Sudah beberapa hari ini aku merasa Zero sangat aneh. Aku sering memergoki dia sedang menatap tajam padaku. Sikap cueknya yang selama ini selalu dia perlihatkan padaku, sedikit demi sedikit mulai berubah. Kini dia sering sekali mengajakku mengobrol, bukan hanya itu dia pun berubah menjadi seseorang yang sangat penurut. Dalam situasi seperti ini, entah aku harus merasa senang atau curiga padanya. Perubahannya ini sungguh aneh bagiku.
Di tengah-tengah terpaan teriknya matahari karena sekarang sedang tengah hari seolah matahari berada di atas kepala dan cuaca pun terasa begitu panas, aku melangkahkan kaki tanpa tujuan. Zero sedang berjalan tepat di belakangku. Suasana terasa begitu hening, tidak ada seorang pun yang kami temui di sepanjang jalan.
Wusssshhh!
Hembusan angin yang cukup kencang terasa melintas dari arah belakang. Angin itu menyibakkan rambutku. Meskipun aku tidak melihatnya, tapi aku merasa yakin angin itu berasal dari sesuatu yang dilemparkan oleh Zero dari arah belakang. Aku pun segera berbalik dan menatap ke arahnya.
"Ada apa Zero?"
"Keluarlah dari tempat persembunyian kalian!!"
Teriakan Zero itu telah sukses membuatku terkejut. Pada awalnya aku sama sekali tidak mengerti kenapa Zero meneriakkan hal itu. Namun setelah terdengar suara langkah kaki seseorang dari arah samping kananku, aku pun mengerti semuanya.
Seorang pria yang sebenarnya sudah tidak asing bagiku, berjalan menghampiri kami.
"O-Octans," gumamku, tanpa sadar menyebut nama pria itu.
"Hai, Giania. Aku senang karena kau terlihat baik-baik saja."
Pria itu menyapaku, meskipun ucapannya terkesan mempedulikanku, nyatanya ekspresi wajahnya sangat bertolak belakang. Wajahnya memerah karena kemarahan terlihat jelas di wajahnya yang cukup menawan itu.
"Kau mengenalnya? Dia pasti salah satu prajurit istana?"
Tanpa mengurangi kewaspadaannya, Zero menanyakan hal itu padaku.
"Dia bukan prajurit istana, tapi bisa dikatakan dia seorang ksatria. Dia jendral dari semua prajurit di istana, namanya Octans," jawabku, menjelaskan pada Zero siapa pria yang berdiri di hadapannya. Pria itu memang bukan prajurit biasa di dalam istana, melainkan seorang ksatria yang memiliki jabatan sangat penting.
"Kenapa kau tidak mengatakan juga padanya, kalau aku ini adalah pengawal sekaligus teman masa kecilmu, Giania?"
Memang seperti yang dia katakan, aku sama sekali tidak menampik kebenaran dari ucapannya. Orang tuanya dan orang tuaku cukup dekat, itulah sebabnya kami pun menjadi sangat dekat. Sejak kecil aku selalu bermain dengannya dan ketika aku beranjak dewasa, ayahku memerintahkan dia untuk menjadi pengawalku. Bukan hanya itu, dia jugalah yang mengajarkanku bela diri dan ilmu pedang.
"Apa yang kau lakukan di sini, Octans?"
"Seharusnya kau mengetahui jawabannya meskipun aku tidak menjawabnya."
"Kalau kau ingin membawaku kembali ke istana. Percuma saja, aku tidak akan ikut denganmu."
"Kau harus kembali, Giania. Sang Raja dan Ratu sangat mengkhawatirkanmu. Kembalilah ke istana dan meminta ampunlah, maka kau pasti akan diampuni."
Aku tertegun mendengarnya, sudah kuduga alasan Octans datang karena ingin membujukku agar kembali ke istana. Tapi tentu saja aku tidak sudi untuk menurutinya. Sampai kapan pun aku tidak akan kembali di saat aku sudah yakin akan berpetualang bersama Zero, Aku akan membantunya mencari ingatannya yang hilang sekaligus memperdalam ilmu sihir yang kumiliki.
"Lalu apa mereka akan berhenti memerintahku untuk melakukan hal yang tidak ingin aku lakukan jika aku kembali ke istana?"
