya berganti seratus delapan puluh derajat dengan raut sedih jika tau kenyataan tak seindah ekspektasi.

.

.

.

Brak

"Woy, sisiran tengah!" teriak Brian tepat di depan wajah seseorang siswa, jelas membuat pria bernama Farhan itu berjengkit dengan tatapan penuh kengerian.

Buku yang di bawanya jatuh akibat lengannya yang bergetar hebat saat merasakan gebrakan meja. Kacamata tebalnya turun, yang lamat-lamat di sangga satu sisi karena miliknya yang sudah bengkok.

"K-kenapa ya, Bri?"

"Lo ngerasa pinter nggak?" sodor Brian langsung pada permasalahan.

"Huh?"

Lah, ini yang membuat durasinya makin lama. Brian penat menjelaskan, lagi pula orangtuanya sudah mendesak nilai bagus dari bukunya.

"Eh-eh? Kok barang-barang aku di pungutin, sih?" protes Farhan yang langsung kelimpungan saat Brian menyabet buku tertumpuk di meja dan juga tas ransel miliknya.

Langkah meniti nya mengekori Brian, sementara lengannya menepuk-nepuk bahu pria jangkun itu. "Bri- bri... Balikin, Bri..."

"Diem lo, jangan banyak bacot!" Brian membentak, dan Farhan jelas menciut dengan bahu luruh dan kepala menunduk dalam.

"Pindah!" perintah Brian pada seorang pria yang duduk tepat di depannya. Dengan wajah garangnya sudah cukup singkat untuk di turuti.

"Sekarang lo di sini!"

"Nggak boleh gitu, kan? Nanti kalo di marahin sama pak Anto, gimana?"

"Di marahin tinggal di dengerin., Di hukum tinggal jalanin. Repot amat pertanyaan, lo!" balas Brian sembari melemparkan barang-barang milik Farhan ke tempat barunya.

Sementara Arka yang tengah dalam suasana hati baiknya pun sedikit terusik. "Dah lah, Bri. Jangan di bentak-bentak lagi, kasihan. Nanti nanges?"

"Yang penting lo nurut aja, ya?" ucap Arka pada Farhan yang memang sudah hampir meraung.

Siswa lain tak ada yang mau ikut campur, lagi pula bukan urusan juga, pikir mereka.

Kringg

Kelas pun di mulai setelah bel masuk berbunyi. Farhan yang masih ketar-ketir dengan posisi duduknya yang di jebak, boleh jadi menghela napas sementara karena wali kelas mereka yang lagi-lagi absen.

"Bikinin tugas gue dong. Nggak perlu terlalu niat, yang penting dapet nilai seratus!"

Ya, ternyata memang ini tujuan Brian mendekatinya, pikir Farhan.

"Contoh tulisan tangan kamu?"

"Ya lo pikir sendiri aja modelan tangan gue."

"Ar, jangan lupa nanti sepulang sekolah ya." Sebuah suara yang tiba-tiba saja nimbrung. Membuat pandangan Brian sontak teralih pada Fahmi yang terburu-buru memutar tubuh dan berlalu pergi.

"Lah, apaan nih? Jangan bilang lo mau coba bikin komplotan baru sama kumpulan culun-culun itu?" tuduh Brian pada Arka yang nampak ramah menanggapi janji pertemuan dengan Fahmi, yang sesaat lalu pula membela Farhan?

"Apaan, sih? Ya, nggak mungkin lah. Bisa nurunin wibawa gue, dong!"

"Ya, terus?"

"Apa lagi kalo bukan waktunya ngejar gebetan?"

"Apa lagi rencana yang nggak lo kasih tau sama kita bertiga!"

次の章へ