"Perintah Sang Raja itu mutlak, lebih baik kau turuti saja semua perintahnya."
Memang seperti inilah Octans yang aku kenal sejak kecil. Dia merupakan seseorang yang amat patuh dan setia pada perintah raja. Karena sifatnya inilah di masa lalu aku sering bertengkar dengannya. Dia selalu menentang keinginanku yang menurutnya akan melanggar peraturan istana.
"Ikutlah denganku, Giania," katanya sembari merentangkan satu tangan ke depan seolah memberiku isyarat agar mendekat padanya.
"Tidak!"
"Apa kau tidak merindukan orang tuamu? Mereka sangat merindukanmu."
Kedua mataku kini membulat sempurna begitu mendengar ucapannya. Sang Raja ... Benarkah dia merindukanku? Bukankah seharusnya dia sedang sangat marah padaku karena aku telah mengkhianatinya dengan kabur dari istana?
Octans berjalan mendekatiku hingga kini kami saling berhadap-hadapan. Tangannya menyentuh tanganku dan mencoba menarikku agar aku berjalan mengikutinya. Tidak dapat dipungkiri perkataannya tadi telah membuat hatiku terguncang dan ragu. Sejujurnya aku sangat merindukan orang tuaku. Mendengar Octans mengatakan mereka pun merindukanku, membuatku ingin kembali menemui mereka.
Untuk sesaat, langkah kakiku bergerak mengikuti Octans. Ketika tiba-tiba sesuatu memegang lenganku yang sukses menghentikan langkahku.
Octans berbalik menatapku ketika menyadari aku berhenti mengikutinya. Tatapan Octans beralih ketika dia menyadari alasan aku menghentikan langkah kakiku. Kedua mata Octans tengah menatap ke arah sebuah tangan yang sedang menghentikanku. Pemilik tangan itu, tentu saja adalah Zero.
"Berani sekali kau menyentuh Sang Putri!!"
Octans mengangkat pedangnya dan dia arahkan tepat ke arah Zero. Perbuatan Octans ini sungguh membuatku sangat panik. Dengan jarak sedekat ini, bisa saja dia menebaskan pedang itu pada Zero. Aku tidak yakin Zero mampu menghindarinya.
"Kaulah yang harus melepaskan tangannya. Bukankah tadi dengan jelas dia mengatakan tidak ingin ikut bersamamu?"
"Rakyat biasa sepertimu, tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan kami. Giania, jangan pedulikan dia, kita harus kembali ke istana."
Aku menatap ke arah Zero, begitu pun dengan Zero. Dia sedang menatap tajam padaku.
"Bukankah kau bilang ingin hidup bebas seperti burung-burung yang terbang di langit? Jangan melupakan tujuan dan keinginanmu, Giania."
Aku terbelalak, tak menyangka kata-kata seperti itu akan terucap dari mulut Zero. Mungkinkah dia sedang berusaha membujukku agar aku tidak ikut kembali ke istana dan tetap melakukan petualangan bersamanya?
"Siapa kau sebenarnya? Jangan menghasut tuan putri untuk melakukan pelanggaran. Kau bisa dihukum mati!" Bentak Octans yang murka tiada tara karena Zero dengan berani menyuruhku untuk tidak kembali ke istana bersamanya.
"Siapa aku? Hahaha ..." Zero tertawa lantang dan itu membuatku dan Octans sama-sama memusatkan atensi kami padanya, menanti apa yang akan dikatakan oleh Zero setelah ini.
"… sebenarnya aku juga tidak tahu tepatnya siapa aku ini. Tapi saat ini satu hal yang aku tahu, aku ... adalah pengawal tuan putri. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun membawanya pergi tanpa keinginannya."
Sekali lagi kedua mataku membulat sempurna, aku benar-benar tidak menyangka Zero akan mengatakan hal itu. Tetapi perkataannya itu telah mengembalikan keyakinanku dan menghilangkan keraguan yang sempat menyelimutiku hanya karena Octans mengatakan orang tuaku pun sedang merindukanku di istana.
Aku melepaskan genggaman tangan Octans dan tanpa keraguan kuutarakan penolakanku padanya, "Maaf Octans, tapi dia benar, aku tidak akan kembali ke istana."
"Apa maksudnya kau tidak akan kembali ke istana? Istana itu rumahmu. Tempatmu dilahirkan dan tumbuh dewasa. Orang tuamu juga ada di sana. Tidak ada alasan bagimu untuk berkeliaran di luar istana seperti ini. Kau harus kembali ke rumahmu."
Aku menggelengkan kepala dengan tegas, "Tidak. Aku sudah memutuskan tidak akan kembali karena aku menginginkan kebebasan. Tinggal di sana membuatku terkurung seumur hidupku. Terlebih aku harus melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan. Tidak, Octans, sudah cukup aku hidup di sangkar emas selama ini. Sekarang saatnya aku ingin menikmati hidupku sendiri tanpa perlu terikat oleh aturan apa pun."
Sepertinya Octans sudah kehilangan kesabarannya, terlihat dari perubahan ekspresi di wajahnya. Tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat dia menyerang Zero dengan pedangnya. Aku yakin Zero tidak menyangka Octans akan langsung menyerangnya sehingga Zero tidak mampu menghindari serangannya. Pedang itu telah berhasil melukai tangan Zero.
"Kyaaaaaaa ... Apa yang kau lakukan Octans?!" teriakku histeris, terlebih saat kulihat luka di tangan Zero mulai meneteskan darah.
Octans mendengus kasar, tak merasa bersalah sedikit pun padahal dia sudah melukai Zero yang sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. "Dia seorang pengkhianat istana karena sudah meracuni pikiranmu sehingga kau tidak mau kembali ke istana. Pengkhianat seperti dia tidak seharusnya dikasihani. Aku akan memberikan hukuman yang pantas untuknya."
Octans berniat menyerang Zero lagi karena dia sudah kembali mengayunkan pedangnya. Aku tak tinggal diam, aku berdiri di depan Zero sambil merentangkan kedua tangan ke samping. Kujadikan tubuh ini sebagai tameng untuk melindungi Zero. "Tidak! Kau tidak boleh menyakitinya, Octans!"
Tetapi Zero tiba-tiba menarik tanganku dan sekarang kondisinya berbalik karena justru dia yang menghalangi tubuhku dengan tubuhnya. Selain itu, aku juga melihat kemarahan di wajah Zero.
"Mundurlah, Giania. Ini pertarungan kami berdua," ucap Zero. Tentu aku tidak ingin melihat Zero dan Octans sampai terlibat pertempuran.
"Tidak, Zero. Jangan bertarung dengannya. Lebih baik kita pergi saja dari sini."
"Kau bilang dulu dia adalah pengawalmu, tapi sekarang akulah pengawalmu."
Seperti itulah jawaban yang diberikan Zero. Sebuah jawaban yang untuk kesekian kalinya membuatku terperanjat kaget. Jadi dia benar-benar menerima permintaanku kala itu yang meminta dia untuk menjadi pengawalku dalam perjalanan kami ini. Tentu saja aku sangat senang mendengarnya.
"Kau sama sekali tidak pantas untuk menjadi pengawal Tuan putri, hanya seorang ksatria lah yang pantas mengemban tugas itu." Octans menyeringai di akhir ucapannya, secara terang-terangan merendahkan Zero.
"Kita lihat siapa yang lebih pantas menjadi pengawalnya." Namun Zero tak terlihat gentar sedikit pun. Sebaliknya dia terlihat sedang menantang Octans.
"Sepertinya kau menantangku, memang terkadang masalah hanya bisa diselesaikan dengan pertarungan. Aku menerima tantanganmu."
"Mundurlah, Giania." Zero mendorongku agar melangkah mundur dan tidak menghalangi pertarungan mereka.
Aku merasa tidak memiliki pilihan lain saat ini, selain menuruti perkataan Zero. Sebenarnya aku tidak ingin melihat pertarungan mereka. Aku tidak ingin melihat salah satu dari mereka terluka. Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikan mereka yang sudah bersiap-siap untuk memulai pertarungan, karena itu aku terpaksa menuruti perkataan Zero. Aku berjalan menjauhi mereka dan berhenti berjalan ketika jarakku dengan mereka sudah cukup jauh.
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mengawasi mereka dari kejauhan. Tapi jika situasinya berubah menjadi berbahaya, aku bersumpah akan melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka berdua. Sekali lagi kukatakan, aku tak ingin salah satu dari mereka ada yang terluka karena bagiku kedua pria itu sangat berharga.